OPINI  

Festival Lembah Sanpio: Gereja Sedang Menyapa Orang Rongga?

Avatar of Redaksi Krebadia
Festival Lembah Sanpio: Gereja Sedang Menyapa Orang Rongga?
FOTO: suaraburuh.com

Ditulis oleh Irenius Lagung

Judul tulisan ini jelas provokatif, tetapi sangat perlu untuk direfleksi dan dipikirkan secara matang agar tidak menimbulkan kontroversi di kemudian hari. Sengaja saya tulis ini, sebagai peringatan pada siapa saja–meski kami kecil tapi tetap berada dan hidup.

Baiklah, itu sekadar pengantar–meski saya tahu, berbagai pandangan skeptis sedang tidak ramah bahkan mencibir tulisan ini.

Inspirasi tulisan ini muncul ketika pada postingan saya sebelumnya tentang “Embu Ngiu: Dari Tempat Angker Menjadi Tempat Sakral”, ada komen dalam bentuk postingan run down/susunan acara pelaksanaan festival Lembah Sanpio.

Tampak jelas tertulis nama gua Neno Riwu dalam rilisan yang dibuat panitia. Juga secara umum, tampak berbagai seremoni dan atraksi budaya. Pokoknya, serba wah. Apalagi, belakangan hampir setiap hari ada sejumlah latihan tarian vera dan berbagai atraksi di lapangan Sanpio.

Sekilas saya berpikir: oh ternyata Panitia Pelaksanaan Festival Lembah Sanpio sedang tidak peduli iya soal isu penamaan tempat ini. Tetapi saya kembali berpikir positif. Mungkin saja mereka sedang sibuk mempersiapkan pelaksanaan hajatan, hingga hal kecil itu luput dari perhatian.

Sudahlah, itu bisa dikoreksi–mudah-mudahan sebelum pelaksanaan festival. Sebab, apa artinya bertahan dalam kesalahan dan coba melibatkan Gereja dalam hal ini?

Bahaya juga seh, sebab yang sedang dipasarkan saat ini bukan soal panitianya, tapi Gereja yang sudah jauh hari mengumandangkan spirit sedang menyapa Manggarai dan juga ini sedang melaksanakan misi pastoral Pariwisata Holistik yang konon mengedepankan 7 pendekatan yang serba ramah: ramah martabat manusia, ramah sesama, ramah budaya, ramah lingkungan, ramah nilai etis-religius, ramah keadilan dan kejujuran, dan ramah Iptek yang manusiawi.

Saya fokus pada ramah berbudaya dan lingkungan saja.

Pada berbagai kesempatan Mgr. Siprianus Hormat menekankan penghargaan dan perawatan terhadap kearifan lokal secara inklusif, dialogal dengan budaya lain, serta lentur dalam budaya mondial. Itu berarti, berbagai kegiatan festival, termasuk festival Lembah Sanpio juga, harus ramah!!!

Bagi saya, Festival Lembah Sanpio kali ini adalah momen langka. Dia melampaui keramaian 7 Mei 1955 ketika para tokoh agama, adat, dan pendidik serta umat dari berbagai penjuru hadir menyaksikan peletakan batu pertama Seminari Pius XII Kisol. Juga melebihi kemeriahan perayaan Pancawindu Sanpio 1995, Pesta Emas Sanpio 2005, dan HUT ke-60 Sanpio 2015. Sebab jangkauanya sangat luas dan akan dihadiri umat se-Kevikepan Borong serta alumni Sanpio dari berbagai penjuru. Dahsyat itu!!!

Dalam adat Rongga, upacara upacara besar itu, mesti ada ritus pendahulu minta restu naga tana mori watu/penguasa alam semesta. Tapi, kok tidak ada agenda itu ya? Apakah Gereja sedang lupa menyapa hal yang paling hakiki itu, lantas mendewakan vera dan berbagai atraksi lain?

Mudah-mudahan, catatan korektif ini bisa dipahami dalam konteks melengkapi agenda besar festival, sekaligus mendorong Gereja untuk lebih menyapa kami orang Rongga.

SUMBER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *