Ditulis oleh Irenius Lagung
Jelang fesitival Lembah Sanpio yang akan berlangsung 4–8 September 2024, sejumlah foto gedung Seminari Pius XII Kisol beredar luas di sosmed. Arsitekturnya megah, menarik, dan luks.
Festival yang dirancang bersamaan dengan HUT ke-69 Sanpio tahun itu juga mengingatkan kita pada kejeniusan sejumlah ‘founding fathers’, seperti P. Jurac Vontjiack SVD dan P. Leo Perik SVD yang berhasil meletakkan visi genius lembaga itu bagi pertumbuhan Gereja Lokal dan Gereja Universal.
Namun, saya yakin, tak banyak yang tahu nama asli lokasi tanah tempat bangunan Sanpio yang berdiri megah itu.
Sebagaimana dituturkan para pendahulu kami, lokasi itu dulu bernama BENGGO LONI. Benggo Loni artinya Lembah Loni. Persis di belakang Kapel Sanpio sekarang terdapat pusat lodho (lodok) Bpk. Epa (Ema Gholo) atau Fransiskus Epa (Alm.) dan keluarga.
Atas permintaan adat (kapu manu kele tua) P. Jurac Vontjiack SVD kepada Epa Ema Gholo maka lokasi ini diiming-imingi dengan sejumlah janji adat yang tercatat di hati P. Vontjiack SVD dan penerusnya P. Leo Perik SVD serta turunan Epa Ema Gholo di Watunggong dan para pendahulu lain, yang menjadi saksi utama kala itu.
Singkatnya 7 Mei 1955, dilaksanakan acara peletakan batu pertama Seminari Pius XII Kisol, lembaga yang kemudian menjadi ‘ladang semai’ tumbuhnya Gereja Lokal Manggarai bahkan Gereja Universal.
Gedung Seminari Pius XII Kisol kala itu dibangun agak ke utara dari gedung Sanpio sebagaimana tampak dalam gambar. Bangunan tua itu belum genap lima tahun dirobohkan dan berganti dengan gedung Balai Latihan Kerja (BLK).
Lokasinya bernama Kiso. Orang Rongga menamai lokasi itu Mabha (Padang) Kiso karena di sana tumbuh jenis tumbuhan yang dalam bahasa Rongga disebut Kiso, sejenis halia yang lazimnya tumbuh banyak di tepi sungai.
Entah mengapa, Kiso selanjutnya disebut Kisol. Dan, semenjak kehadiran lembaga ini, lembah nan rata di bawah kaki Gunung Lando dan Ndeki, yang sebelumnya disebut secara umum dengan nama Watunggong serta merta berubah menjadi Kisol.
Soal nama Watunggo(ng) akan dibahas kemudian. Saya lebih fokus pada perubahan nama-nama tempat yang khas itu. Yang paling menggelitik, adalah Gua Maria Neno Riwu. Aslinya lokasi itu bernama Embu Ngiu. Sementara Neno Riwu berada di selatan dari kawasan gua saat ini. Aneh disebut Gua Maria Neno Riwu.
Sebagai anak tanah, saya agak kesal menyaksikan keterjajahan atas nama penyebutan lokasi atau penamaan sejumlah tempat di wilayah ini.
Hampir tanpa resistensi, orang Rongga membiarkan begitu saja, malah nyemplung dan rentan untuk dijajah dengan nama-nama baru.
Konon, hal-hal kecil itu berpeluang menggeser hal-hal yang paling hakiki dalam aspek yang lebih luas: budaya, bahasa, seni, dan bukan tidak mungkin juga perilaku, budi, adab, dan budaya.
Semoga festival Lembah Sanpio jadi momentum tepat menghentikan kebiasaan dan salah kaprah yang akut itu!!!