Membangun Jembatan Batiniah

Rabu, 15 Januari 2025

Kolom1288 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Ada banyak definisi Doa, sebanyak yang mendefinisikannya. Pertama, doa itu berdialog dan berkomunikasi dengan Allah. Kedua, menurut Bonaventura, “doa” adalah perjalanan jiwa kepada Allah, itinerarium mentis in Deum. Ketiga, doa adalah upaya membangun jembatan bahkan jembatan itu sendiri antara hidup kita yang sadar dan tidak sadar. Dalam definisi terakhir ini, tidak disinggung relasi dengan yang ilahi. Yang dibahas ialah komunikasi internal, komunikasi batiniah yang harus dibangun sebab tidak jarang ada jurang pemisah yang besar dan dalam antara pikiran-pikiran kita, kata-kata, dan perbuatan-perbuatan kita, dan pelbagai gambaran yang muncul dalam mimpi-mimpi kita, baik di siang bolong, maupun di malam hari. Doa adalah jembatan yang bisa menghubungkan semuanya. Doa-lah yang bisa mensintesiskan semuanya. Dengan demikian, doa berarti upaya membangun jembatan penghubung yang menghubungkan kedua sisi hidup kita. Hal itu bisa kita lakukan dengan cara pergi ke kediaman Allah. Jadi, akhirnya definisi terakhir ini juga berbicara tentang Allah, sebab ia menyinggung relasi dengan Allah. Terkait dengan ini, dapat dikatakan bahwa doa adalah “karya jiwa” karena jiwa kita adalah pusat-pusat suci di mana semuanya adalah satu dan menjadi satu dan di mana Allah berada dan berdiam bersama kita dengan suatu cara yang sangat intim, akrab dan mendalam. Sebuah kehadiran dan relasi yang pasti berdaya ubah bagi hidup dan seluruh eksistensi manusia yang terlibat di dalamnya dengan kesadaran penuh.

banner 336x280

Karena itu, kita harus berdoa tanpa henti agar kita bisa menjadi manusia yang utuh menyeluruh dan kudus. Saya mau menyederhanakan obrolan ini. Bagaimana caranya kita membangun kesadaran bahwa Tuhan hadir di sini, dekat kita, bahkan dalam hati kita juga, sehingga santo Agustinus pernah berkata bahwa Allah bahkan jauh lebih dekat dalam hati kita daripada kita sendiri. Di sini saya teringat akan tradisi Doa Seorang Peziarah. Sudah lama saya membaca buku itu. Tetapi saya masih ingat ajarannya: Jika engkau mau agar Yesus ada bersamamu, panggil dan sebutlah namaNya terus. Memanggil dan menyebut berarti menghadirkan. Nama yang disebut itu adalah tanda nyata kehadiran si empunya nama. Kata-kata yang terucap tidak pernah sia-sia. Ia menjadi “mantera” yang menghasilkan apa yang dikatakannya. Filsafat Barat Modern menyebutnya Speech Acts Theory. Karena itu si peziarah menasihatkan agar kita menyatukan nama Yesus dengan irama tarik-lepas nafas kita. Saat menarik nafas, kita sebut nama “Tuhan Yesus.” Saat kita lepaskan nafas, kita ucapkan “kasihanilah aku.” Dengan demikian, maka aktifitas olah-nafas menjadi sebuah kegiatan latihan rohani, bahkan juga menjadi peristiwa perjumpaan dan setiap peristiwa perjumpaan selalu berdaya transformatif, berdaya ubah. Menurut kesaksian Si Peziarah tadi, doa pendek itulah yang menjadi kekuatan dia dalam perjalanannya. Ia kuat berziarah karena menyebut nama Tuhan Yesus.

Ia melakukan ziarahnya dalam nama Yesus Kristus, lalu menjadi peregrinatio Christi, ziarah Bersama Kristus, ziarah demi Kristus. Luar biasa bukan. Betapa indahnya. Mungkin ada yang bertanya, dari mana asal doa pendek itu? Jika kita ingat dengan baik tentu doa itu diangkat dari seruan Bartimeus, si pengemis buta, yang duduk di pinggir jalan menuju Yerikho (Mrk 10:46-52; Mat 20:29-34; Luk 18:35-43). Tatkala Yesus lewat di sana, ia berseru-seru dengan keras agar bisa melampaui kebisingan orang banyak itu dan dengan demikian ia berharap seruannya sampai ke telinga Yesus. Begini seruannya: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku” (ay 47). Si peziarah mengambil bentuk singkatnya yaitu dengan tidak memakai gelar Anak Daud. Dan kita tahu akhirnya Tuhan Yesus mendengarkan dia. Tuhan Yesus mendekatinya dan bertanya apa yang ia kehendaki. Jawaban Bartimeus sangat singkat: Tuhan, semoga aku bisa melihat. Domine, ut videam (begitu rumusan Latinnya yang terkenal). Dan terjadilah demikian. Bartimeus pun bisa melihat. Seluruh untaian kisah itu diakhiri dengan perkataan Yesus: “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” (ay 52) Si Peziarah itu percaya akan perkataan Yesus ini: imanmu telah menyelamatkan dirimu. Mukjizat apa lagi yang jauh lebih besar dari itu?

banner 336x280