OPINI  

Kau Juga Toh Brutus?

Avatar of Redaksi Krebadia
IMG 20240826 WA0000

Ditulis oleh Fransiskus Borgias, Dosen dan Peneliti Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Jawa Barat

Pengantar Singkat 

Pada tanggal 1 Agustus 2024 yang lalu, seorang teman dalam sebuah WAG yang saya ikuti di lingkungan UNPAR, memuat sebuah tulisan dari seseorang yang bernama Sabar Situmorang. Sejujurnya saya tidak mengenal siapa orang ini. Mungkin dia itu seorang jurnalis. Mungkin dia juga seorang kolumnis. Entahlah. Saya tidak tahu. Tetapi, siapa pun dia orangnya, tidaklah terlalu penting untuk tulisan saya kali ini. Yang menjadi pusat perhatian saya ialah apa yang ia tulis. Teman saya itu memuat di WAG kami tulisan dari Pak Sabar Situmorang. Entah dalam media apa Pak Sabar ini memuat tulisannya pertama kalinya. Yang jelas tulisan dia itu berjudul “Negeri yang Gabut?” Bahkan di depan judul itu ada juga nomor serial, 205. Kehadiran angka-angka itu juga merupakan sesuatu yang misteri bagi saya. Tulisan itu tidak terlalu panjang. Ada juga gambar ilustrasinya. 

Fokus saya justru pada gambar ilustrasi dalam artikel itu. Paragraf pertama tulisan itu berisi keterangan singkat tentang lukisan ilustrasi itu. Saya kutip saja keterangan itu di sini: “Saya potret lukisan ini di galeri milik seniman bli Putu Sutawijaya, Saung Kring Art Space, Nitiprayan di Yogyakarta, sore itu. Ada latar merah dan kemeja putih. Satunya sosok Jokowi. Satunya lagi sosok Prabowo. Ada setangkai daun di kuping. Lalu ada pula sebuah belati di tangan.” Itulah deskripsi sang penulis tadi tentang lukisan itu. (NB: Mohon maaf, karena saya belum meminta izin si pelukis untuk memakai lukisan ini sebagai ilustrasi dalam tulisan ini. Tetapi hal itu tidak terhindarkan, karena tanpa memakai gambar ilustrasi ini, saya tidak bisa menulis tulisan ini dengan baik). 

Mengapa Lukisan Itu Menarik? 

Bagi saya, lukisan ini sangat penting dan menarik untuk dianalisis dalam konteks perkembangan dinamika politik di tanah air kita yang tercinta ini. Sepertinya keadaannya tidak sedang baik-baik saja. Itulah yang akan menjadi isi utama tulisan saya kali ini. Jika di awal paragraf ini saya katakan bahwa lukisan ini penting dan menarik, maka memang ada beberapa alasan mengapa saya mengatakan demikian. 

Pertama sekali, lukisan itu memang sangat menarik karena ada sebuah perpaduan yang sangat unik dan indah antara dua sosok manusia yang berbeda. Ini sebuah teknik lukisan (menggambar) yang luar biasa. Tampak jelas bahwa body itu, yang memakai baju berwarna putih, adalah Jokowi. Kita bisa merasakan body yang kurus di sana, dan rada membungkuk. Tetapi kepala di atas body tadi, walaupun “membelakangi” kita yang sedang menontonnya, jelas itu adalah sosok Prabowo. Walaupun itu adalah tampakan dari arah belakang, tetapi kita tidak akan tersilap untuk menarik simpulan bahwa itu adalah Prabowo. Itu yang pertama. 

Kedua, menarik juga bahwa kepala, atau persisnya telinga kanan dari kepala yang mirip kepala Prabowo itu memakai daun, atau diselipi daun berwarna hijau. Entah daun apa itu? Biasanya daun hijau itu adalah simbol perdamaian, simbol pengharapan akan kelestarian. Simbol perdamaian memang terutama sekali jika daun itu adalah daun pohon zaitun yang masih lekat pada tangkainya dan tangkai itu dibawa oleh burung merpati dengan paruhnya. Ataupun anyaman daun-daun zaitun yang dikenakan di kepala-kepala para gadis penari pembawa persembahan kepada dewa-dewa dalam ritus pemujaan agama Yunani Kuno, khsusunya ritus pemujaan di gunung Olympus itu. Secara spontan, setelah melihat semuanya itu, saya bertanya di sini, kok bisa begitu dan bisa seperti itu yah? Dan saya masih belum memiliki sebuah jawaban instan atas rasa keheranan itu. 

Ketiga, tangan kanan dari body yang mirip Jokowi itu sedang memegang sebilah golok atau belati, dan jika dilihat dari cara ia memegangnya, tampaknya sudah siap untuk dihunjamkan ke sebuah objek tertentu. Walaupun demikian, dan ini juga yang menariknya, golok atau belati itu seperti tidak dipegang erat-erat, sebab tangan itu tampak lemah lunglai. Karena itu, gambar tadi seperti menampakkan sebuah paradoks: siap menikam, tetapi tangan lunglai tidak berdaya. Entah apa sebabnya. Bahkan tangan yang memegang pisau belati itu seperti cenderung pasrah, lemah tidak berdaya, dan putus-asa. 

Percikan Ketakutan dan Apatisme? 

Keempat, body Jokowi itu, kesannya sedang menghadap aku sang penikmat lukisan itu, sosok sang penafsir, sang hermeneut. Tetapi hal itu sebenarnya cukup susah dibuktikan dari dan berdasarkan gambar atau lukisan tadi, karena body itu tanpa wajah. Kesannya seperti ia sedang membuang  muka, entah apa juga sebabnya. Malu? Takut? Entahlah. Jika dilihat dengan lebih teliti lagi, rupanya baju putih itu bukanlah bagian depan (perut) sebab tidak ada jalur kancingnya, melainkan bagian punggung dari baju kemeja itu. Semakin membingungkan saja. Sebab body yang mirip Jokowi itu seperti menghadap ke depan (membelakangi saya sebagai penafsir), tetapi kepalanya (seperti yang sudah dikatakan di atas tadi) bukan Jokowi melainkan Prabowo. Tambah bingung dan membingungkan jadinya. 

Kelima, kepala yang mirip penampang belakang kepala Prabowo juga tampak seperti sedang bersikap cuek, apatis, masa bodo, peduli amat. Kesannya juga seperti sedang membuang muka, seperti sedang meremehkan sesuatu atau bahkan juga seseorang entah apa atau siapa: Seakan-akan terucap juga sebuah gumam di sana: Emangnya elo siapa? Karena tidak ada orang lain selain saya sebagai sosok sang hermeneut, maka gumam itu seperti sedang menggema khusus kepada saya sebagai tertuduh yang sedang terpojok kebingungan dengan lontaran pertanyaan itu: Emangnya elo siapa dan mau apa, sehingga saya harus memandang dan menaruh peduli pada Anda? Kira-kira seperti itu kesannya. Dan setelah menggumam seperti itu, lalu ia pergi, menjauh, dalam diam, bungkam seribu bahasa. 

Keenam, ini yang paling ngeri dan juga super sensitif. Yaitu wajah kepala Prabowo itu seperti sedang dibenturkan oleh si pelukis tadi pada sebuah canvas yang berwarna merah tua (warna khas dan kebanggaan PDIP). Entahlah, merah apalagi itu, jika bukan merah darah. Darah yang tertumpah, mengalir dan bersimbah merata, penuh pada dinding kanvas, tanpa ada ruang kosong lagi di sana, ruang yang tanpa kehadiran warna darah merah tadi. Semuanya serba-merah. Di mana-mana merah. Di mana-mana darah. Biasanya masa depan itu disimbolkan dengan warna biru muda ataupun hijau dengan latar belakang horizon langit biru yang cerah. Yang jelas bukan warna merah, biarpun itu warna merah muda. Entah pesan apa yang mau disampaikan si pelukis itu di sini. 

Lalu samar-samar kudengar seorang “nabi” atau mungkin lebih tepat “peramal” di sebuah sudut jalan taman kota, ia bergumam lembut nyaris tidak lagi terdengar karena hiruk-pikuk kebisingan kota, katanya, “Hei Boy, sebelum kau bisa memandang masa depan yang cerah, pandanglah dahulu masa silammu yang merah, merah tua, seperti cat merah yang mengental, seperti darah yang sudah membeku, dingin karena lama tidak diberi per-hati-an, lama tidak dipedulikan, lama dianggap tidak ada, lama dianggap tidak pernah terjadi bahkan.” Saya pun tidak tahu juga sejauh mana ada kebenaran yang tersimpan di dalam gumam sang “nabi” atau “peramal” di pinggir jalan itu. Jangan-jangan ia baru saja menenggak wisky Jepang, hibiki, super mahal itu, seharga tigaratus juta perbotol dengan kadar alkohol sekira 43% itu. Hemmmm … entahlah … sekali lagi … entahlah …. 

Lorong Tragis Julio Caesar 

Akhirnya, ketujuh, saya juga sangat tertarik dengan caption itu, yang seakan-akan dikesankan sebagai judul dari lukisan tadi. Caption itu berbunyi “ET TU, BRUTE!” Saya terjemahkan menjadi KAU JUGA TOH BRUTUS yang saya pakai sebagai judul tulisan ini. Sebenarnya secara bebas dan longgar bisa juga diterjemahkan demikian: “Eh, ternyata Elo juga toh ya Brutus!” Tetapi sebelum saya lanjutkan catatan ini, saya tulis dulu tentang satu hal. Caption itu ada di mana? Di dada body Jokowi? Ataukah di punggung bagian atas dari kepala Prabowo? Sebenarnya juga tidak begitu jelas. Tetapi pilihan saya nanti akan menjadi jelas dengan sendirinya. Sebelum itu saya lanjutkan tulisan saya yang sejenak tertunda tadi. 

Kalimat dalam caption itu sangat terkenal dalam sejarah percaturan panggung politik Kekaisaran Romawi Kuno. Kalimat itu konon diucapkan oleh salah satu tokoh Kaisar Besar Romawi, Julius Caesar (JC, bukan Jesus Christ yah), saat ia ditikam belati dari berbagai arah di lorong sempit menuju Ruang Senat Romawi. JC ditikam oleh tiga orang, ada yang bilang oleh lima orang. Demi sederhananya, saya mengambil dari ingatan akan sebuah bacaan dalam pelajaran bahasa Latin dulu di Seminari, yaitu ia ditikam oleh tiga orang, Brutus, Casius, dan satu lagi, tetapi saya lupa namanya (belum sempat saya cek ulang). Di Lorong yang tidak terlalu lebar itu, yang tidak memungkinkan pergerakan bela diri yang membutuhkan ruang yang luas (sebenarnya JC sangat mahir dalam perkelahian beladiri tarung jarak dekat itu) JC ditikam dari segala arah. Sebenarnya tidak ada yang patut dicurigai dalam lorong sempit itu. Toh lorong itu dilewati setiap hari oleh para senator Roma menuju bangsal pertemuan mereka. 

Tetapi akhirnya JC terjepit dan terdesak juga dalam lorong yang sempit itu, dan ia tidak bisa membela diri ala tentara Roma. Itu tadi, karena ruang pergerakan yang tidak memungkinkan untuk mengembangkan pergerakan silat tarung jarak dekat memakai tangan. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, akhirnya JC tidak bisa lagi membela diri, konon karena ditikam sebanyak 23 kali oleh para penyerangnya. JC pun lalu menyerah pasrah. Mungkin sudah tiba saatnya untuk mengucapkan kalimat terakhir, selesailah sudah, consumatum est

Tiada Kawan Abadi Julio Caesar 

Saya membayangkan, saat-saat tikaman-tikaman itu menghunjam tubuhnya secara bertubi-tubi, JC menoleh dan mencoba mengidentifikasi para pembunuh yang mengepung dan menyerangnya. Dan sedihnya, ia mengenal mereka semuanya. Dua (jika memakai versi jumlah total tiga) atau empat (jika memakai versi jumlah total lima) di antara para pembunuh itu kiranya sudah bisa diduga oleh JC bahwa mereka akan tega melakukan hal jahat itu. Tetapi yang sama sekali tidak terduga olehnya ialah kawan karibnya sendiri, Brutus. Mungkin detik-detik itu JC heran, mungkin juga JC sangat kecewa. Nah, dalam konteks itulah kalimat pendek tadi “Et tu Brute!” terlontar keluar dari mulut JC yang sedang pasrah dalam detik-detik sakratulmaut. Et Tu Brute. Kau juga toh Brutus. Terdengar nada-nada sedih dan kecewa di ujung-ujung kalimat pendek itu. Dan itulah yang menjadi caption lukisan ini yang membuat lukisan itu menjadi semakin sangat menarik. Sekali lagi: Et Tu Brute, kau juga toh Brutus. Nggak nyangka aku. Aku sama sekali tidak menyangka. 

Seakan-akan di balik kalimat pendek itu tersimpan sebuah rasa sedih dan kecewa. Mungkin JC mau mengatakan: Aku tidak menyangka. Bahwa kau Brutus tega sekali melakukannya. Harusnya sudah kuduga atau kuantisipasi, sebab dalam politik memang tidak ada kawan yang abadi. Yang ada hanya kepentingan yang abadi. Kepentingan itulah yang telah mengikat-satukan tiga atau lima orang penyerang dan penikam tadi. Yaitu menyingkirkan dulu JC. Sesudah itu mereka akan mengejar dan mewujudkan kepentingan-kepentingan egoistik mereka sendiri, yang juga bisa bermuara pada kekerasan, pada kebiadaban, pada kebringasan. Homo homini lupus. Homo homini crocodilus. Hal itulah yang bisa menjelaskan mengapa kekerasan itu selalu bisa berulang lagi dan berulang lagi, dan juga bisa menjelaskan mengapa manusia menciptakan istilah lingkaran kekerasan, circle of violence. Di dalam lingkaran itu manusia pun, bukan lagi imago dei melainkan imago diaboli. 

 

Catatan Penutup Singkat 

Hanya di sini, sangat tidak jelas juga bagi saya, siapa si Brutus itu yang dimaksudkan si Seniman Pelukis tadi? Sebab yang memegang golok itu, ya body Jokowi, tetapi kepala body itu ialah Prabowo. Hemmm …. Sangat mendua, sulit diduga. Mungkin sang seniman pelukis mau bilang, Jokowi sedang mau bunuh diri, tetapi dengan agak enggan dan ragu, setelah “tahu” siapa Brutus-nya selama ini. Masih ada satu lagi misteri besar. Apa arti warna merah pada kanvas itu? Jangan-jangan itu adalah samaran dari si Ibu Besar. Karena tidak jelas, maka saya pun bertanya, manakah si Ibu Besar? Hemmm … Mungkin juga ia terselubung dalam atau di balik warna merah itu. Entahlah. 

Di sini penafsiran pun bisa menjadi selaksa, sejuta, seturut mata orang yang melihat dan menikmatinya. Seperti kata para hermeneut seni klasik sejak zaman Plato, the meaning of the art is on the eyes of the beholder. Jadi, pembaca pun bisa menduga dengan cara sendiri-sendiri, siapa Brutus, siapa JC, siapa warna Merah, apa arti daun hijau, apa arti body, apa arti kepala itu. Saya sudah melaksanakan tugas saya sebagai pembaca dan penafsir (hermeneut) karena membaca dan terutama membaca ulang adalah semacam upaya untuk merekonstruksi makna, mereproduksi makna (reading and rereading is a process of reproducing and reconstructing meaning). 

Ah benar-benar sebuah lukisan yang menarik tetapi bikin pusing. Itulah keunggulan sebuah lukisan. Biarpun itu adalah sebuah lukisan yang sangat sederhana. Saya haturkan berlimpah terima kasih kepada sang seniman pelukis, walaupun saya belum meminta izin untuk memakainya di sini. Pokoknya … Keren sekali … sangat profetik … super futuristik … moga-moga tidak apokaliptik harmagedonistik …. Hihihihi …. Seyyyeemmmmmmm ….

SUMBER

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *