Ditulis oleh Hans Hayon
Diberitakan, seorang mahasiswi program kedokteran spesialis di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, ditemukan tewas di indekosnya. Ia diduga bunuh diri karena mengalami perundungan.
Sudah banyak orang yang membahas cara mencegah dan menangani kasus perundungan. Namun, seberapa sering kita berpikir bahwa tindakan bunuh diri merupakan bentuk komunikasi? Tentu, perspektif ini jarang ditemukan dalam disiplin ilmu komunikasi, kecuali di dalam sosio-liguistik dan sosiologi bahasa.
Apa yang mau ditegaskan dalam status ini adalah bahwa ketika seseorang melakukan tindakan bunuh diri, itu adalah bentuk “tangisan minta tolong”, menggunakan tubuh sendiri untuk mengomunikasikan keputusasaan sekaligus meminta bantuan dan menyampaikan pesan kepada orang lain. Dan tindakan ini bersifat sosial. Dengan kata lain, tidak ada tindakan bunuh diri yang bersifat individual.
Tapi ada juga gejala lain yakni tindakan menyakiti diri sendiri sebagai cara mengendalikan diri secara emosional. Psikolog klinis tahu baik bagian ini karena menyakiti diri sendiri adalah satu-satunya kebebasan yang tersisa dalam diri seseorang yang umumnya dilakukan oleh narapidana, namun hari-hari ini kita temukan di kalangan remaja putri yang merasa terjebak oleh tuntutan standar perilaku. Artinya, dari semua entitas yang ada di dunia ini, terisa hanya tubuh mereka sendiri yang mampu mereka kontrol sekaligus menjadi sumber kenyamanan.
Akumulasi fenomen di atas memang sulit dihilangkan. Mengapa? Sebab, orang yang berniat bunuh diri atau menyakiti diri sendiri butuh biografi baru yang terus-menerus mereka ceritakan kepada diri mereka sendiri dengan harapan bahwa kisah itu dapat dipercaya. Betapa miskinnya dunia tanpa cerita, tanpa gagasan.
https://www.facebook.com/share/vfB7GEPd2R8ro57X/?mibextid=oFDkn