Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Mungkin kita, dalam budaya yang serba-patriarki dan serba-jantan ini, cenderung beranggapan bahwa ungkapan lemah-lembut itu lebih cocok dikaitkan dengan perempuan. Sedangkan ungkapan kedua, rendah-hati, lebih bersifat universal, bisa berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan. Jika kita berpandangan seperti itu, saya perlu ingatkan bahwa ungkapan lemah-lembut itu termasuk salah satu butir sabda bahagia dalam Khotbah di Bukit (Mat 5:5): “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.” Luar biasa bukan? Sesungguhnya, banyak orang yang bersikap lemah-lembut itu, tidak hanya perempuan saja, melainkan juga pria. Bahkan mungkin dalam hidup sehari-hari selalu ada kemungkinan bagi kita untuk bertemu dengan orang seperti itu, dikenal sebagai orang lemah-lembut. Orang yang tutur kata dan tindakannya penuh kelemah-lembutan (tidak sama dengan kelemahan). Berbeda dengan kelemahan, kelemah-lembutan itu termasuk kebajikan hidup yang mungkin sudah susah ditemukan dalam masyarakat modern masa kini yang menekankan, menghargai dan menghormati hal-hal sebaliknya, keras, gigih dan bahkan cenderung kasar. Dalam konteks masyarakat modern seperti itu, rasanya kita seperti ditekan, dikejar-kejar terus-menerus, didesak untuk membereskan segala sesuatu, untuk membereskan apa saja dengan secepatnya, biarpun dalam proses itu, orang tidak peduli, orang sangat tersiksa dan tertekan.
Jika itu terjadi, maka orang cenderung berpendapat bahwa side-effect atau ekses psikologis seperti itu bukan urusan mereka. Yang mereka pentingkan ialah bahwa semua urusan beres. Dalam konteks masyarakat masa kini seperti itu, yang dinilai dan dihargai ialah hal-hal seperti keberhasilan, sebuah pencapaian tertentu (bila perlu gemilang), dan juga produktivitas tinggi. Mungkin orang bisa saja mencapai target-target seperti itu, tetapi hendaknya disadari bahwa untuk itu dibutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Ya, dalam situasi lingkungan seperti itu, sepertinya tidak ada lagi ruang untuk sikap lemah-lembut. Semuanya harus serba-tegas, keras, dan ketat. Tetapi siapakah orang yang lemah-lembut itu? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Mungkin panduan Injil Matius bisa kita pakai sebagai pegangan. Di sana yang lemah-lembut adalah orang yang “tidak mematahkan buluh yang patah terkulai rebah dan tidak memadamkan sumbu yang pudar” (Mat 12:20). Matius mengutip ini dari Nabi Yesaya (42:1-4). Berdasarkan kutipan itu, saya dapat mengatakan kelemah-lembutan adalah sikap orang yang bisa bersabar dan menaruh perhatian penuh terhadap pelbagai kekuatan, kelebihan, dan kelemahan orang lain dan sesama, dan orang yang merasa lebih suka berada bersama-sama ketimbang sebagai single fighter, petarung tunggal, yang menyelesaikan sesuatu dengan daya kekuatan sendiri. Tidak seperti itu.
Orang yang lemah-lembut adalah orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian, memandang dengan penuh kelembutan, dan menyentuh dengan penuh rasa hormat, melakukan penelusuran atas sesuatu dengan tenang, tidak tergopoh-gopoh. Orang yang lemah-lembut adalah orang yang tahu bahwa pertumbuhan yang sesungguhnya menuntut cinta dan perhatian yang sungguh-sungguh, menuntut pengasuhan, dan bukan paksaan, dengan daya kekuatan yang mengimpit dan menindas. Memang perubahan bisa datang dan terjadi dengan pemaksaan, seperti pisang yang dimatangkan dalam semalam lewat proses pemaksaan karbit. Semua orang tahu bahwa pisang matang karbitan itu tidaklah manis. Kemanisan pisang datang melalui proses pematangan alami, berlangsung secara alamiah, lambat tetapi pasti. Karena itu, saya mau mengakhiri renungan ini dengan ajakan agar kita sudi mengenakan busana kelemah-lembutan itu dalam relasi dan interaksi intersubjektivitas kita, dalam relasi antara aku dan kau, ich und du Buber. Seruan dan ajakan seperti ini sangat penting untuk diserukan terus-menerus, dan penting juga untuk didengarkan dan diperhatikan. Mengapa? Karena, dalam dunia kita yang keras dan sering tidak mudah untuk bersikap sabar, sikap kita yang lemah-lembut dan rendah-hati boleh jadi merupakan kesempatan emas, sebuah hal yang terus-menerus mengingatkan dengan penuh gairah tentang kehadiran Allah di antara kita. Sikap lemah-lembut dan rendah-hati kita bisa menjadi sebuah tanda penyataan, pewahyuan, kehadiran Allah di antara kita, tanda bahwa Allah adalah Immanuel, Allah yang imanen, yang penuh dengan daya pesona fascinans (fascinossum) meminjam istilah Rudolf Otto (The Idea of Holy).