Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Ada banyak faktor yang membentuk seseorang menjadi apa adanya dia sekarang ini. Misalnya saya sendiri. Setelah kilas balik semua pengalaman hidup selama ini, ternyata ada banyak relung pengalaman hidup yang memoles hidup dan kepribadianku. Saya belajar tidak hanya dari pengalaman yang baik saja, melainkan juga dari pengalaman buruk. Saya tidak hanya belajar dari hal-hal positif, melainkan juga belajar dari hal-hal negatif, baik yang saya lakukan, maupun yang terjadi di sekitarku. Perjalanan waktu beserta semua pengalaman di dalamnya, ikut membentuk saya menjadi seperti sekarang ini. Sulit membayangkan saya sekarang, tanpa semua yang terjadi di masa silam hidup saya. Karena itu, kita tidak dapat mengabaikan peran dari semua relung pengalaman hidup masa silam. Kata orang bijak, pengalaman adalah guru kehidupan paling bijak. Dari pengalaman kita belajar untuk bisa mengulang atau mengupayakan kembali apa yang baik agar lebih baik. Dari pengalaman itu juga kita belajar untuk tidak mengulang hal buruk yang kita lakukan. Dalam hal ini, benar nasihat historis yang konon keluar dari Sukarno, Presiden pertama Indonesia, yang ia sampaikan dalam bentuk akronim, Jasmerah (Jangan Sampai melupakan sejarah). Alasannya sangat penting. Jika orang melupakan sejarah, ada kemungkinan besar ia akan mengulang sejarah yang tidak baik, atau jatuh dalam lubang yang sama. Padahal ada pepatah Inggris yang menasihatkan agar orang tidak melupakan sejarah. Katanya: Even a donkey will not stumble over the same stone twice. (Bahkan keledai tidak tersandung dua kali pada batu yang sama). Sekali keledai tersandung pada sebuah batu di jalan, konon keledai itu tidak akan tersandung lagi kedua kalinya pada batu tersebut.
Kalau keledai saja bisa begitu, harusnya manusia lebih baik dari itu dalam soal mengingat. Tetapi selalu ada saja kemungkinan bahwa manusia, baik personal maupun bersama-sama sebagai masyarakat, bisa tersandung lagi pada batu yang sama, karena ia lupa batunya yang kemarin-kemarinnya telah membuat kakinya terantuk. Kita mudah melupakan sejarah. Mungkin karena mudah mengampuni apa yang terjadi di masa silam. Mungkin itu sebabnya, Mary S. Surbucken menulis buku tentang ingatan sejarah di Indonesia. Judulnya menarik: Beginning to Remember (Mulai Mengingat). Karena hanya dengan mengingat-ingat lagi drama tragedi yang sudah terjadi di masa silam, kita tidak terhukum untuk mengulangnya sekarang dan nanti. Walaupun hal-hal negatif yang kita lakukan di masa silam, perlu dihindari, tetapi jangan sampai kita lupa bahwa hal-hal itu juga ikut membentuk seluruh diri dan kepribadian kita. Bahkan kita harus juga bersyukur atas semuanya itu. Untuk bersyukur karena hal-hal baik yang terjadi dalam hidup kita adalah mudah, tetapi bersyukur karena semua hal dalam hidup kita – yang baik maupun yang buruk, saat-saat suka dan juga saat-saat duka, pelbagai keberhasilan dan pelbagai kegagalan, pelbagai ganjaran dan juga pelbagai penolakan – tidaklah mudah, sebab hal itu menuntut upaya rohani yang keras.
Namun, kita hanya bisa benar-benar menjadi orang yang tahu bersyukur ketika kita bisa mengatakan terima kasih kepada semua yang mengantar kita hingga saat ini. Selama kita masih terus-menerus membagi hidup kita antara peristiwa-peristiwa dan orang maka kita cenderung mengingat dan hal-hal yang kiranya mudah dilupakan, kita tidak bisa mengklaim kepenuhan hidup kita sebagai karunia Allah untuk disyukuri. Baiklah kita jangan takut untuk melihat segala sesuatu yang telah membawa kita ke tempat di mana kita berada sekarang ini dan percaya bahwa kita akan segera bisa melihat di dalamnya tangan penuntun penuh kasih dari Allah. Tetapi, masa silam tidak boleh dilupakan, walau pun pandangan mata kita tetap terarah ke masa depan. Sebab menurut sebuah lagu Rohani, potensi masa depan itu sangat kaya dibandingkan dengan sejuta kemarin: tomorrow is fuller than a thousand yesterday. Walaupun thousand yesterday itu sudah membentuk kita, tetapi mata kita harus terarah ke tomorrow yang penuh makna, penuh sejuta kemungkinan, karena ia masih mendatang dan mendatangi kita, sekarang dan di sini.