Ukuran Hidup Kita

Senin, 17 Februari 2025

Kolom309 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Dalam renungan hari-hari kemarin, saya mengungkapkan nilai meja sebagai tempat perjamuan kasih dan kekeluargaan. Di sana terjadi kedekatan, keintiman, kemesraan. Meja perjamuan dapat menjadi ruang dan waktu untuk membangun cinta dan keakraban. Tetapi hal sebaliknya juga bisa terjadi, bahkan bisa menimbulkan luka yang tidak mudah disembuhkan. Meja perjamuan komunal bisa menjadi tempat berjarak, renggang, penuh permusuhan, dan kebencian. Hal itu dapat dirumuskan begini: Justru karena meja perjamuan itu dimaksudkan sebagai tempat untuk membangun keintiman dan keakraban, maka ia pun mudah menjadi tempat di mana orang bisa mengalami tiadanya keintiman dan keakaraban itu. Jika ini terjadi, meja pun menjadi penanda adanya potensi ketegangan dan pertikaian. Hal itu paling kentara dalam relasi suami isteri. Manakala suami-isteri tidak saling berbicara, tatkala anak-anak tidak mau makan, ketika saudara dan saudari saling menonjok dan menendang, ataupun saling mendiamkan, maka di sana ada hening yang tegang. Saat itulah meja berubah menjadi neraka yang kita jauhi. Relasi dengan orang lain, alih-alih bisa mendatangkan kebahagiaan, justru bisa menjadi neraka. Kata J. P. Sartre, orang lain adalah neraka. Berelasi dengan orang lain, berarti masuk neraka. Meja perjamuan, tempat orang makan bersama adalah barometer kehidupan keluarga. Juga barometer bagi kehidupan komunitas atau masyarakat. Jadi, meja perjamuan adalah sesuatu yang penting bagi hidup manusia.

Kita harus mengupayakan apa saja untuk membuat meja perjamuan itu menjadi tempat dan kesempatan untuk merayakan keakraban, kedekatan, kehangatan hidup dan cinta keluarga dan komunitas. Tetapi mengapa hidup keluarga itu penting? Di sini saya mengutip pandangan Paus Yohanes Paulus II. Salah satu fokus teologis-pastoral Paus YP2 ialah keluarga. Hal itu sudah berlangsung sejak ia masih pastor muda di Polandia. Saat itu ia menulis buku teologi kehidupan keluarga, Love and Responsibility (Cinta dan Tanggung-jawab). Jika kemudian saat ia menjadi Paus, ia menulis Teologi Tubuh (Theology of the Body), sebenarnya benih-benih wacana teologis itu sudah ada dalam Love and Responsibility itu. YP2, sebagai pastor muda, mau membangun visi teologis tentang keluarga di atas landasan biblis yang kuat. Awal 80-an, di tengah produksi teks audiensi Rabu-annya, YP2 menulis Familiaris Consortio, terkait hidup keluarga. Ada banyak pandangan teologis tertuang dalam dokumen itu. Salah satu pandangan yang relevan untuk diangkat dalam konteks ini ialah pandangan yang terpadatkan dalam rumusan teologi-pastoral ini: “Better marriage, holier Culture”: Perkawinan yang lebih baik, menghasilkan kebudayaan yang lebih suci. Menurut YP2, kehidupan keluarga yang lebih baik, yang ditandai cinta dan tanggung-jawab yang kuat, adalah benteng kokoh bagi kehidupan manusia, bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Gereja dan otoritasnya harus, dalam pelbagai karya dan layanan pastoralnya, mengupayakan hal itu. Pembangunan hidup keluarga harus menjadi fokus cura-animarum-ecclesiae.

YP2 sangat yakin bahwa keutuhan hidup dan cinta keluarga menjadikan keluarga itu semakin lebih baik (better). Jika kehidupan keluarga itu menjadi lebih baik (better), akan terciptalah kebudayaan yang lebih suci, holier culture. Itulah keyakinan teologis mendasar YP2. Itu sebabnya, dalam pelbagai kesempatan, beliau memperjuangkan dan menggemakan kembali pandangan teologis itu. Banyak kerusakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan modern dewasa ini, khususnya di Barat, yang dulu dipandang sebagai masyarakat Kristiani, disebabkan oleh robohnya “surau-keluarga” itu. Orang mengatakan bahwa jika mau merontokkan sebuah peradaban, mulailah dengan merontokkan “surau-keluarga”. Jika “surau-keluarga” roboh, tinggal selangkah lagi, maka seluruh bangunan sosial kemasyarakatan roboh juga. Pelbagai krisis dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dewasa ini muncul dari robohnya “surau-keluarga” itu. Karena itu, dengan gigih YP2 dan pengikutnya, gigih memperjuangkan perbaikan dan pemulihan itu agar hidup keluarga menjadi lebih baik (better), dan bersama dengan proses the betterment of familial life, akan terbangun sebuah kehidupan kebudayaan dan kemasyarakatan yang lebih suci, holier culture. YP2 dan kedua penggantinya sudah meletakkan landasan ke sana dengan pelbagai ajaran mereka. YP2 melalui Theology of the Body-nya terkenal itu. Benediktus XVI, melalui Deus est Caritas. Dan Fransiskus, melalui Evangelii Gaudium, Sukacita Injili.

 

banner 336x280