Ditulis oleh Josef H. Wenas
Gus Dur jauh sebelum jadi presiden adalah juga seorang penulis kolom di berbagai media nasional. Selain sebagai tokoh sentral NU.
Yang saya ingat beliau kagum dengan berbagai “game plan” dari timnas-timnas Eropa dan Amerika Latin.
Saya kutip satu paragraf sebagai contoh saja. Ini dari artikel Gus Dur yang ditulis tahun 2000 di Harian Kompas, untuk menjawab opini budayawan yang juga seorang Yesuit bernama Liem Tiong Sien, alias Dr. Sindhunata, SJ.
Ceritanya begini: Sindhunata duluan menulis bahwa Gus Dur dalam menghadapi Pansus DPR menggunakan strategi Catenaccio—inii istilah grendel pertahanan Timnas Italia zaman itu yang terkenal sulit ditembus lawan.
Dan Gus Dur menjawab Sindhunata:
“Jadi, dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa strategi total football harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Dalam satu hal, kita menggunakan strategi catenaccio, sedang dalam hal lain strategi hit dan run. Bahkan, kadang kita menggunakan strategi total football dan siapa tahu kita juga memeragakan bola Samba kesebelasan Brasil.”
Gus Dur memang kadangkala menyederhanakan kerumitan di balik suatu peristiwa politik dengan analogi sepakbola.
Faktanya, setahun kemudian, pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur yang dilengserkan oleh MPR. Jadi, yang menang justru strategi Pansus di DPR itu.
Sewaktu saya berjumpa beliau, saya katakan, “Gus, jenengan kebanyakan game plan sih. Bingung sendiri kan?” Beliau terkekeh-kekeh.
***
Tetapi di tahun 2006, waktu itu sedang berlangsung Piala Dunia 2006 di Jerman, Gus Dur berceloteh dengan gaya guyonnya bahwa Indonesia akan berlaga di Piala Dunia 20 tahun lagi.
Celotehan ini dilontarkan berulang kali, di mana-mana. Saya mendengarkan sendiri celotehan Gus Dur ini di PBNU.
Jadi, 2006 ditambah 20 tahun sama dengan Piala Dunia 2026. Yang rencananya diselenggarakan di 16 kota dengan tuan rumah 3 negara: AS, Kanada, dan Mexico.
Apakah celotehan Gus Dur ini akan menjadi kenyataan?
Melihat kinerja Timnas Indonesia belakangan, rasanya hal itu bukan tidak mungkin. Ada harapan lah, walaupun jalannya masih terjal di depan.
Tetapi menurut Peter F. Gontha kalau toh Timnas kita menang, itu adalah “kemenangan terhina”, sebab ada unsur naturalisasi.
Menurut Tuan Gontha, lebih baik “kalah terhormat” dan tidak ikut Piala Dunia, tetapi tanpa unsur naturalisasi. Begitu kira-kira reasoning-nya.
Saya masih mencerna makna di balik fakta Timnas kita yang tidak mampu ikut Piala Dunia adalah sesuatu yang terhormat.
Sebab, Maroko yang juga mengambil jalur cepat naturalisasi ternyata di Piala Dunia FIFA 2022 mampu mengalahkan Spanyol sang juara Piala Dunia 2010 dengan skor 3-0.
Kalau Maroko tanpa naturalisasi dan kalah terhormat (seperti versi Peter Gontha) alias tidak ikut Piala Dunia, apakah mereka dihormati di kancah sepakbola dunia?
Saya bingung. Kalau kita kalah, kita terhormat; kalau kita menang, kita terhina.
Logika Gontha-Nasdem ini jadi mirip logika penggagalan Piala Dunia U-20 oleh Megawati-PDIP melalui pion mereka Ganjar Pranowo.
Semata-mata demi sebentuk “kehormatan” atas suatu dalil/prinsip yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan prestasi sepakbola Indonesia!
***
Tetapi celotehan Gus Dur soal Prabowo Subianto bakalan jadi presiden kan sudah terbukti. Hal itu dikatakan Gus Dur kepada Gus Irfan, sepupunya, sehabis ziarah ke Tebu Ireng sekitar tahun 2008. Saat itu suasana menjelang Pemilu 2009.
Gus Dur tidak melihat ada kans kemenangan untuk Paslon Mega Pro (Megawati-Prabowo) di Pemilu 2009, mengingat popularitas petahana Presiden SBY yang angkanya jauh di atas kontestan lain. Faktanya, SBY menang Pilpres diatas 60% suara kan?
Tetapi beliau bilang, “Pak Prabowo nanti jadi presiden nek wes tuwek!”
Prabowo hari ini berusia 72 tahun, saat dilantik 20 Oktober nanti sudah genap berusia 73 tahun. Celotehan Gus Dur soal Prabowo Subianto jadi kenyataan.
Bagaimana dengan celotehan beliau soal Timnas kita berlaga di Piala Dunia 2026? Kok, mendadak saya jadi kangen Gus Dur.