Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Hati manusia sangat rapuh. Mudah sekali patah. Mudah terluka. Mudah sekali sakit hati. Kalau sudah sakit, tidak mudah disembuhkan. Butuh waktu lama untuk proses pemulihan dan penyembuhan itu. Hati manusia memang sangat rapuh, rentan. “Vulnerable”. “Vulnerability” manusia memang terletak di hati. Apakah itu berarti tidak ada jalan keluar, tidak ada obat untuk menyembuhkan hati? Tidak adakah obat untuk hati yang terluka? Banyak penasihat rohani yang sudah makan asam dan garam kehidupan berpendapat bahwa ada jalan. Pendekatan mereka sangat optimistik. Jalan ke sana ialah melalui kemampuan mengampuni. Dengan kata lain, luka dan sakit hati bisa diatasi dan diobati dengan pengampunan, dengan kemampuan dan kerendah-hatian mengampuni. Betapa kuat dan mujarabnya pengampunan itu. Tetapi muncul sanggahan yang biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan ini: Bagaimana mungkin kita bisa mengampuni (forgive) orang yang tidak mau diampuni? Jadi, masalahnya, bukan terletak pada saya sebagai subjek pelaku pengampunan, melainkan pada orang yang diampuni. Jika masalahnya ada pada saya sebagai subjek pengampunan, maka pertanyaannya demikian: Bagaimana mungkin saya bisa mengampuni orang yang bersalah dan berbuat jahat kepada saya, yang melukai hati dan perasaan saya? Jadi, di sini fokus persoalan yang disoroti ialah pada orang yang akan diberi pengampunan, diberi maaf itu. Ketika kita dengan rendah hati “mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Doa Bapa Kami) kita sangat ingin, dari hati kita yang terdalam, agar pengampunan yang kita berikan akan diterima pihak sana.
Memang harus ada keseimbangan, ada titik temu antara memberi ampunan (giving) dan kemampuan menerima ampunan (receiving). Hal itu sangat penting. Sebab mutualitas itulah yang bisa menciptakan damai dan harmoni antara hati yang sedang tidak baik-baik saja. Sebab jika kondisi kita untuk memberi pengampunan itu sangat berharap bahwa tawaran itu akan diterima, bahkan mungkin “harus” diterima, maka sebenarnya mungkin kita tidak sedang mengampuni. Mungkin kita sedang memaksakan kehendak. Jika itu yang terjadi, maka kita sedang menempel luka baru pada luka lama. Kata Ebiet G.Ade, itu sangat menyakitkan. Karena itu, hal mengampuni orang lain pertama-tama adalah gerakan batiniah, aksi untuk menyingkirkan amarah, rasa kepahitan, dalam hati kita, menghapus keinginan untuk melakukan balas dendam. Itu dulu. Kita harus terlebih dahulu menghapus dan menyingkirkan semuanya itu dari hati kita. Hanya dengan cara itulah kita terbantu, membantu diri kita sendiri untuk meraih kembali martabat kemanusiaan kita. Sebelum kita bisa melakukan tahap itu, maka kita tidak dapat memaksa orang lain agar mau menerima tawaran pengampunan kita, betapa pun itu tulus. Sebab itu adalah perkara waktu yang tepat. Boleh jadi, mereka juga sudah mau menerima pengampunan, tetapi karena waktunya belum tepat maka mungkin saja mereka belum bisa atau mau menerimanya. Boleh jadi mereka tidak tahu atau tidak merasa bahwa mereka, perbuatan dan perkataan dan kelalaian mereka menimbulkan luka atas diri kita. Pokoknya banyak kemungkinan.
Karena itu, aksi pengampunan butuh persiapan dan proses itu tidak gampang, dan tidak singkat. Para penasihat rohani berpendapat bahwa satu-satunya cara ialah kita mulai dengan diri kita sendiri. Kita juga harus tahu bahwa kita tidak dapat mengubah orang lain, apalagi mengubah dunia. Satu-satunya orang yang dapat sungguh-sungguh kita ubah adalah diri kita sendiri. Terkait dengan kebenaran ini, kita harus sadar bahwa pengampunan akan orang lain pertama-tama dan terutama adalah hal menyembuhkan hati kita sendiri terlebih dahulu. Dan ajaibnya, begitu kita “selesai” dengan diri kita sendiri, maka dunia pun menjadi cerah. Orang lain pun bukan lagi masalah bagi kita. Jadi, kuncinya ialah selesaikan dan ubah dirimu sendiri, maka seluruh dunia dan seluruh isinya akan berubah juga tampaknya di hadapan mata kita. Itu adalah perubahan ke arah yang positif. Obat seakan terpancar sempurna dari luar sana untuk mengobati hati yang terluka. Luka hanya bisa kering dengan membiarkannya terbuka kepada sinar matahari yang memancarkan sinar-sinar berdaya menyembuhkan. Ajaib bukan? Itulah paradoks hidup.