Diktatoriat Kedangkalan dan Kepalsuan

Senin, 3 Februari 2025

Kolom140 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias,
(Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Ungkapan “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan” adalah sesuatu yang sangat terkenal dari Kitab Amsal (Ams 1:7). Dengan rumusan yang sedikit lain kita temukan variannya: “Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan.” (Amsal 9:10). Sudah lama sekali ungkapan itu menjadi salah satu pokok permenungan hidup saya. Tidak selalu mudah untuk menangkap makna ungkapan itu. Setelah melewati proses permenungan yang lama, saya mengajarkan Sastra Hikmat Kebijaksanaan Israel sejak awal tahun 1993 untuk para frater (calon imam) di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Jauh sebelumnya saya berkenalan dengan ungkapan ini dalam kuliah Sastra Kebijaksanaan Israel yang diberikan P. Wim van der Weijden MSF di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Dalam seluruh proses itu, secara tidak sengaja saya menemukan sisi sebaliknya dari rumusan “takut akan Tuhan” itu. Yaitu “takut akan manusia.” Justru perubahan sudut pandang inilah yang banyak membantu saya memahami makna ungkapan tadi. Apa yang akan terjadi jika orang “takut akan manusia”? Menurut saya, “takut akan manusia” muncul karena orang tidak memiliki rasa “takut akan Tuhan”. Jika orang tidak punya rasa takut akan Tuhan, yang memunculkan rasa “takut akan manusia”, maka itulah titik awal, titik permulaan “kebodohan” bahkan permulaan dari “segala macam kebodohan”. Dewasa ini, rasa “takut akan Allah” itu sepertinya sudah tergusur dari daftar kebajikan hidup kita. Hal itu terjadi karena citra Allah sudah dikalahkan oleh hukum-hukum periklanan modern.

Jika Allah harus ditampilkan dalam iklan, maka Dia harus dilukiskan secara grafis dengan sangat berbeda agar orang tidak bisa menemukan alasan untuk takut akan Dia. Mungkin itu merupakan sifat terakhir yang bisa muncul dalam upaya kita untuk menggambarkan Dia dalam dunia modern ini. Dengan cara ini, maka pembalikan nilai-nilai, yang dulu merupakan penyakit yang sangat nyata dari sejarah agama sebelum munculnya kekristenan dalam panggung sejarah dunia justru berkembang menjadi semakin pesat dalam seluruh masyarakat kita bahkan juga di tengah Gereja itu sendiri. Sebab di zaman kuno dulu ada satu keyakinan yang tersebar luas bahwa orang tidak perlu takut akan Tuhan yang baik, yaitu Tuhan sejati, karena dari Dia kita bisa mengharapkan hal yang baik saja. Bukahkah Dia baik? Jadi, tidak usah cemas dan takut akan Allah yang baik. Justru yang harus ditakuti ialah daya-daya setan. Mereka inilah yang berbahaya. Karena itu, orang harus berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan perhatian mereka. Dalam pandangan seperti ini kita bisa melihat bahwa ibadat penyembahan kepada berhala-berhala merupakan suatu penyimpangan, sebentuk kesesatan, dari penyembahan kepada Allah. Tetapi masalahnya ialah bahwa kita ini justru dikitari oleh suasana pemberhalaan ini. Allah yang baik tidak mendatangkan celaka apa pun kepada kita; yang kita perlukan ialah bahwa kita hanya memberikan kepada-Nya tidak lebih dari semacam kepercayaan primitif saja.

Sementara itu ada sangat banyak daya kekuatan yang berbahaya di sekeliling kita. Kita harus berurusan dengan daya-daya berbahaya ini. Hal itulah yang orang lakukan baik dalam maupun di luar Gereja. Orang tidak lagi mengarahkan pandangan matanya kepada Allah dan pelbagai tuntutan-Nya. Orang seperti meremehkan hal-hal itu. Dengan mengarahkan pandangan mata mereka kepada daya-daya kekuasaan dan kekuatan manusia. Mereka mendambakan hidup bahagia di dunia ini, sekalipun kebahagiaan itu sebenarnya hanya semu. Orang tidak lagi berjuang keras untuk apa yang sejati, berjuang demi kebenaran. Melainkan orang ngotot memperjuangkan hal-hal permukaan saja. Misalnya, orang sangat memperhitungkan bagaimana orang berpikir tentang mereka dan bagaimana orang di luar sana melukiskan dan memikirkan tentang mereka. Paus Benediktus XVI menyebut fenomena sosial modern ini dengan sebutan menarik: kediktatoran hal-hal permukaan, dictatorship of appearances. Inilah berhala yang sangat merajalela dalam zaman sekarang ini. Sayangnya, tendensi itu ada juga dalam Gereja. Gereja tidak luput dari terpaan diktatoriat kepalsuan dan kedangkalan itu. Ya, takut akan manusia adalah permulaan segala kebodohan. Di mana orang tidak lagi takut akan Allah, di sana ketakutan akan manusia merajalela.

 

banner 336x280