Bebas dari Menghakimi, Bebas untuk Mengasihi

Minggu, 16 Maret 2025

Kolom1091 Dilihat
banner 468x60

Rentigraf Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Tendensi untuk “menghakimi” dan tendensi untuk “mengasihi” sesama adalah dua cara hidup yang bisa ditempuh manusia dalam hidupnya. Ada yang memilih tendensi untuk “menghakimi” sesama, sehingga setiap saat orang itu hanya melihat hal-hal buruk yang dilakukan orang. Sedemikian kuatnya tendensi itu, sampai orang tersebut tidak lagi memiliki kemampuan untuk melihat kebaikan orang lain, betapapun itu kecil. Sebaliknya, ada juga yang memilih tendensi sebaliknya yaitu berusaha “mengasihi” orang lain apa adanya. Orang seperti ini memiliki hati lapang untuk memahami kekurangan-kekurangan kecil dalam hidup sesama, sebab tidak ada orang yang luput dari kesalahan. Sebab kata pepatah Latin, errare humanum est, keliru itu manusiawi. Dengan bekal pemahaman seperti itu, orang ini membuka hati yang lapang untuk sesamanya, untuk dapat menerima dan mencintainya dalam artian seluas-luasnya sebagai sesama. Manusia kategori pertama tadi melewatkan banyak waktu dan tenaganya untuk berpikir tentang orang lain, tetapi bukan dalam artian positif, melainkan dalam artian mencari-cari kesalahan orang lain yang dapat dipakai untuk menyalahkannya. Orang ini seperti tidak akan rela dan tega untuk melewatkan satu harinya tanpa berbuat atau mengatakan sesuatu yang dapat membangkitkan dalam diri orang lain keinginan untuk membentuk pendapat (opini) tentang sesama. Pokoknya, ada saja hal yang bisa dipakai orang seperti ini untuk mendorong orang lain membentuk opini mengenai sesama. Dalam hal ini, kita sudah mendengar sangat banyak. Kita juga sudah melihat sangat banyak. Bahkan kita juga sudah mengetahui sangat banyak.

Mungkin kita termasuk dalam kategori kelompok manusia kedua (semoga demikian). Setiap kali kita “diprovokasi” dengan opini negatif seperti itu, muncul dorongan dalam hati kita untuk berusaha mengeluarkan desakan opini tadi dari dalam hati kita karena kita menganggapnya racun. Kadang berhasil. Tidak jarang kita gagal. Ya, karena upaya seperti itu tidak selalu mudah. Butuh perjuangan terus-menerus. Terkadang kesadaran seperti itu terasa seperti sesuatu yang menekan jiwa: kita sadar bahwa itu tidak baik, tetapi kita tidak mudah menyingkirkannya dari dalam hati kita. Mungkin dalam rangka ini ada baiknya saya mengajak pembaca sekalian untuk belajar dari para Bapa Gurun dalam sejarah gereja dulu. Mereka itu berpendapat bahwa menghakimi dan menilai orang lain itu adalah sebuah beban berat. Jika kita dihakimi atau dinilai orang lain, masih terasa lebih ringan jika dibandingkan dengan tindakan menghakimi atau menilai orang lain. Menderita karena dihakimi orang lain, masih lebih ringan daripada menderita karena menghakimi orang lain. Ini adalah persoalan suara hati. Kata-kata penghakiman kita terhadap orang lain itu seperti terus bergema dalam hati kita sendiri, dan itu jelas sangat tidak nyaman dan sangat mengganggu. Karena itu, para Bapa Gurun, dalam pelbagai nasihat rohani mereka, berusaha mendorong “anak-anak” bimbingan rohaninya agar mereka berusaha berhenti menghakimi dan menilai orang lain.

Memang hal itu tidak mudah. Tetapi harus diperjuangkan terus-menerus. Dari pengalaman dan pengamatan mereka, dapat dikatakan dengan yakin dan pasti bahwa begitu kita bisa membebaskan diri dari tendensi menghakimi orang lain, kita akan mengalami suatu perasaan pembebasan yang luar biasa besarnya. Suatu rasa pembebasan yang menyebabkan kita merasa adanya asupan tenaga baru, sebab yang kita alami adalah semacam pembebasan batiniah, bukan hanya pembebasan jasmani. Pembebasan batiniah itu mendatangkan daya kekuatan yang luar biasa dalam hidup manusia yang mengalami dan merasakannya. Para Bapa Gurun itu juga menegaskan bahwa begitu kita sudah bebas dari tendensi untuk menghakimi orang lain, kita juga akan memiliki daya yang lebih besar untuk mencintai sesama. Jika kita mencintai sesama maka kita pun bebas untuk menaburkan belas kasih, pengampunan dan kerahiman. Dalam kaitan ini sebaiknya kita ingat akan perkataan Tuhan Yesus sendiri: “Janganlah menghakimi, dan kamu juga tidak akan dihakimi” (bdk., Mat 7:1). Jadi, apa pun yang kita perbuat pada sesama (menghakimi) akan kembali juga kepada diri kita. Mari kita berusaha meraih kebebasan rohani ini demi hidup yang ditandai kasih dan kerahiman ilahi.

 

banner 336x280