Dua Wajah di Hutan Belantara

Narasi 40 Tahun Imamat Pater Marsel Agot SVD

Avatar of Gerard Bibang
Marsel Agot, Wajah, Pater Marsel

Warta panca windu imamatnya membuat saya tertegun serta membawa saya ke empat dekade silam ke era tahun 80-an di Bukit Mentari Ledalero.

Syukur kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengannya di saat yang tepat. Di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala orang masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran yang akhir-akhirnya percaya kepada keindahan sebagai puncak dari kebaikan dan kebenaran.

Kabar 40 tahun imamatnya mengalirkan kembali kerinduan akan keindahan itu, persis di saat ini di mana informasi mendatangi manusia siang malam sebagai arus yang sedang deras-derasnya melalui millenial digital phenomenon. Di mana saking ramai dan hura-huranya informasi itu, membuat orang mudah tergelincir dalam apa yang mereka sendiri sebut post truth, di mana yang disebut benar bukan benar tetapi kebohongan yang diciptakan dan disebarkan serta diucapkan berulang-ulang, itulah yang diterima sebagai kebenaran.

Golowelu

Ada dua frasa untuk saya membuktikan keindahan yang ada pada Pater Marsel itu. Pertama, Golowelu. Kedua, Sabda yang menghutan dan membumi.

Yang tersimpan dalam ingatan saya dari penahbisannya 40 tahun lalu tgl. 22 Juni 1983 di Golowelu itu, ya, hanya ini: pidato tersingkat. Imam baru Marsel Agot berpidato tidak sampai lima menit. Intinya ialah dia minta doa untuk kelanggengan imamatnya karena dia juga manusia biasa yang penuh kerapuhan.

Sehabis berpidato, dia langsung mengajak kami adik-adiknya dari Ledalero untuk naik panggung dan menyanyi bersama. Saya lupa lagu apa yang kami nyanyikan. Mungkin lagu Sili uma manga wela dengan kanon tiga kali hasil aransemen Frater Vincent Jolasa. Tepuk tangan umat amat meriah. Belum tahu apakah mereka senang dengan lagu kami, atau boleh jadi karena anehnya kanon baru terhadap lagu itu. Pokoknya, tepuk tangan meriah.

Ternyata ada yang lebih surprise lagi. Yaitu, ketika seorang bapa wakil keluarga berpidato. Tidak sampai tiga menit. Seingat saya, wakil keluarga berkata: Anak kami Pater Marsel, pake-lah jubah putihmu itu sampai kau mati!

Dalam perjalanan menuju tangga turun dari panggung, saya melihat wakil keluarga  itu mengusap kacamatanya. Saya pikir dia terharu bahagia. Matanya yang sembab melelehkan butir-butir air mata.

Tentu tepuk tangan kami lebih kencang dan lama. Tadinya kami mengira akan ada litani nasihat saleh bagi imam baru. Eh, ternyata tidak. Jadilah pidato wakil keluarga itu menjadi pidato tersingkat yang sesingkat-singkatnya dari semua pidato tahbisan yang pernah saya ikuti sampai detik ini.

Surprise ini ternyata bukan hanya untuk kami tapi juga untuk uskup penahbis, Mgr. Anton Pain Ratu SVD, uskup pembantu Keuskupan Atambua. Mengawali kata sambutannya, Mgr. Anton  berkata: Saya terima kasih dulu e sama imam baru dan wakil keluarga karena sudah omong singkat. Saya juga tidak mau kalah e. Saya juga omong singkat saja supaya kita cepat makan siang!

Non Multa Sed Multum

Saya tidak mengira kalau pidato satu kalimat itu, saking tak terkira energinya, mampu mengantar imam muda Marsel Agot SVD ke 40 tahun imamatnya. Tak disangka-sangka pula bahwa pidato singkat imam muda yang tak sampai lima menit itu, telah menjadi kekuatan tak terukur bagi perjalanan empat dekade imamatnya.

Yah, begitulah khasiat sebuah doa. Begitulah pula kekuatan sebuah non multa sed multum. Sebuah bukan kuantitas tapi kualitas. Bukan jumlah tapi mutu. Bukan aksesori tapi nilai. Bukan permukaan tapi kedalaman. Bukan hura-hura tapi utama. Bukan ikut ke mana angin tapi pegang prinsip. Bukan kebawa rasa tapi intelektual. Bukan menikmati ragawi tapi pegang hati nurani. Bukan ikut apa kata orang yang biasa suka menyenangkan tapi ikut apa kata Sang SABDA.

Memang bagi siapa saja yang berpinsip seperti ini, langit di luar, gelora dalam badan akan selalu bersatu dalam jiwa. Coba tengok ke STKIP Ruteng di era medio 80-an hingga 90-an. Dia barusan balik studi teologi dogmatik dari Roma dan coba tengok bagaimana amukan badai datang bertubi-tubi, bagaimana dia terombang-ambing diterpa angin, dia tetap berjalan merunduk karena tahu dia berangkat dari mana dan pergi ke mana.

Dengan jabatan yang diembannya sebagai ketua sekolah sangat dimungkinkan baginya untuk bisa buat apa saja untuk menyenangkan dan memenangkan ambisi-ambisi pribadinya kalau saja dia mau. Tapi dia lewati semuanya dalam keindahan.

Di tahun-tahun itu, dari belahan bumi seberang, Jerman dan Jakarta, saya diam-diam menyimak bagaimana non multa sed multum-nya menyata dalam sikapnya. Dia tidak terjebak dalam kurungan peradaban di mana orang mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan kekuasaan dan uang, mempertahankan harta benda, bersimpuh pada kemenangan dan jabatan dunia serta memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang disangka sebagai prestasi dan keutamaan. Dia tidak tergiur dalam peradaban yang menjalankan salah sangka terhadap apa itu keindahan, meskipun sebagai orang yang mampu dan kuat, bisa saja dan pasti ia menang dalam pertarungan peradaban itu, asalkan saja dia mau.

Dua Wajah Sahaja

Maka yang senyata-nyata ada, ya, dia tetaplah seorang pekerja Sabda yang bersahaja. Saya melihat ada dua wajah sahaja padanya.

Pertama, dada tidak pernah membusung tapi kepala tetap tegak berjalan di tengah sambaran badai. Tidak pernah besar volume kepalanya oleh sanjungan jujur dan palsu dan tetap tidur nyenyak meski diamuk oleh kata, suara dan perbuatan, sementara yang lain-lain mungkin hanya bisa tertidur (=bukan tidur nyenyak) karena seharian telah sangat lelah dan capek memburu dan mempertengkarkan tentang apa yang mereka sangka kehebatan.

Atas dasar ini, satu-satunya andalannya tiada lain selain hati nurani. Diimaninya sungguh bahwa Sabda Allah yang telah diikrarkannya kekal, berdiam dalam hatinya. Keyakinan ini tentu tak terbantahkan. Maka hati nuranilah yang berperan dalam hal pertimbangan rasional, perasaan dan intuisi, baik itu di dalam serikatnya maupun di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.

Apa pun sangkaan sirik dan cemoohan orang terhadapnya, dia tetap memperjuangkan apa yang benar dan adil, yang mengangkat harkat martabat manusia, yang menopang perdamaian, persaudaraan, perikemanusiaan dan peradaban.

Dengan ini, dia adalah orang yang terlibat dengan permasalahan yang dihadapi. Dia tidak pernah lari sejengkal pun. Untuk apa terlibat?  Dia toh bisa solo karier dan hidup dengan kemampuan yang ada?

Bagi saya, jelas. Karena dalam keterlibatan itu, dia menemukan makna hidupnya, yaitu Sinn und Bedeutung, sebuah terminologi yang dulu diperdengarkan oleh dosen-dosen teologinya di Ledalero dan yang kemudian dipertegas dan diperdalam saat dia studi lanjut teologi dogmatik di Roma. Jadilah dia seorang imam Tuhan yang berpamor, yang tumbuh dari keping-keping yang serasi dengan kebenaran dan kebaikan.

Maka dari wajahnya yang lusuh terpijarlah kebenaran dalam cahaya keindahan. Benar kata Thomas Aquinas: pulchrum est splendor veritatis . Apa yang benar akan selalu memancar indah.

Keindahan ini telah dia kelola dan fungsikan sebagai sarana komunikasi dengan siapa saja. Adakah kita melihat dia frontal menghadapi orang-orang yang melawannya? Adakah dia menggebu-gebu dan bernada tinggi bernafsu-nafsu dengan orang yang mendebatnya? Adakah matanya berbinar-binar mengutuk badai yang menimpa? Adakah dia mengumpat dengki orang-orang yang menelikungnya? Adakah dia merengek-rengek ke mana-mana supaya orang lain turut merasakan derita yang menderanya? Jawabannya tidak! Karena itu tadi: keindahan adalah medium interaksinya.

Wajah kedua kesahajaanya ialah sederhana. Sejak 40 tahun lalu sampai kini, Pater Marsel ini biasa-biasa saja. Tidak ada yang berubah. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Inilah yang lantas membuat orang-orang di sekelilingnya tidak direpotkan dengan kadar derita yang dia alami dan takaran jenis salib yang menimpa pundaknya. Inilah pula yang membuat orang lain tidak perlu mengetahui atau turut menghayati duka derita dan air matanya.

Pernah di suatu waktu, saya lupa tahunnya, saya dan istri dan anak kami yang masih kecil, berjumpa dengannya di Soverdi Kepundung Denpasar, setelah seminggu sebelumnya saya sendiri bertemu dia tanpa sengaja dan singkat di STKIP Ruteng. Tidak sempat ngobrol lama. Waktu itu dia katakan, minggu depan dia ke Denpasar untuk urus sekolah, dan kita ketemulah ngobrol lebih lama di sana.

Apa yang terjadi sore itu di Kepundung? Pater Marsel lebih banyak bermain dengan anak saya Beatus sambil cerita banyak yang tidak penting dan ini yang mencengangkan saya, hampir tidak pernah cerita tentang dirinya dan apa yang dia buat di STKIP Ruteng, padahal waktu itu dia sudah menjadi ketuanya. Kecuali hanya satu kalimat: mudah-mudahan nanti sekolah ini membuat Manggarai lebih besar!

Saya tidak menanggapi kecuali manggut. Karena saya pikir, kalimat itu lebih sebagai doa daripada pernyataan untuk didebatkan.

Sewaktu pamit, dia memberikan istri saya satu kain motif maumere dan satunya motif Lio. Ini ibu untuk pake waktu musim panas di sana, pesannya. Wah, hadiah tak terduga. Di Jakarta, sebelum balik ke Koeln, istri saya langsung menjahitkan dua kain itu menjadi rok dan blus. Saya minta dijahitkan jas dari kain Lio, tapi istri saya katakan, jangan, ini hadiah hanya untuk saya dari Pater Marsel. Baik sudah! Dan di Jerman, di musim panas tahun-tahun sesudahnya, istri saya selalu bangga mengenakan pakaian kain Flores ini, selain rok songke Manggarai yang memang sudah ada sebelumnya.

Pakaian itu masih ada, Pater. Sekarang sudah tidak muat lagi. Istri saya sudah tidak selangsing dulu. Tapi masih tersimpan utuh di lemari. Melihat kain itu, mengenang Pater! Yang selalu menjadi pertanyaan istri saya sampai sekarang, yang selalu tak bisa saya jawab: koq bisa ya, rektor sekolah tinggi bisa-bisanya perhatikan hal-hal kecil begini, kita ini kan gak siapa-siapa!

Melihat dan membaca berita sukacita beberapa tahun terakhir ini dari STKIP yang menjadi Unika, dari beberapa gedung sempit menjadi lebih beberapa gedung bertingkat-tingkat, dari ratusan mahasiwa ke ribuan, dari tahun ke tahun membesar dan terus membesar, dari alumni yang lebih banyak diterima sebagai ASN dan berkarya di mana-mana, saya kembali teringat sore itu di Kepundung dan teringiang-ngiang di telinga kalimat tunggalnya itu: mudah-mudahan nanti sekolah ini membuat Manggarai lebih besar! Yah, Mori Keraeng tidak pernah tidur!

Bagi saya, inilah bentuk lain kesederhanaan itu bahwa semakin orang tiba di kedalaman, semakin dirinya menjadi seperti samudera tanpa riak-riak gelombang. Kesediaan mendengarkan dan bertutur sopan adalah bentuk lain dari kedalaman itu. Juga dalam bentuk memperhatikan orang kecil dan hal-hal sepele. Ketika dia mendengarkanmu bukan karena dia tidak tahu. Dia tahu banyak. Apa yang dia tidak punya. Pengalaman internasional, iyah. Studi tinggi, iyah. Pengalaman kerja, iyah. Meski begitu, dia tetaplah imam bersahaja, seserpih rahasia di antara hutan rimba dan belukar Manggarai Raya.

Sekaligus Dua Hal

Maka apa yang bisa saya ringkaskan dari dua wajahnya ini, hanya dua hal. Hal pertama, Pater Marsel hanya takut kepada Sang Sabda. Hanya kepada-NYA-lah, dia bertanggung jawab sepenuh-penuhnya karena keyakinan bahwa Sang Sabda hadir pada orang-orang sekitarnya dan pada hutan belantara serta semak belukar di tanah Manggarai di atasnya dia berpijak.

Oleh karena itu dia tak pernah mengancam nyawa mereka. Tidak pernah melecehkan martabat atau derajat mereka. Tidak juga merendahkan mereka. Bukan karena dia sendiri orang Manggarai. Tapi itulah etos yang mendarah daging dari dua wajah tadi.

Oleh etos ini, dia tak pernah bersaing atau berebut popularitas dengan mereka. Dia juga tidak pernah berjuang menempuh karier, membangun nama baik, mendaki jabatan, menghimpun kekayaan, membina karier, memimpikan kemasyhuran atau mengejar status dan jabatan.

Hal kedua, Pater Marsel sungguh yakin bahwa bukan manusialah yang menciptakan dirinya, yang secara hakiki menghamparkan rejeki dan kesejahteraan bagi hidupnya. Rezeki dan kemakmuran adalah semata-mata tetesan kemurahan Tuhan yang disalurkan melalui berbagai rupa dan bentuk.

Jadi, pada Pater Marsel terdapat dua wajah sekaligus dua hal. Kedua hal inilah yang membawanya pada keadaan sekarang ini, yang saya sebut keadaan bernikmat nan sejati. Yaitu dia hanya menyayangi orang-orang yang dipercayakan kepadanya, membantu semampu-mampunya untuk membuat mereka manusia bernikmat demi menjadi tumpuan harapan bagi sesama.

Frasa Kedua: Sabda yang Menghutan dan Membumi

Siapakah Sabda di frasa kedua ini? Sabda menunjuk kepada Allah. Juga menunjuk kepada Pater Marsel imam biarawan Serikat Sabda Allah (SVD), yang dengan kaul-kaul kebiaraannya hendak membadankan jejak-jejak Sang Sabda sepanjang-panjang perjalanan di dunia. Sedangkah hutan dan bumi adalah kerja nyata dari pekerja sabda yang berwajah dua ini.

Hampir dua dekade terakhir, Pater Marsel mewartakan Sabda kepada hutan belantara dan manusia di Labuan Bajo, sunset city destinasi wasata premium dunia itu. Di sini, nikmat-nikmat sejatinya terejawantah dengan nyata senyata-nyatanya. Semuanya berjalan dalam sunyi, jauh dari hura-hura, publikasi dan ramai-ramai.

Siapa yang tidak mengenal kawasan 12 hektare hutan belantara Solohana, darinya delapan hektare dilebati dengan 15 jenis pohon lokal seperti mahoni, nara, ngancar, ajang, kesi, lui, sau serta beberapa jenis lainnya?

Siapa yang menyangka kawasan yang dulunya berbukit gersang kerontang, kini menjadi hijau dan menyembulkan mata air yang memberikan kehidupan bagi manusia dan ciptaan lain di sekitarnya?

Siapa pernah berpikir bahwa Solohana terletak di pusat kota, yang menuju ke sana sangat mudah lewat beberapa arah, yang bila dari Patung Caci langsung belok kanan lewat Pasar Batu Cermin atau Wae Kesambi, selanjutnya belok di ruas jalan bagian depan Gua Batu Cermin ke arah utara, melewati jalan beraspal mulus dan sekitar 700 meter dari Gua Batu Cermin, kamu akan menghirup seratus persen oksigen murni hanya dengan sekitar 15 menit perjalanan?

Siapa pernah mengira bahwa inilah satu-satunya kota di Indonesia, yang memiliki paru-paru di jantung ibu kota, yang menyalurkan oksigen ke semua makhluk yang berdatangan ke kota itu, selayaknya seperti kota-kota maju di Eropa? Bukankah ini warisan peradaban bernilai kepada anak cucu kita dan menjadi narasi indah bagi dunia?

Apakah hutan dan mata air hanya dan harus dikerjakan oleh awam yang tak tertahbis dan bukan dilakukan oleh imam biarawan tertahbis? Bukankah dengan ini Pater Marsel memindahkan altar di gereja ke hutan belantara dan kebun?

Pernahkah kita membayangkan rimbunan pohon-pohon itu setia menghembus sejuk sepanjang hari, setiap hari, menepis gerah yang menyengat tubuh, mencairkan segala kepenatan dan orang-orang kembali menemukan sebuah harapan?

Apakah kamu tahu bahwa kini dalam beberapa tahun terakhir dia sedang menyelesaikan pembangunan rumah singgah ibu hamil di setiap puskemas di Kabupaten Manggarai Barat?

Apakah masih ada orang yang berani mengatakan bahwa semua yang dia kerjakan ini adalah properti eksklusif pribadinya dan karena itu tidak sesuai dengan semangat konstitusi serikat dan ajaran Gereja Katolik? Dan apakah orang itu yakin semuanya ini adalah untuk kenikmatan dirinya sendiri?

Men-Sabdai Hutan

Solohana dan lain-lainnya adalah Sabda yang menghutan dan membuni. Dulunya bukit gersang, kini menjadi hijau. Itulah kebun dan hutan yang sudah di-sabdai. Jadilah belantara itu sebuah harapan hidup bagi banyak orang.

Masih ada satu mimpinya. Dia ingin suatu waktu Solohana menjadi wisata rohani. Orang-orang dimudahkan masuk ke dalamnya, menikmati hijaunya hutan dan mungkin ada yang mau jalan salib atau sekedar datang menikmati burung ekor panjang beterbangan sembari menjelajahi gua yang sudah memunculkan burung wallet, ular sawah dan binatang lainnya.

Selain itu, ada sebuah warta lantang lainnya. Dengan menanam pepohonan, dia merawat rahim bumi. Pater Marsel ingin berkata, ini lho etos kehidupan untuk jangan lupa menyandarkan survive pada kemurahan humus dan hasil tetumbuhan di atasnya.

Apakah dia mendapat banyak? Tidak. Celana dan baju bisa dihitung. Itu-itu saja.  Itu pun banyak baju lama dan kumal. Ada pun arloji berantai longgar di tangan kirinya dipastikan tidak selalu hidup alias selalu mati, mungkin rusak atau bateri aus, menjadikan kesederhanaannya sebuah warta tersendiri bagi kita bahwa apa yang kita pakai di dunia, tidak harus selalu fungsional, tetapi lebih banyak sebagai aksesori dan rumbai-rumbai. Toh apa yang dikenakan di dunia ini akan ditinggalkan dan meninggalkan kita.

Kae Pater, berikut ini sejumput doaku:

Sekeliling Pohon-Pohon Bergetaran

Serasa aku telah menatap bola-mata-Mu, ya Sang Sabda; saat aku mulai menyelinap di antara pepohonan dan semak belukar di sepanjang-panjang tanah subur berbunga membentang, di bumi manggarai, di barat nusa bunga

Panas dan pedih menyergapku dan air mata mengucur deras, alangkah menggelegak jiwaku: inikah bayaran yang setimpal untuk membuktikan kepada-Mu bahwa tak ingin aku tenggelam dalam kenikmatan semu dosa-dosa sekeliling pohon-pohon bergetaran, di sekeliling awan yang bergeser ke tepian, di tengah benda-benda duniawi yang berseliweran datang dan pergi?

Jika ada saudaraku yang menanyakan ke mana aku hendak pergi, hendaknya ia mengerti bahwa rasa panas dan sakit di mataku bukanlah apa-apa; katakan bahwa aku kini berada dalam ruang tanpa tepi, di bawah cahaya cemerlang Sang SABDA yang telah dikenal oleh jiwaku yang paling dalam, yang terasa menghidupkan kembali tujuan untuk apa aku dipanggil, di saat-saat warna-warni mulai meremang dan akhirnya gelap, di saat-saat jatuh bangun jatuh lagi dan sekeliling bersorak sorai berkata rasa kau, rasa kau, di saat-saat menapak di lorong gelap, tampak segalanya padam dan bertatih-tatih selayaknya orang buta bawaan

Wahai Sang SABDA, betapa dahsyat penciptaan-MU

Oleh apa pun tak terwakili

ENGKAU telah pindahkan lensa mata-MU ke dasar jiwaku

Betapa ENGKAU serasa hati ini
Dicacah dilukai berulangkali
Berdarah-darah dan mati beribu kali
Esok terbit jadi matahari

ENGKAU berdiri sana menantiku kembali

 

(gnb:tmn aries:jkt:minggu:18.6.23: utk 40 thn imamat P Marsel Agot SVD, tgl 22 Juni)

 

EDITOR: Redaksi Krebadia.com


gerard bibang, wajahGerard N. Bibang, alumnus IFTK Ledalero, dosen, dan penyair, mantan jurnalis-penyiar radio Deutsche Welle Jerman dan Radio Nederland Wereldomroep Belanda.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *