Krebadia – Pertunjukan teater “X-ray Mission” yang ditayangkan pada tanggal 14 Desember 2024 di Aula Efata Ruteng berhasil menyajikan sebuah potret intim dan menyentuh tentang dinamika keluarga saat dihadapkan pada situasi sulit.
Dengan naskah yang kuat karya Marcelus Ungkang dan Armin Bell, arahan sutradara yang visioner, pertunjukan ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mengundang refleksi mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan.
“X-ray Mission” hasil kolaborasi Teater Saja dan Kementerian Kebudayaan, berhasil mengangkat isu yang sangat relevan dengan kehidupan manusia, yaitu tentang pengorbanan, konflik keluarga, sakit dan proses penuaan.
Pertunjukan ini mengingatkan kita bahwa merawat orang sakit adalah sebuah tugas yang berat, baik secara fisik maupun emosional.
“X-ray Mission” bukan sekadar pertunjukan teater, melainkan sebuah pengalaman mendalam yang mengusik sanubari penonton.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, pertunjukan ini mengajak kita merenungkan tentang nilai-nilai kemanusiaan yang seringkali terlupakan, seperti kesabaran, pengorbanan, dan cinta keluarga.
Medium Film: Sebuah Jendela ke Jiwa
Salah satu aspek yang paling menonjol dari “X-ray Mission” adalah tata panggungnya yang unik dan eksperimental.
Penggunaan gabungan set panggung yang dinamis, kamera live action yang bergerak bebas, berhasil menciptakan efek visual yang imersif.
Penonton seakan diajak masuk ke dalam pikiran dan perasaan sang protagonis.
Teknik ini tidak hanya memberikan informasi visual yang kaya, tetapi juga memungkinkan penonton untuk merasakan secara langsung kegelisahan, kesepian, dan keputusasaan yang dialami oleh karakter utama.
Konsep multiple perspectives yang diterapkan dalam pertunjukan ini sangat efektif dalam menyajikan kompleksitas emosi yang dialami oleh sang tokoh utama.
Setiap sudut kamera yang diarahkan pada sang tokoh seolah-olah akan menjadi sebuah x-ray yang mengungkap lapisan demi lapisan perasaan yang terpendam di dalam dirinya.
Hal ini sejalan dengan judul pertunjukan, “X-ray Mission”, yang secara metaforis menggambarkan upaya untuk melihat lebih dalam ke dalam jiwa manusia.
Penggunaan banyak titik kamera di panggung juga merupakan sebuah keputusan yang berani dan cerdas dari sang sutradara, Marcelus Ungkang, yang beberapa jam sebelum pentas menuliskan dalam laman faceboknya, “Saya telah jatuh cinta dengan medium film.”
Kecintaannya itu lantas diformulasikan ke dalam pentas, dan berhasil dieksekusi dengan sempurna olehnya dan tim produksi Teater Saja.
Hasilnya brilian!
Buah cinta dari Marcelus menggugah penonton tidak hanya menjadi pengamat pasif, tetapi juga ikut terlibat secara aktif dalam proses cerita.
Penonton mampu melihat berbagai sudut pandang sekaligus, sehingga menciptakan nuansa yang lebih kompleks dan mendalam.
Akting Memukau: Resah Jiwa yang Tercermin
Akting Rinni Temala, yang memerankan sosok anak perempuan yang merawat ayahnya yang sakit, juga patut diapresiasi.
Ia berhasil menghidupkan karakter dengan begitu meyakinkan, sehingga penonton dapat merasakan setiap emosi yang dialaminya.
Ekspresi wajahnya yang penuh kegelisahan, matanya yang kosong, dan gerak-gerik tubuhnya yang tegang berhasil menyampaikan pesan tentang beban berat yang dipikulnya.
Konflik batin yang dialami oleh sang tokoh utama begitu terasa nyata. Perasaan tertekan, kesepian, dan marah yang bercampur aduk dalam dirinya membuat penonton ikut merasakan penderitaannya.
Konflik ini semakin diperparah oleh ketidakhadiran sang adik, yang seharusnya berbagi beban dalam merawat sang ayah.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang makna keluarga, tanggung jawab, dan pengorbanan.
Pertunjukan Rinni mengingatkan kita pada karya-karya teater klasik, di mana seorang aktor tunggal mampu memikul seluruh beban cerita.
Ia berhasil menciptakan karakter yang kompleks dan multidimensi, sehingga penonton dapat merasakan empati yang mendalam terhadapnya.
Menyentuh: Konflik Batin dan Pengorbanan
“X-ray Mission” mengangkat tema universal tentang konflik batin dan pengorbanan. Konflik antara kewajiban sebagai anak dan keinginan untuk menjalani hidup sendiri merupakan tema yang seringkali muncul dalam berbagai karya seni.
Namun, dalam pertunjukan ini, tema tersebut disajikan dengan cara yang segar dan relevan.
Sang protagonis, yang terjebak dalam rutinitas perawatan orang tua, mengalami perasaan terasing dan kesepian.
Kehadiran adiknya yang tidak mau membantu semakin meringankan situasi. Konflik ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang arti keluarga, tanggung jawab, dan makna hidup.
Koneksi dengan Teater Klasik dan Kontemporer
Tema-tema yang diangkat dalam “X-ray Mission” memiliki akar yang dalam sejarah teater.
Konflik antara generasi, perasaan terasing, dan pencarian makna hidup merupakan tema-tema yang seringkali muncul dalam tragedi Yunani Kuno.
Namun, pertunjukan ini berhasil menghadirkan tema-tema tersebut dengan cara yang kontemporer, sehingga relevan dengan kehidupan penonton masa kini.
Penggunaan tata panggung yang inovatif dan eksperimental juga mengingatkan kita pada perkembangan teater modern, di mana para seniman terus berupaya untuk melampaui batasan-batasan tradisional.
“X-ray Mission” adalah sebuah contoh baik tentang bagaimana teater dapat menjadi medium yang dinamis dan relevan untuk mengeksplorasi isu-isu sosial dan psikologis yang kompleks.
“X-ray Mission” adalah sebuah karya teater yang luar biasa. Pertunjukan ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi dan menggugah pemikiran. Melalui tata panggung yang inovatif, akting yang memukau, dan narasi yang menyentuh, pertunjukan ini berhasil menghadirkan potret yang jujur dan menyentuh tentang kehidupan manusia.
Pertunjukan ini patut diapresiasi karena keberaniannya mengangkat tema-tema yang seringkali dianggap tabu, seperti penyakit, kematian, dan pengorbanan. “X-ray Mission” adalah sebuah pengingat bahwa teater memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita memandang dunia dan diri kita sendiri.
Editor: Redaksi Krebadia