Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
“Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu.” Begitu bunyi sepotong syair lagu beberapa dekade silam yang dinyanyikan beberapa penyanyi kenamaan. Melalui lagu tersebut mereka ingin mengabadikan sebuah rasa indah dalam relasi antar lmanusia, baik relasi inter-personal maupun relasi dalam komunitas (persekutuan pribadi-pribadi). Kenangan indah itu ditempatkan dalam ruang (space) indah: di tepi pantai, ada debur ombak, angin bertiup, pasir, burung camar, dan ada pelaut dan anak-anak yang bermain di pecahan ombak memutih di bibir pantai. Semuanya indah. Hati tenang. Ada penyembuhan. Ada healing, ada treatment di sana. Sebuah luka di sudut hati sepi, seperti perlahan merasa sembuh oleh keindahan itu. Begitulah kenangan. Selalu indah. Walau terasa pahit juga, karena semua itu sudah tidak lagi sekarang dan di sini, melainkan sudah meng-kemarin. Itu baru satu sisi dari dinamika hubungan antar-manusia, hubungan inter-personal dan sosial-komunal. Pada sisi lain, relasi-relasi interpersonal manusia bisa juga mudah dirusak oleh tendensi posesif manusia itu sendiri. Dari mana tendensi posesif itu? Ada yang menjelaskannya seperti ini: Hati kita sebagai manusia sangat rindu dan ingin dicintai oleh sang cinta, sehingga kita cenderung menjadi lengket-erat pada pribadi orang yang menunjukkan dan menawarkan cinta kita kepada kita, menunjukkan kasih sayang kepada kita, ataupun tali persahabatan kepada kita, atau sekadar perhatian dan dukungan kepada kita.
Sebenarnya itu biasa saja. Begitulah kepekaan hati manusia. Begitu kita merasakan ada isyarat cinta, kita seperti menghendaki sesuatu yang lebih dari sekadar yang sekilas itu. Tendensi itulah yang bisa menjelaskan mengapa para kekasih sering bertengkar. Pasti ada salah paham, dan hal itu wajar saja dalam proses saling belajar mengenal satu sama lain. Pertengkaran antara kekasih adalah pertengkaran antara orang yang menghendaki sesuatu yang lebih dari yang lain ketimbang apa yang senyatanya bisa atau rela mereka berikan. Di sini dibutuhkan ketenangan dan kesabaran. Dalam proses itu tidak bisa ada pemaksaan. Harus perlahan-lahan. Karena irama kecepatan masing-masing pihak berbeda. Dalam hal ini kita tidak bisa memaksa. Mungkin kali ini, salah satu pihak hanya merasa cukup aman jika memberikan dan membuka diri sampai pada tingkat tertentu. Itu terjadi, karena proses membuka diri sama seperti membuka gerbang benteng. Sebelum kita kenal yang datang, kita buka dulu lubang intip. Jangan-jangan yang datang itu bukan orang baik, melainkan musuh. Setelah memastikan bahwa itu orang baik, barulah pintu gerbang dibuka penuh. Akan celaka, jika gerbang sudah dibuka penuh, ternyata yang datang adalah musuh yang menyerang dengan senjata yang kuat. Harus diakui bahwa adalah sangat sulit bagi cinta untuk tidak menjadi cenderung posesif. Hal itu disebabkan karena hati kita mencari dan mendambakan cinta sempurna.
Tentu itu berat karena tidak ada manusia yang sanggup memberikan cinta sempurna itu. Semuanya masih dalam proses menjadi sempurna. Hanya Allah yang bisa memberikan cinta sempurna itu. Manusia tidak bisa. Ia hanya berusaha menjadi sempurna seperti Bapamu di surga sempurna adanya. Karena itu, proses mencintai adalah proses-seni. Seni mencinta harus mencakupkan seni membuka dan memberi ruang hati dan budi terhadap satu sama lain. Itu harus. Kita tidak dapat dan tidak boleh memaksa masuk ke sana, sebelum dibuka dan dibagi. Manakala kita dengan paksa masuk ke dalamnya, melakukan invasi-psikologis ke ruang orang lain, saat itu kita menjajah orang tersebut, dengan tidak membiarkan dia menjadi dirinya sendiri dalam martabat kebebasannya. Jika itu yang kita lakukan, maka kita pasti mendatangkan derita dan sakit hati dan luka-luka dalam relasi kita. Luka-luka itu akan menimbulkan rasa sakit jika terus dipaksakan. Akan berbeda ceritanya jika kita sudah saling belajar perlahan-lahan untuk saling membuka diri dan membagi hati, maka di sana akan tercipta ruang untuk bergerak leluasa, dan dalam ruang itulah kita bisa berbagi kasih, berbagi pemberian diri. Hanya dalam kondisi seperti itulah bisa terbangun kedekatan dan keintiman sesungguhnya. Keintiman sejati hanya bisa terjadi melalui misteri saling berbuka hati.