Kasih Persaudaraan dalam Perjamuan Bersama

Sabtu, 15 Februari 2025

Kolom214 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Menarik bahwa studi antropologi budaya di mana-mana di seluruh dunia menunjukkan bahwa semua komunitas budaya manusia memiliki satu ciri-corak bersama yaitu perkumpulan raya dan ritual komunal mereka dipuncaki dengan perjamuan bersama. Hal itu dapat kita temukan jejaknya dalam slametan di beberapa komunitas Jawa yang pernah saya amati. Juga dapat kita lihat dalam pesta penti, yaitu pesta tahun baru orang Manggarai; itu juga berpuncak pada makan bersama. Mungkin kita bertanya, mengapa begitu? Jawabannya juga sederhana saja: karena makan bersama atau perjamuan komunal itu mempunyai tujuan dasar untuk membangun persahabatan dan kekerabatan, dan mempererat tali hubungan itu, atau jika pernah retak, bisa memulihkannya kembali dan menyembuhkan pelbagai luka yang pernah timbul karena keretakan itu. Memang makan bersama membuat manusia merasa bersama-sama, merasa saling bersaudara. Aktivitas makan adalah sesuatu yang sangat penting bagi semua makhluk hidup, juga manusia. Makan adalah prasyarat dasar untuk segala aktivitas hidup manusia. Karena itu dikatakan bahwa kita semua memerlukan makan dan minum agar hidup. Tetapi perjamuan itu tidak hanya perkara makan-minum saja, melainkan ada sesuatu yang melampaui dari itu. Perjamuan adalah menyangkut perayaan pelbagai karunia hidup yang kita nikmati bersama. Karena itu, perjamuan bersama, biarpun yang disantap hanya sedikit, merupakan yang paling intim dan paling suci dari semua peristiwa hidup manusia. Sebab kita semua berkumpul mengelilingi meja perjamuan sebagai makhluk yang rapuh dan rentan (fragile, vulnerable). Kita membawa semua wujud kerapuhan dan kerentanan itu.

Itu sebabnya di sekeliling meja perjamuan, kita tidak pertama-tama mengupayakan kekenyangan dan kenikmatan mulut dan perut, melainkan kita mengutamakan satu sama lain. Hal itu tampak jelas dalam keinginan kita untuk mengisi mangkuk dan piala sesama, mendorong satu sama lain untuk makan dan minum, bahkan untuk tambah jika belum kenyang. Begitulah substansi perjamuan, kita mencari dan mengupayakan situasi kenyang bersama, baik secara jasmani (perut) dan juga rohani (spirit). Jika kita lakukan semua ini dengan baik dan teliti di sekeliling meja perjamuan bersama, maka akan terjadi banyak mukjizat di sana, keajaiban yang melampaui sekadar memuaskan rasa lapar dan dahaga. Tentu itu juga termasuk di dalamnya. Tetapi ada yang jauh lebih mendalam dari hal itu. Yaitu bahwa di sekeliling meja perjamuan kita menjadi sanak keluarga, menjadi sahabat, menjadi komunitas (persekutuan), juga persekutuan pribadi-pribadi, communion of persons. Meminjam istilah Paulus, kita menjadi satu tubuh. Semua pengalaman itu adalah sesuatu yang sangat istimewa yang dapat dikaitkan dengan peristiwa perjamuan yang ajaib. Itulah yang terjadi dengan dan dalam perjamuan Ekaristi Tuhan. Ia membangun sebuah cita-rasa baru dalam relasi antar-manusia.

Itu sebabnya mengapa meja perjamuan perlu dipersiapkan dengan baik, biarpun sederhana. Meja perjamuan harus dihias khusus. Mungkin dengan janur dan bunga. Atau obor bernyala. Atau api unggun. Atau bahkan lilin-lilin bernyala. Mungkin disediakan juga tempat duduk istimewa, mungkin ada bantal khusus untuk duduk atau bersandar. Dalam budaya tertentu, mungkin disediakan serbet atau tisu khusus. Atau peralatan makan khusus, sehingga peserta yang ambil-bagian dalam perjamuan itu bisa dengan mudah merasakan bahwa ini adalah peristiwa sangat istimewa. Tersirat di sana sebuah pesan bahwa ini adalah waktu istimewa, kairos yang melampaui chronos, sebuah waktu istimewa, sehingga kita harus menikmatinya dengan sukacita dan penuh syukur. Sikap seperti inilah yang biasanya dibangun dalam katekese ekaristi gereja Katolik. Ekaristi adalah perjamuan istimewa, yang dipersiapkan dengan sangat istimewa, dengan perlengkapan istimewa juga. Semuanya dimaksudkan agar peserta dapat merasakan situasi istimwa yang akan dilewatkan bersama dalamnya. Dengan cara itu akan terbangun sebuah daya kekuatan yang memancar dari perjamuan itu. Pada gilirannya bisa membangun cita-rasa kekeluargaan dan persaudaraan. Di sini saya teringat akan sebuah lagu komuni dalam buku tua: “Perjamuanmu yang mistik, biarkan Putera Allah, akupun menikmatinya. RahasiaMu nan suci, tidak akan kubuka, dan tidak Engkau kusalami bagai Yudas. Tetapi doaku bersama Dismas, ingatlah aku Tuhan, di dalam Kerajaan-Mu.”

 

banner 336x280