SOSOK  

Delawa (1): Secangkir Harapan untuk Petani Kopi Manggarai

Di tiap seduhan kopi Delawa, tersimpan perjuangan dan harapan dari 24 petani mitra yang berjuang bersama.

Avatar of Redaksi Krebadia
Delawa
Irenius Gratia Sandur bersama sang istri Maria Sartika berfoto bersama di depan stand Delawa saat memeriahkan Festival Kopi Manggarai di Ruteng. (Foto: Iren Sandur)

Ditulis oleh Etgal Putra Anggal

Ruteng, 22 September 2024. Ratusan orang berkerumun di pelataran Gereja Katedral Ruteng. Malam ini adalah malam penutupan Festival Kopi Manggarai. Sebuah festival yang diselenggarakan oleh Asosiasi Kopi NTT.

Puluhan stand pameran berdiri mengelilingi pelataran katedral, memagari pengunjung yang hadir untuk menikmati pertunjukan musik.

Dari puluhan stand itu, ada satu stand yang tampak menonjol. Letaknya jauh dari panggung utama, namun tampak ramai dikunjungi.

Stand kopi itu kecil, ukurannya kira-kira empat meter persegi. Dibuat dari rangka baja dan ditutupi terpal dengan tulisan “Delawa Coffee”.

Beberapa toples kaca berisi biji kopi yang telah di-roasting diletakkan berjajar pada sebuah meja kayu. Di balik toples-toples tadi, seorang pemuda sibuk menyeduh kopi ke dalam cup kertas untuk disajikan kepada tamu yang mampir di stand kopinya.

“Kami pakai cup kertas, karena praktis dan bisa didaur ulang,” kata pemuda itu sambil sibuk melayani tamu yang mampir ke stand miliknya.

Nama pemuda itu Irenius Gratia Sandur. Malam itu dia menggunakan setelan serba hitam. Ia sibuk tapi tidak terlihat lelah. Padahal, setahu saya dia baru tiba di Ruteng setelah beberapa hari mengikuti kegiatan pameran di Jakarta.

Delawa
Iren bersama tim Delawa yang bertugas saat kegiatan Festival Kopi Manggarai. (Foto: Iren Sandur)

Ini kali kedua saya bertemu dengannya. Sebelumnya pada medio Juni lalu, kami sempat bertemu dalam kegiatan Apresiasi Kreasi Indonesia (AKI), sebuah bootcamp untuk pelaku UMKM yang diselenggarakan oleh Kemenparekraf di Labuan Bajo.

Saya  mewakili Sibakloang, brand kriya yang menciptakan produk dari daur ulang perca tenun, sedangkan Iren mewakili Delawa, brand kopi yang telah ia rintis selama beberapa tahun terakhir.

Dalam bootcamp itu, Iren dan brand kopinya terpilih sebagai finalis terbaik. Ia dikirim untuk mewakili NTT dalam pameran puncak di Jakarta pada  awal September lalu.

“Bagaimana kegiatan kemarin di Jakarta?” tanya saya menyinggung keterlibatannya dalam pameran tingkat nasional  

“Wah luar biasa Kae (Kak).  Ase (Adik) dapat banyak hal baru di sana,” jawab Iren. “Setelah ini kita cerita e,” katanya.  

Ini yang saya kagumi dari Iren sejak pertama bertemu. Dengan berbagai prestasi yang telah dicapai, dia tetap memilih rendah hati.

Dalam percakapan, dia selalu menyebut dirinya dengan kata “ase” saat menjawab lawan bicaranya. Sebuah kata yang berarti “adik” dalam Bahasa Manggarai. Dalam norma berbahasa Manggarai, menyebut diri dengan kata ini adalah bentuk kesopanan bertutur.

Delawa
Tim Delawa sibuk melayani pengunjung saat pameran Festival Kopi Manggarai. (Foto: Iren Sandur)

Delawa: Milik Masyarakat

Tumbuh besar sebagai orang Manggarai, sejak kecil Iren akrab dengan harumnya aroma kopi yang disangrai. Dia merasakan betapa pentingnya kopi bagi kehidupan masyarakat di desanya.

“Kopi adalah bentuk kehangatan, keakraban, sekaligus irama hidup orang Manggarai,” katanya. “Dimulai sejak bangun pagi, sampai malam.”

Namun, saat tumbuh besar dan menjadi dewasa, ia melihat bagaimana petani seringkali menjadi pihak yang paling dirugikan dalam rantai pasok kopi.

Nikmat rasa dan harum kopi yang ia kenal tidak dirasakan oleh mereka.  

Harga jual kopi yang acap kali fluktuatif dan cenderung rendah membuat mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Jujur, ase ingin mengubah situasi ini,” kata Iren. “Ase mau agar para petani kopi bisa hidup sejahtera dari hasil jerih payah mereka.” 

Berawal dari semangat itu, Iren mulai merintis Delawa. Sebuah brand yang bergerak di bidang processing dan roasting biji kopi.

Delawa
Proses sortir biji kopi oleh tim Delawa untuk memastikan kualitas biji kopi yang akan diterima pelanggan selalu dalam kondisi terbaik. (Foto: Iren Sandur)

Iren merintis Delawa bukan sekadar bisnis kopi. Menurutnya, Delawa adalah gerakan untuk menciptakan perubahan yang lebih baik.

“Kalau ditanya kami ini bentuknya apa, sebenarnya kami bisa disebut dengan nama apa saja,” kata Iren. 

“Delawa disebut sebagai kelompok bisa, sebagai komunitas juga bisa. Karena fokus kami pada tujuan, bukan nama.”

Menurutnya, nilai-nilai yang dianut oleh Delawa adalah keberlanjutan, keadilan dalam berusaha, dan memberdayakan masyarakat.

Dengan kata lain, Delawa tidak hanya ingin menghasilkan kopi berkualitas. Delawa juga ingin membangun ekosistem yang sehat dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.

Delawa
Bekerja sama dengan petani mitra adalah poin kunci yang dipegang oleh Delawa. (Foto: Iren Sandur)

Bergerak dan Berdayakan Petani

Salah satu kunci keberhasilan Delawa adalah kemitraan yang kuat dengan para petani.

“Kami saat ini punya 24 petani mitra di dua wilayah dampingan, di Waso dan juga di Mbohang,” kata Iren.

Delawa membeli red cherry atau kopi merah dari 24 petani dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga pasar.

Iren mengatakan, bahwa praktik jual beli ini masih awam di Manggarai. Umumnya kopi dijual dalam bentuk green bean atau biji kering.

“Delawa, kalau kami ada modal kami beli red cherry mereka. Tentunya dengan harga yang baik,” katanya.

Ia menjelaskan, “Metode ini dipakai agar kami bisa menjaga kualitas proses pengolahan pasca-panen.”

Menurutnya, kualitas dan kenikmatan kopi berada pada dua tahapan inti yaitu proses pengolahan pasca-panen dan proses roasting atau penyangraian biji kopi. 

“Secara kuantitas kami masih sedikit. Hanya sekitar 1 sampai 2 ton per tahun,” kata Iren. “Itu kenapa kami harus berfokus pada kualitas.”

Saat kemampuan untuk membeli terbatas karena kekurangan modal, Delawa akan menggunakan sistem deposit atau simpan hasil untuk hasil panen kopi milik petani mitranya. 

“Ketika nanti kami dapat pembeli dan kopinya sudah dijual, tentu harganya akan beda lagi,” kata Iren. 

“Ada hitungan khusus untuk mereka yang deposit. Kami akan bayarkan lebih mahal sekian persen.”

Delawa
Berfoto bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno saat pameran AKI di Labuan Bajo. (Foto: Iren Sandur)

Menurut Iren, harga yang adil akan memberikan jaminan ekonomi yang lebih baik bagi para petani. Imbasnya, para petani dan keluarga dapat meningkatkan kualitas hidup.

“Sejauh ini aman-aman karena harga yang kami berikan itu dirasa adil dan baik oleh petani,” kata Iren.

Meskipun masih dalam skala kecil, dampak dari skema kemitraan dan pembelian yang dilakukan Delawa sudah mulai terlihat.

Para petani mitra kini memiliki penghasilan yang lebih stabil dan dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. 

Mereka juga merasa lebih berdaya dan memiliki harapan yang lebih baik untuk masa depan.

Selain itu, program pemberdayaan ini juga berdampak positif pada lingkungan sekitar. Dengan menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan, para petani turut menjaga kelestarian alam. (Bersambung)

EDITOR: Redaksi Krebadia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *