Firman yang Menghidupkan

Rabu, 12 Februari 2025

Kolom751 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias

(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

banner 336x280

Judul renungan ini ialah Firman yang menghidupkan. Memang firman itu menghidupkan, yaitu memiliki daya atau kekuatan untuk memberi hidup dan menghidupkan. Sehubungan dengan ini, terkenal sekali ucapan Yesus saat Ia digoda setan: Manusia tidak hanya hidup dari roti saja, melainkan dari setiap sabda Tuhan (bdk., Mat.4:4). Jadi, memang sabda Tuhan itu menghidupkan, mendatangkan hidup. Jika roti hanya mengenyangkan perut, maka sabda mengenyangkan seluruh diri dan keberadaan kita. Bahkan daya kekuatan sabda atau firman bisa menciptakan dan mengadakan segala sesuatu. Karena itulah Yohanes berkata pada permulaan injilnya: “Pada awal mula adalah sabda, dan sabda itu ada pada Allah, dan sabda itu adalah Allah” (Yoh 1:1). Jadi, betapa dahsyatnya daya kekuatan sabda, firman, atau kata-kata itu. Tatkala kita berbicara dengan satu sama lain, sering sekali kita berbicara tentang apa yang sudah, sedang, atau akan terjadi, tentang apa yang sedang kita perbuat, atau apa yang akan kita perbuat. Dalam konteks itu kita sering kali bertanya, apa yang terjadi? Sedang terjadi apa? Atau ada apa? Pokoknya ungkapan dan rumusan semacam itu. Memang dengan model pertanyaan dialogis seperti itu kita saling mendorong dan memberanikan satu sama lain untuk bercerita, berbagi rincian dari hidup kita sehari-hari, setiap hari.

 

Tentu kita juga ingin mendengarkan hal-hal lain juga. Misalnya kita ingin mendengarkan ungkapan verbal yang lebih berciri personal: “Beberapa hari belakangan ini, saya selalu teringat akan dirimu”, atau “aku selalu memikirkanmu”. Atau bahkan mungkin di antara orang yang sudah saling mencintai atau di antara para sahabat bisa muncul ungkapan verbal seperti ini, “Aku rindu kamu,” atau “Aku ingin sekali kamu berada di sini saat ini,” atau bahkan rumusan lain seperti “Aku mencintaimu.” Mungkin sering kali kita cukup berhemat dengan kata atau ungkapan seperti ini. Mungkin juga kita agak susah mengungkapkannya karena prinsip hemat kata. Mungkin juga karena merasa tidak perlu mengungkapkan hal-hal seperti itu yang dianggap sudah jelas dengan sendirinya, dan karena itu tidak usah diungkapkan lagi. Jika kita beranggapan seperti itu, hendaknya kita selalu ingat bahwa justru kata-kata seperti itu bisa memperdalam, memperkuat, mempererat ikatan dan relasi di antara kita satu sama lain. Itulah misteri kekuatan kata-kata, misteri kekuatan ungkapan verbal. Menyampaikan kata-kata cinta dan kasih sayang kepada sesama, dengan cara bagaimana pun juga, selalu berarti menyampaikan kabar baik (euangelion). Dan kabar baik selalu mendatangkan sukacita. Bahkan dalam dialog dan komunikasi antar-rahim Maria dan Elisabet dalam peristiwa kunjungan Maria kepada Elisabet di Ainkarim itu, kita mendapatkan sebuah bukti pendukung untuk pernyataan di atas tadi. Tatkala Maria tiba di rumah Elisabet, ia menyampaikan salam kepadanya. Dan Elisabeth pun mengaku bahwa ketika salam dari Maria itu terdengar oleh telinganya, maka anak yang ada dalam rahimnya pun melonjak kegirangan. Saya katakan itu adalah dialog dan komunikasi antara rahim, sebab kedua rahim itu sedang sama-sama mengandung, sama-sama sudah mengalami kabar sukacita yang disampaikan secara ajaib oleh utusan surga (alias malaekat).

 

Kiranya tidak ada orang yang akan bersikap acuh-tak-acuh oleh orang yang disampaikan kabar baik itu. Kiranya tidak ada orang yang akan bersikap apatis terhadap kabar baik. Seakan-akan hal itu tidak berdampak apa-apa bagi mereka. Bagaimanapun juga kata-kata yang penuh pesan cinta kasih dan perdamaian, kata-kata yang mendatangkan peneguhan, kata-kata penghiburan adalah laksana roti, laksana makanan. Kita selalu membutuhkannya setiap hari dan terus menerus. Yang kita mintakan setiap hari seperti dalam doa Bapa Kami itu: Berilah kami roti setiap hari (panem nostrum quotidianum da nobis hodie). Roti itulah yang memberi kita hidup. Pasti itulah sebabnya Tuhan Yesus menyebut dirinya dalam Injil Yohanes Bab 6, Akulah Roti hidup, yang turun dari surga. Barang siapa yang makan roti itu akan hidup selama-lamanya. Firman yang tadi diibaratkan dengan roti sehari-hari, itulah yang terus-menerus mendatangkan hidup dalam diri kita. Firman itulah yang menghidupkan kita dari dalam.

 

banner 336x280