Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Terkadang kita berpikir bahwa dalam hidup kita ada hal-hal yang sangat personal sifatnya. Itu yang membedakan kita dari orang lain. Itulah ciri khas, penanda kita, penanda aku adalah aku, dan kau adalah kau. Aku tidak bisa menjadi kau, kau tidak bisa menjadi aku karena hal itu. Itulah ruang-ruang privat dalam hidup kita. Itu kita bedakan dengan tegas dari ruang-ruang publik. Kita merasa ruang privat itu adalah mutlak milikku sendiri. Karena itu aku merasa apa pun yang ada dalam ruang privatku itu tidak boleh diganggu orang. Ruang privatku bukanlah urusan orang lain. Di sana aku hanya berurusan dengan diriku sendiri. Aku tidak berurusan dengan siapa pun. Kita membentengi diri. Tetapi benar demikian? Apa sih ruang privat itu? Terkadang saya berpikir bahwa ruang privatku adalah kehidupan rohaniku, kehidupan spiritualku. Jika ruang privatku itu adalah kehidupan spiritualku, maka akan tiba saatnya bahwa kita akan sadar bahwa semakin seseorang itu mencari dan mengupayakan hidup rohani itu, ia akan menemukan bahwa ruang yang paling personal itu, hidup rohani tadi, justru merupakan sekaligus ruang paling universal dan publik juga akhirnya. Kita andaikan bahwa yang paling tersembunyi itu paling rahasia. Tidak. Justru itulah yang paling terbuka, itulah ruang publik. Yang paling sendirian (solitary) justru merupakan yang paling komunal. Terdengar paradoksal, tetapi benar.
Dalam konteks itu, kita bisa melihat bahwa apa yang kita arungi dalam ruang paling intim hidup kita ternyata tidak hanya dimaksudkan untuk diri kita sendiri, melainkan untuk semua. Yang bersifat personal itu dimaksudkan untuk komunal. Semakin kita menukik ke kedalaman hidup rohani, semakin kita peduli sesama. Itulah sebabnya kehidupan batiniah, kehidupan rohani kita adalah kehidupan bagi sesama. Jadi, kesunyian kita merupakan agugerah bagi komunitas. Itulah sebabnya, pikiran-pikiran kita yang paling rahasia pun akhirnya bisa memengaruhi hidup bersama. Contoh sekarang ini dalam hidup saya. Banyak hal saya pikirkan dalam ruang privat hidupku. Tetapi begitu saya mulai membukanya dalam ruang publik berupa tulisan, maka apa yang berangkat dari pikiran-pikiran sunyi, bisa mengilhami ruang publik, hidup bersama. Contoh lain saya ambil dari paradoks hidup pertapa Mesir kuno. Mereka hidup menyendiri di gurun, dalam kesunyian. Tetapi dari sanalah mereka mengilhami banyak orang. Banyak orang datang meminta nasihat dan pandangan hidup, dan doa. Hidup privat, hidup rohani mereka, upaya mereka untuk menukik ke dalam kesunyian, justru punya efek transformasi sosio-komunal. Banyak orang terbantu, mendapatkan ilham dari hikmat hidup mereka. Bahkan banyak orang sembuh dan bertobat karena nasihat mereka. Semakin mereka masuk ke dalam kesunyian, semakin kuat daya tarik mereka, semakin besar daya ilham mereka, semakin kuat daya penyembuhan yang mereka tawarkan melalui nasihat dan pandangan rohani mereka.
Saya bisa memahami ucapan Yesus dalam bingkai ini: “Tidak ada orang yang menyalakan lampu untuk ditempatkan di bawah gantang; melainkan untuk diletakkan di atas kaki dian, agar cahayanya bisa menerangi setiap orang dalam rumah” (bdk. Mat 15:14-15). Tatkala Yesus berkata begitu, tentu Yesus memaksudkan dua makna sekaligus. Makna literalnya (harafiahnya). Lampu itu adalah lampu benaran. Memang ketika orang menyalakan lampu, orang pasti berniat membawa terang ke dalam kegelapan. Maka lampu itu diletakkan di atas tempat tinggi agar bisa menerangi banyak orang. Tetapi Yesus juga memaksudkan makna alegoris lampu itu. Yakni cahaya batiniah yang memancar keluar dari dalam kehidupan seseorang. Tatkala orang semakin menukik ke dalam relung-relung terdalam hidup rohaninya, maka dari dalam sana akan terpancar berkas-berkas cahaya. Berkas-berkas itu pasti menerangi dunia sekitar. Pasti bisa dilihat mata telanjang oleh orang-orang lain di sekitar. Perjalanan kita menukik ke kedalaman hidup batiniah, pasti selalu berdampak sosio-komunal. Memang kita ada hak untuk masuk dan mengolah serta menyuburkan ruang-ruang hidup pribadi kita, tetapi apa yang kita kultivasi di ruang privat itu, pasti bisa dilihat orang banyak dan mengilhami mereka. Angin ilham bisa berhembus dari dalam ruang-ruang privat hidup kita.