Ditulis oleh Stefanus Wolo Itu
Banyak rekan imam merayakan syukuran perak imamat bulan September tahun ini. Salah satunya P. Albert Nampara SVD, misionaris di negeri Alpen Swiss asal Mbaumuku Ruteng Manggarai Flores.
Tanggal 15 September 1999, Albert menerima urapan imamat dari Mgr. Eduardus Sangsun SVD di gereja Katedral Ruteng. Sejak itu ia resmi menjadi imam dan menjalankan tugas misi di pelbagai tempat.
Bulan September–Desember 1999, Albert menikmati bulan madu imamat di tengah keluarga dan umat Paroki Reo. Bulan Januari–Februari 2000 mengurus visa di Jakarta. Bulan Maret 2000–Maret 2001 belajar bahasa di Seminari Tinggi SVD Sankt Agustin Jerman. Tahun 2001–2002 ia menjalani tahun pastoral di Augsburg, 70-an kilometer dari Allianz Arena, markas Bayern München.
Tahun 2003 Albert menuju negeri Alpen Swiss. Dia bekerja di beberapa paroki, dari dua keuskupan dan provinsi yang berbeda. Tapi tempat tinggalnya tetap sama yaitu komunitas SVD Steinhaussen, satu-satunya biara SVD yang tersisa di Swiss saat ini.
Tahun 2003–2008 Albert melayani umat Paroki Aufholten am Albis, Keuskupan Chur. Paroki ini letaknya dekat Zürich, kota termahal di dunia. Tahun 2008–2019 ia melayani Paroki Mensingen dan Oberägeri, Provunsi Zug, Keuskupan Basel.
Bulan Juni 2019–Juni 2020 Albert menjalani tahun sabatikal. Enam bulan pertama mendalami bahasa Inggris di Irlandia. Rencana enam bulan berikutnya kursus musik di Jakarta. Rencana ini gagal karena Covid 19. Kata Albert, itu babak covidtikal. Gara-gara Covid ia tinggal saja di rumah Mbaumuku.
Setelah sabatikal, Albert menerima perutusan baru di “pastoralraum” Hünenberg hingga hari ini. Kami di Swiss mengalami kekurangan imam. Tak ada seminari menengah. Hampir tidak ada panggilan baru. Banyak paroki tanpa imam.
Dalam dua dasawarsa terakhir, paroki-paroki yang berdekatan membentuk “pastoralraum”, ruang atau wilayah pastoral. Setiap pastoralraum membentuk tim pastoral bersama yang dipimpin oleh imam atau awam untuk melayani umat di wilayah itu.
Selama 25 tahun Albert menjumpai para imam, rekan kerja, umat beriman yang berbeda budaya, bahasa, status sosial, mentalitas, dan tingkat pendidikan. Tiga bulan di Reo, Albert mengalami suasana Manggarai. Di Jerman dan Swiss, ia hidup dalam budaya Eropa, belajar dan berbicara bahasa Jerman.
Bahasa Jerman itu sulit. Paling kurang menurut pengalaman pribadi saya: tata bahasa, kosa kata, penekanan, dan cara pengucapannya. Beberapa kosa kata bahasa Jerman mirip kata makian kita orang Flores. Pernah seorang rekan imam dari Bajawa kunjung saya ke Eiken. Dia kaget saat misa saya ucapkan LASSET UNS BETEN atau marilah kita berdoa. Dia kira saya maki dia.
Albert tinggal di komunitas SVD. Penghuninya multinasional: Eropa, Amerika, Latin, Asia, dan Afrika. Negara Swiss berkarakter multibudaya dan bahasa: Jerman, Perancis, Italia, dan Rethoromanis. Albert bekerja di wilayah berbahasa Jerman. Tapi dalam kesehariannya, umat berbicara dialek Swiss-Jerman.
Dialek ini lebih sulit dari bahasa Jerman baku. Albert berusaha berbicara dan mengerti dialek itu. Kata Albert: “Bahasa Jerman baku (Hoch Deutsch) adalah bahasa otak. Tapi Mundart itu bahasa hati. Melalui dialek Mundart dia merawat, menyapa, menyentuh, dan merebut hati orang orang Swiss”.
Sejak saya bekerja di Swiss Desember 2014, kami bersahabat dan bersaudara. Albert tinggal di biara SVD Steinhaussen, Provinsi Zug dan saya tinggal sendirian di pastoran Eiken, Provinsi Aargau. Jarak Steinhaussen–Eiken 72 kilometer.
Tapi demi persaudaraan, Albert selalu mengunjungi saya di Eiken. Secara material kebutuhan hidup kami di Swiss berkecukupan. Tapi kami sering berhadapan dengan godaan material, jebakan egoisme, ingat diri, rasa aman, dan kesepian.
Kami punya satu semboyan: “Uang bisa dicari, harta bisa di peroleh. Tapi persaudaraan jauh lebih mahal dari keduanya. Merawat persaudaraan adalah satu hal yang paling mahal dalam hidup bersama. Karena itu, kita mesti punya waktu untuk merawat kasih persaudaraan. Kita harus punya cara untuk merawat imamat kita.”
Kirchgasse 4, 5074 Eiken, malam Minggu 21 September 2024.