Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Saya ingat baik, pertama kalinya saya membaca teks Gita Sang Surya (Kidung Saudara Matahari, dalam terjemahan masa kini), dalam Majalah Rohani, edisi September atau Oktober 1976. Itu terjemahan Romo Jesuit, Pater Dick Hartoko SJ, pemimpin redaksi majalah Rohani dan Majalah Basis. Edisi itu adalah edisi khusus yang terbit dalam rangka menyongsong perayaan delapan ratus tahun kelahiran Fransiskus dari Asisi. Dalam edisi itu ada beberapa Fransiskan yang menulis sebagai kontributor. Ada Cypri Aoer, P. Alex Lanur, ada P. Cletus Groenen, serta P. Niko Syukur dan P. Martin Harun. Kembali ke teks Gita Sang Surya itu. Judul itu sangat indah dan puitik. Disajikan dalam dua halaman istimewa dengan latar belakang angkasa-raya hitam-putih dan di kejauhan tampak matahari bersinar menembus awan. Indah sekali. Puisi Gita Sang Surya itu memang sebuah lagu tentang saudara matahari. Bahasa Latinnya Canticum Solis, Nyanyian Matahari. “Terpujilah Dikau Tuhanku (Laudato Si mi Signore), karena saudara Matahari…”. Pertama kali saya membaca puisi kosmis itu, saya duduk di kelas 2 SMP Seminari Pius XII Kisol. Saat itulah saya membaca puisi versi terjemahan Pater Dick Hartoko SJ itu. Tatkala saya membaca baris pertama puisi itu, ingatan saya langsung terlontar ke masa kecilku di sebuah Sekolah Dasar Katolik Lamba-Ketang. Di sana matahari pagi terbit sangat indah dari balik Golo Walok.
Pada masa kecil saya Ketang memang sangat indah. Sebagian besar hamparan di luar kompleks sekolah masih berupa rerumputan (bahasa Manggarai, pumpuk). Di Ketang hanya ada beberapa rumah. gedung sekolah, rumah guru ada tiga. Belum ada gereja. Lokasi gereja itu masih berupa hamparan rerumputan (pumpuk). Pengalaman matahari terbitku yang indah selalu saya kaitkan dengan kemunculan matahari itu dari balik Golo Walok. Hingga saat ini saya belum pernah pergi ke Italia. Kabarnya daerah Umbria, tempat asal Santo Fransiskus, sangat indah. Karena itu ada penulis yang berkata bahwa puisi kosmis Gita Sang Surya dari Fransiskus Asisi, antara lain (mungkin satu-satunya) karena keindahan alam Umbria yang telah menyuburkan hati dan daya imajinasi sang Santo sehingga dari dalam hatinya mengalir dan memancarlah puisi kosmis yang indah ini. Saya masih belum bisa mengkonfirmasi kebenaran pernyataan itu. Tetapi saya percaya bahwa memang demikianlah adanya. Walau sampai saat ini saya belum berhasil menciptakan puisi-indah berdasarkan alam indah Ketang di masa kecilku, tetapi saya bisa memastikan bahwa Ketang tetap hadir sebagai sebuah puisi abadi dalam kenangan masa kecil saya.
Suatu saat ketika masih kelas 1 atau 2 SD, saya pernah disuruh ayah saya untuk pergi lihat kuda yang terlepas ke bukit Rombang, Watuweri. Masa itu, tempat itu masih sangat sunyi. Tetapi karena disuruh ayah, saya pun berjalan pagi-pagi mencari kuda itu. Ternyata kuda itu ada di “oka” di Rombang itu, sedang mencoba berkenalan dengan sekelompok kuda liar di sana. Tentu saya tidak bisa menangkapnya. Tugas saya hanya memastikan bahwa kuda itu ada di sana. Tetapi bukan itu yang ingin saya katakan. Saat saya tiba di bukit Rombang, Watuweri itu, ternyata pemandangan jauh lebih indah ke arah timur, ke arah datangnya matahari dari punggung Golo Walok. Sinar pagi yang datang itu menyinari lereng Golo Nosot. Indah sekali. Tetapi sebagai anak kecil, saya ciut dan takut memandang Golo Nosot yang begitu besar dan tinggi. Selama ini saya hanya melihatnya dari lembah Ketang. Ternyata ketika saya berada hampir begitu dekat dengan kaki dan lerengnya, gunung itu sangat besar, dan sepertinya sedang siap menerkam saya seperti raksasa. Dengan segera saya mencoba mengatasi rasa takutku dan mencoba dengan tenang memandang lereng itu. Memang indah. Saya pun bertekad, suatu saat ketika saya sudah besar nanti, saya mau mendaki Golo Nosot ini, mau menikmati keindahan alam dari atas sana. Sampai saat ini, belum kesampaian. Mungkin dari sana, saya bisa berpuisi tentang matahari yang menyinari Golo Walok sebelum membawa terang yang indah ke lembah Ketang.