Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Salah satu ajaran yang sangat penting di dalam iman kristiani ialah ajaran tentang penciptaan manusia oleh Allah sang pencipta. Ajaran itu dikisahkan di dalam Kitab Kejadian. Dikatakan di sana bahwa manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupa Allah sendiri (Kej 1:26-28). Karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan Allah, maka dengan sendirinya atau dari kodratnya setiap manusia mempunyai hubungan yang bersifat langsung dengan Allah sang Pencipta. Hal itulah yang diyakini oleh orang beriman. Dan itu pun adalah klaim dari iman. Iman itu tidak menuntut sesuatu yang lebih jauh dari manusia pertama dulu sebagai gambar dan rupa yang pertama. Iman yang sama juga tidak menuntut sesuatu yang lain dan lebih dari setiap manusia. Demikian sebaliknya, iman tidak menuntut sesuatu yang lebih dari kita ketimbang yang dituntut dari manusia pertama dulu pada awal mula. Bagaimanapun juga setiap diri pribadi (persona) itu lebih dari sekadar sebuah produk dari faktor keturunan dan faktor penentuan dan daya pengaruh lingkungan alam sekitar. Tidak ada seorang pribadi manusia pun yang hanya merupakan produk dari pelbagai faktor luaran, faktor duniawi yang dapat dihitung. Mengapa begitu? Karena di atas kita, di sekeliling kita seakan-akan melingkar sebuah aura misteri, yaitu rahasia penciptaan kita masing-masing. Ada pernyataan teologis dan iman yang mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah dengan suatu cara yang lebih khusus dan lebih langsung jika dibandingkan dengan proses penciptaan makhluk ciptaan lainnya.
Hal itu berarti bahwa manusia itu dikehendaki dan direncanakan Tuhan Allah dengan satu cara khusus. Manusia bukan hanya sesosok makhluk ciptaan yang sekadar berada “di sana” begitu saja. Atau hanya sekadar sang Dasein yang terlempar (geworfen, Geworfenheit; keterlemparan) begitu saja, meminjam kosa-kata filosofis Martin Heidegger. Melainkan manusia adalah sosok makhluk ciptaan yang bisa memikirkan, merenungkan, berefleksi tentang Dia (Tuhan Allah) dan juga tentang dirinya sendiri dan relasinya dengan sang Pencipta itu. Jika dikatakan bahwa manusia adalah ciptaan khusus dari Allah, maka hal itu berarti bahwa keberadaan manusia memang dikehendaki dan diketahui Allah. Ia tidak berada secara kebetulan saja. Juga tidak hanya terlempar begitu saja. Melainkan ia berada karena dikehendaki, dan karena itu diketahui, dikenal, dan diselenggarakan, dijaga, dipelihara, dirawat juga. Dengan bekal latar belakang pemikiran teologis seperti ini, maka kita pun seakan-akan mampu merancang, merencanakan alur dan arah penciptaan kita: sebongkah tanah liat yang menjadi manusia dan persis pada saat itu juga, untuk pertama kalinya, sesosok makhluk rasional bisa, walaupun masih gelap dan samar-samar dan serba terbata-bata, membentuk atau membangun sebuah pemikiran tentang Allah, sebuah wacana rasional-logis, sebuah teologi. Kita harus secara imajinatif membayangkan saat-saat pertama itu dahulu, yaitu saat ketika untuk pertama kali ucapan atau sebutan “Dikau” yang pertama itu ditujukan kepada Tuhan Allah, betapa pun itu masih terbata-bata, terucap oleh mulut manusia.
Nah, peristiwa primordial itu dulu menandai saat dalam mana Roh masuk ke dalam dunia. Pada saat itu keputusan penting tentang penciptaan manusia sudah diambil dan ditetapkan Tuhan. Sebab apa yang menjadikan manusia, yang membuat manusia menjadi manusia, bukanlah pemakaian senjata-senjata ataupun penemuan atau pemakaian api atau penemuan roda. Juga bukan metode-metode kekejaman yang baru ataupun efisiensi kerja manusia. Bukan itu. Faktor yang paling menentukan ialah momen di mana manusia memiliki kemampuan untuk membangun dan menghayati sebuah relasi yang bersifat langsung dan personal dengan Tuhan Allah sendiri. Dan inilah makna paling mendasar dan paling penting dari ajaran yang mengatakan bahwa manusia itu adalah ciptaan yang khusus; khusus karena ia berada dalam relasi personal dengan Allah dan menyadari relasi itu, menghayatinya, dan memaknai hidupnya dengan dan berdasarkan relasi itu. Di sinilah terletak esensi dari kepercayaan kita akan penciptaan, akan fakta bahwa kita adalah ciptaan Allah yang diciptakan secitra dengan-Nya. Kita adalah imago Dei. Kita menyadari hal itu. Dan kemudian hidup dari dan berdasarkan kesadaran itu juga.