Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Kata pertama dalam judul Rentigraf kita kali ini ialah Komunitas. Kita sangat akrab dengan kata ini karena kita hidup dan ada di dalamnya. Komunitas itulah yang menjadi ruang dan tempat untuk kita dapat hidup dan berada. Dalam bahasa Inggris kata komunitas itu disebut community. Lebih jauh kata bahasa Inggris tersebut berasal dari bahasa Latin, communitas. “Kata” itu, sebenarnya setiap kata dalam setiap bahasa, mempunyai sejarah panjang. Tidak hanya “bahasa” yang mempunyai sejarah atau riwayat panjang. Bahkan kata-kata pun, kata para ahli bahasa seperti Pater Walter Ong SJ, mempunyai sejarah atau riwayat panjang, terutama terkait dengan etimologinya. Bahkan lebih ekstrem lagi: bunyi pun mempunyai riwayatnya yang kudus. Ada beberapa bunyi yang dianggap kudus oleh beberapa komunitas atau kelompok manusia di dunia ini. Bagi mereka: Pada awal mula adalah bunyi atau suara yang kudus. Begitu juga dengan kata komunitas ini. Ia mempunyai banyak konotasi. Ada konotasi yang bersifat positif. Ada juga konotasi yang bersifat negatif. Misalnya, kata komunitas itu bisa mendorong kita untuk membayangkan suatu kebersamaan yang aman dan nyaman, di mana orang bisa menikmati perjamuan bersama-sama, memiliki tujuan dan cita-cita hidup bersama, dan mempunyai untaian pesta-pesta dan perayaan secara bersama-sama. Pokoknya semuanya bersama-sama. Itulah kata kuncinya (cum, com).
Tetapi kata komunitas itu juga bisa mempunyai konotasi yang memperlihatkan tendensi eksklusivitas yang bersifat sektarian, bahasa dalam kelompok tertentu, sebuah keadaan isolasi yang sudah berpuas-diri dengan keadaan dirinya dan bahkan juga bisa berkonotasi suatu kenaifan romantik. Apa pun itu, rasanya kita harus kembali ke pengertian yang paling penting dan mendasar. Pertama-tama dan terutama sekali komunitas itu adalah perkara mutu keadaan atau kondisi hati. Itu dulu. Mutu keadaan hati itu bertumbuh-kembang dari sebuah pengetahuan rohani bahwa kita ini hidup bukannya bagi diri kita sendiri melainkan kita ini hidup dan berada bagi sesama, bagi satu sama lain. Man for others, being for others. Kehidupan dimaksudkan untuk keberasamaan. Kebersamaan itu selalu berarti keterbukaan, harus membuka diri. Menurut Santo Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, komunitas itu adalah buah hasil dari kemampuan (kapasitas) kita untuk menjadikan pelbagai kepentingan orang lain dan sesama jauh lebih penting dari pelbagai kepentingan kita sendiri (bdk., Flp 2:4). Dengan kata lain, sifat dasar komunitas ialah kemampuan untuk menempatkan kepentingan sesama di atas kepentingan diri sendiri. Komunitas adalah tempat dan ruang di mana orang memperjuangkan kebersamaan, memperjuangkan dan mengutamakan kepentingan bersama. Komunitas adalah ruang dan tempat untuk mementaskan altruisme, orientasi atau keterarahan kepada pihak yang lain.
Komunitas adalah perkara hati yang terbuka, perkara hati yang mengarah keluar, terbuka kepada liyan dalam artian yang seluas-luasnya. Komunitas tidak mematikan liyan. Komunitas adalah kabar baik, euanggelion, bagi subjek, terutama liyan. Tiga kali saya memakai kata Liyan. Itu terjemahan kata Other. Kata liyan itu diambil dari Bahasa Jawa untuk Other yang khusus. Karena itu, pertanyaan penting yang perlu diperhatikan di sini, yaitu terkait dengan pengertian dasar tadi, bukanlah “Bagaimana kita dapat membangun komunitas?” Melainkan, pertanyaan pentingnya yang perlu kita pikirkan ialah “Bagaimana kita dapat mengembangkan dan merawat hati manusia yang bersifat terbuka, dan memberi?” Keterbukaan juga berarti kerelasediaan untuk berbagi, kerela-sediaan untuk memberi ruang (space) bagi kehadiran yang lain. Kerelasediaan bagi kehadiran sang engkau, Du, dalam artian yang dibayangkan filsuf Yahudi-Jerman, Martin Buber. Du itu bisa berarti sesama manusia, juga bisa berarti sesama makhluk ciptaan. Tetapi Du itu juga berarti Tuhan. Ich (aku, saya) itu mempunyai potensi untuk terbuka dan membangun komunitas dengan semua makhluk ciptaan. Tetapi juga Ich itu mempunyai potensi untuk terbuka dan membangun relasi dan komunitas dengan Tuhan, sang Pencipta itu sendiri. Hal itu sangat luar biasa karena kita tidak hanya membentuk komunitas dengan sesama manusia saja, melainkan dengan semua makhluk. Semua makhluk adalah saudara dan saudari, kata Santo Fransiskus dari Assisi.