Kaum “Otak Kampungan” Harus Menolak RUU TNI

Oleh Made Surpiatma

Opini314 Dilihat
banner 468x60

Saat ini,  DPR sedang membahas revisi UU No. 34/2004 tentang TNI. Jika lolos, revisi UU TNI ini akan memperluas peranan militer di ranah sipil. Saat ini, dalam rancangan UU tersebut, ada 15 bidang yang diusulkan untuk bisa dimasuki oleh militer. Dalam versi yang lama, hanya 10 saja.

RUU ini memicu kontroversi. Ada kekhawatiran yang mendalam bahwa jika RUU ini disahkan itu sama saja dengan membuka kembali jalan untuk kembalinya dwifungsi TNI.

banner 336x280

Beberapa hari lalu, Kasad mengatakan bahwa mereka yang kkawatir akan kembalinya dwifungsi itu “otak kampungan”.  Saya tidak tahu dari mana dia belajar bahwa orang yang mempertanyakan sesuatu yang memang harus diperdebatkan itu adalah manusia dengan “otak kampungan”.

Baiklah. Kita terima itu sebagai tanda kehormatan (badge of honor). Kemarin beberapa kawan aktivis organisasi masyarakat sipil mendobrak hotel tempat Panja DPR membahas RUU ini. Lalu, security Hotel Fairmont, Tanah Abang, Jakarta, melaporkan aktivis Kontras yang mendobrak pertemuan itu.

Semua pihak di negeri ini oleh pemerintah yang sekarang berkuasa disuruh melakukan efisiensi. Mengencangkan ikat pinggang. Juga para ASN. Namun para anggota DPR ini memilih rapat di hotel mewah seakan gedung DPR kekurangan tempat untuk rapat!

Dan, sekarang, yang melaporkan aktivis Kontras itu adalah security hotel! Yang juga berarti bahwa pihak Hotel Fairmont yang melaporkan hal ini. Apa urusannya? Pihak Hotel Fairmont berhutang penjelasan kepada publik.

Namun di atas segalanya, RUU ini memang harus didiskusikan secara terbuka. DPR harus membuka rapat-rapat yang membahas RUU ini. Tidak ada rahasia-rahasiaan karena ini menyangkut kepentingan rakyat seluruhnya.

Untuk saya yang mengamati militer, RUU ini jelas merupakan perluasan kekuasaan oleh militer. Di samping memperluas kekuasaan, klausul yang menyatakan bahwa penempatan prajurit di lembaga-lembaga yang membutuhkan itu nantinya diatur oleh presiden. Ini sesuatu yang bisa ditafsirkan ke mana-mana.

Prajurit mengelola koperasi desa? Boleh, bila presiden memandang bahwa koperasi desa membutuhkan. Prajurit menjadi vendor makan siang gratis? Ya boleh karena tidak ada vendor-vendor lain yang mampu memenuhi standar Badan Gizi Nasional. Prajurt terlibat jual beli gabah? Ya boleh karena ada tengkulak yang mempermainkan harga gabah petani. Itu sekadar contoh.

Semuanya akan serba boleh jika presiden memandang perlu dan sesuai dengan “kebijaksanaan”-nya.

Kaum “otak kampungan” harus menolak RUU ini bukan karena anti militer. Kita, kaum “otak kampungan” ini, justru ingin militer kita sebagai militer yang profesional.

Kita tidak ingin militer yang tangan dan jari-jarinya licin karena menghitung rupiah. Kita ingin militer kita tangannya kasap dan keras karena menahan tembakan senjata dan siap tempur saat dibutuhkan.

Ketika meriset ini, saya mendapati bahwa ke depan, tidak cukup perwira militer untuk mengurus urusan kemiliteran. Namun mengapa para jenderal dan politisi sipil yang berkuasa sekarang ini terus-menerus mendorong agar peranan militer diperluas?

Kita, kaum “otak kampungan”, pantas bertanya serius untuk soal ini. Apakah ini kepentingan TNI? Kepentingan militer kita? Ataukah kepentingan para jenderal yang haus dengan kekuasaan dan para politisi sipil yang juga kemaruk akan kekuasaan?

Itu pertanyaan serius, dan amat serius untuk dikaji. Kita boleh tidak tahu jenis persenjataan yang dimiliki dan dipakai oleh militer kita. Kita boleh tidak tahu strategi pertahanan yang dimiliki oleh TNI.

Namun yang kita persoalkan sekarang ini bukan hal-hal teknis militer yang kita hormati dan ikut kita jaga kerahasiaannya itu.

Yang kita, kaum “otak kampungan”, pertanyakan adalah apakah ini merupakan kepentingan militer kita atau kepentingan para jenderalnya saja?

Kami, kaum “otak kampungan”, tentu tidak akan diam kalau negeri kita ini diserang. Kami bisa menyediakan pangan. Mengapa militer harus ikut di sini sampai ke hal-hal teknis?

Jika terjadi perang, yang berperang tidak hanya kaum militer saja. Kita, kaum “otak kampungan”, tentu tidak akan diam dan berpangku tangan saja. Kita akan membantu dengan bidang kita. Kita bisa mengorganisasi diri dan menjadi support system untuk militer.

Kembali ke pokok soal: Siapakah sebenarnya yang berkepentingan untuk masuknya TNI ke wilayah sipil? Beberapa tahun ke depan, jika TNI (khususnya Angkatan Darat) benar-benar akan memperluas struktur organisasinya, maka TNI akan kekurangan perwira untuk menjalankan organisasi TNI. Lalu mengapa harus memasukkan TNI ke wilayah-wilayah sipil?

Ataukah ini hanya kepentingan para politisi sipil (yang bisa jadi mantan militer juga) yang kemaruk berkuasa atau tidak mampu berkuasa dengan cara demokratis, sehingga harus mencari dukungan militer?

Ataukah kedua-duanya? Kaum “otak kampungan” agaknya tidak terlalu sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

 

banner 336x280