Ditulis oleh Stefanus Wolo Itu
Albert meminta saya membawakan khotbah pada perayaan syukuran perak imamatnya. Saya sempat bertanya: “Mengapa harus saya?” Ia menjawab: “Karena pengalaman persahabatan dan persaudaraan antar-kita!”
Saya menerima permintaannya dengan senang hati. Saya katakan: “Terima kasih Bro atas kepercayaan. Saya tidak akan menasihati engkau. Kita dua sering saling meneguhkan. Meski cara kita lebih banyak santai, lucu, bahkan konyol. Saya berusaha mengambil posisi sebagai saudara yang bersaksi tentang rekan misionarisnya.”
Saya langsung tanya: “Apakah Bro bahagia dengan hidup imamat selama 25 tahun?” Dengan wajah berseri ia menjawab: “Saya bahagia dengan hidup imamat. Saya tidak salah pilih. Saya menjalaninya dengan penuh cinta. Kita harus syukuri dengan sukacita di Mbaumuku Ruteng nanti.”
Albert menyadari diri sebagai pribadi yang rapuh, lemah, berkekurangan, dan tidak sempurna. Imamat dan hidup imamat itu luhur dan mulia. Tapi juga penuh tantangan. Selama 25 tahun Albert menghadapi serba aneka perkara duniawi. Dia bersyukur, karena sanggup menjalani dan menjaga imamatnya.
Dia tidak sendirian. Kedua orang tua, almarhum Pak Raden (sapaan akrab untuk sang ayah Bapak Gradus) berdoa dari surga. Begitupun Mama Nes, kakak adik dan seluruh keluarga. Tak lupa umat beriman, rekan kerja, teman-teman sekongregasi, rekan imam, dan uskup berjalan bersama dia.
Dan terutama, Albert sanggup karena Dia yang memberikan kekuatan kepadanya. “Segala perkara dapat kutanggung dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku,” demikian ia mengutip Paulus dari Filipi 4:13. Albert merumuskan moto tahbisan dan hidup imamatnya: “Aku sanggup dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku.”
Albert mampu karena Yesus. Bagi Albert, kata-kata Paulus ini merupakan ayat emas yang mampu membangkitkan dia saat menghadapi badai dalam hidup imamat. Segala perkara diartikan sebagai aneka persoalan hidup, tantangan pastoral, krikil-krikil tajam dalam hidup imamat. Sedangkan DIA adalah Yesus, Sang Guru yang setia menuntunnya.
Albert memperoleh kekuatan besar dari Yesus untuk menghadapi tantangan hidup imamat. Yesus itu Tuhan dan Putera Allah. Apabila bermasalah, tak berdaya, dia harus berserah diri dan meminta tolong pada Yesus. Seperti Paulus, Albert mengakui bahwa dengan kuasa Yesus, ia mampu dan lebih kuat memenuhi panggilan Tuhan. Ia sanggup melaksanakan kehendak Allah dan menghadapi tantangan hidup. Ia memiliki ketergantungan pada Tuhan, karena percaya bahwa kekuatan sejati hanya datang dari Tuhan.
Sudah 25 tahun Albert menziarahi hidup imamatnya. Hampir 10 tahun saya menyaksikan cara Albert berpastoral. Dalam proses pastoral itu, ia menghayati imamatnya. Saya mendengar banyak kesaksian tentang Albert dari umat di paroki-paroki pelayanannya, sama saudara SVD di Steinhaussen, umat Katolik Indonesia di Swiss. Tak lupa kesaksian umat saya, karena Albert sering asistensi di enam paroki pelayanan saya.
Umat senang bila mendengar Albert merayakan ekaristi. Khotbahnya singkat, diselingi kisah-kisah lucu dengan pesan-pesan yang menyentuh dan bermakna. Pada akhir khotbah atau setelah komunio ia menyanyi dengan iringan saxophon, gitar, mundharmonika atau musik mulut.
Oma-oma sangat terkesan, terharu bahkan meneteskan air mata. Secara perlahan mereka membuka tas kecil, mengeluarkan kertas tisu untuk mengeringkan air mata. Kadang-kadang disertai uang kertas sebagai tanda terima kasih setelah misa. Saya sering guyon: “Bro punya tiupan saxophon bisa menghasilkan mukjizatt. Air mata dan tisu berubah jadi uang Franken Swiss. Dompet tebal, pulang jalan miring. Jangan lupa berbagi dengan mereka yang berkekurangan. Saya tahu Bro punya hati untuk mereka.” Saya tahu Albert selalu berbagi dengan mereka yang sangat membutuhkan. Setiap bulan ia membantu anak-anak cacat. Bagi Albert, berbagi adalah salah satu cara untuk merawat imamat.
Situasi kami di Swiss atau Eropa sangat berbeda. Di sini kita harus beragama dan wajib memilih salah satunya. Di sana orang bebas memilih, beragama atau tidak beragama. Banyak orang keluar dari gereja karena pelbagai alasan. Misalnya: kesulitan uang untuk membayar pajak gereja, ketidakpuasan terhadap pimpinan gereja yang tidak mengizinkan pernikahan sejenis, klerikalisme dalam gereja atau pelbagai bentuk penyelewengan kaum klerus dan fungsionaris pastoral gereja.
Gereja semakin kosong dan sepi pengunjung. Kami bersama tim pastoral mesti kreatif menciptakan model-model pewartaan yang sesuai dengan situasi. Kami imam mesti memiliki daya tahan menghadapi pertanyaan kritis, rasa curiga, dan hilangnya kepercayaan terhadap klerus.
Albert berkeyakinan bahwa musik merupakan salah satu cara untuk mendukung karya pastoralnya. Ia mendirikan kelompok musik anak-anak dan remaja di Mensingen. Mereka mengiringi perayaan ekaristi. Musik mendekatkan anak-anak ke gereja. Orang tua dan keluarga kembali masuk gereja.
Albert mengenal lagu-lagu tua orang Swiss. Ia mengenal budaya Swiss dan memahami mau-maunya para jompo. Ketika Albert meniup saxophon, mereka seakan-seakan terhipnotis. Mereka yang tadinya jalan pincang atau duduk di kursi roda segera berdiri, gandeng tangan, goyang ke kiri dan ke kanan.
Ini metode pastoral untuk situasi kami di Swiss. Kata Albert: “Einfach und warum nicht. Sesuatu yang gampang, mengapa tidak kita lakukan?” Albert terinspirasi dengan kata penyair Jerman asal Augsburg, Bertolt Brecht(1898–1956): “Wer kämpft, kann verlieren. Wer nicht kämpft, hat schon verloren.” Artinya, “Siapa yang berjuang mungkin saja kalah, tapi siapa yang tidak berjuang, dia sudah kalah.” Kita mesti berani memulai sesuatu yang baik untuk mendukung perutusan dan pelayanan.
Albert pribadi sederhana, tampil apa adanya tapi berkesan. Hampir semua orang Swiss yang mengenal Albert katakan: “Albert ist ein Priester zu anfassen. Er ist nicht kompliziert. Er ist einfacher Seelsorger. Er ist einer von uns. Albert itu imam yang bisa menyentuh hati kami. Dia tidak bikin susah. Dia perawat jiwa yang sederhana. Dia bagian dari kami, seperti anak dan saudara kami.”
Di Swiss, pastor dan tim pastoral disebut Seelsorger. Artinya perawat jiwa, spiritualitas, dan pemelihara iman umat. Albert hadir sebagai Seelsorger saat merayakan ekaristi, pelayanan sakramen, kunjungan orang sakit dan jompo, ulang tahun, pendampingan kelompok rohani, dan upacara pemakaman. Mereka sering katakan: “Adalah Seelsorger yang punya hati, melayani umat dengan hati.”
Saat awal bertemu di Eiken, kesan saya sepintas, Albert ini orang santai, bahkan tidak serius. Ia sendiri mengakui gara-gara kesan ini, ia harus mengulangi tahun orientasi pastoralnya. Tapi dalam perjalanan waktu, saya mengalami bahwa di balik kesan santai dan tidak serius, Albert selalu bersungguh-sungguh.
Ia bekerja di paroki, tapi tinggalnya di biara SVD. Di komunitas, Albert hidup sebagai seorang biarawan SVD dengan segala aturannya. Ia seorang biarawan SVD sejati! Di tengah umat paroki, Albert tampil seperti imam Keuskupan Basel dengan segala dinamikanya. Ia seorang projo sejati!
Tradisi hidup berkomunitas SVD dan budaya hidup orang Swiss serta karakter pastoral gereja Swiss menuntutnya untuk disiplin dan profesional dalam karya. Ketepatan waktu sudah mendarah daging dengan orang Swiss dan menjadi salah satu sumber kebahagiaan.
Tanggal 11 September sore saya mengunjungi pemakaman para imam di Kuwu. Saya memasang lilin di atas makam sejumlah imam, termasuk makam dua misionaris asal Swiss: P. Armin Mathier SVD dan P. Ernst Waser SVD. Di depan makam mereka saya ingat salah satu prinsip hidup orang Swiss: “Was du heute erledigen kannst, musst du morgen nicht machen. Apa yang bisa kamu lakukan hari ini, tak perlu lagi dikerjakan besok.”
Jangan menunda-nunda pekerjaan, termasuk dalam karya pastoral dan urusan keselamatan jiwa umat. Imam itu rapuh dan tidak sempurna. Tapi Tuhan sendiri yang menguatkan dan menyempurnakan seorang imam untuk keselamatan jiwa umat. Tuhan menyertai imam-Nya Albert, pribadi yang menyadari kerapuhannya dan bekerja dengan hati.
Kirchgasse 4, 5074 Eiken AG, malam Selasa 23 September 2024