Mencintai dalam Kebebasan

Sabtu, 1 Maret 2025

Kolom289 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Cinta adalah kekuatan positif yang memancar keluar dari hati manusia secara bebas dan sukarela tanpa paksaan. Jika cinta sudah terbit, ia akan memancar begitu saja secara bebas dan terarah ke pihak yang beruntung mendapatkannya. Cinta, seperti itu, tidak pernah bisa dipaksakan. Ia harus muncul dari kesadaran diri. Jika dipaksakan, yang keluar bukan lagi energi cinta, melainkan sesuatu yang lain yang bisa bertentangan dengan cinta itu, seperti amarah, yang meracuni relasi cinta. Beberapa waktu lalu saya menonton video pendek yang mendeskripsikan wanita bule. Wanita itu mengungkapkan perumpamaan menarik tentang cinta: “Love is like fart. If you force it, it maybe become a shit” (cinta itu ibarat kentut. Jika dipaksakan bisa jadi keluar ta’i). Agak jorok sih. Tetapi itu pengamatan. Cinta itu harus memancar secara alami. Dalam pemahaman dan pengalaman iman Yudeo-Kristiani, relasi paling pokok dan mendasar antara manusia dan Tuhan ialah relasi cinta. Secara khusus dalam pandangan kristiani, wujud nyata cinta Allah adalah perwahyuan dalam diri Yesus. Ia datang ke dunia untuk menebus dan menyelamatkan manusia. Itulah daya cinta. Sebagaimana kata Yohanes penginjil: “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). Relasi manusia dengan realitas mahatinggi bisa ditandai dengan rasa takut ataupun kengerian karena sifat-sifat tertentu dari realitas itu yang melampaui manusia, sifat-sifat yang menakutkan dan menggentarkan, tremendum, meminjam R. Otto.

Tetapi dalam pemahaman dan pengalaman iman kristiani, ketakutan itu sudah “teratasi” karena totalitas peristiwa Yesus. Orang kristiani percaya bahwa Yesus datang kepada manusia untuk membantu kita mengatasi ruang-ruang ketakutan akan Allah. Selama relasi kita dengan Allah sangat ditandai ketakutan akan Allah, maka kita tidak dapat mencintai Allah dengan sewajarnya dan sepantasnya. Jika kita tidak bisa mencintai Allah, maka pujian yang pantas, layak, dan benar tidak akan memancar keluar dari dalam hati manusia. Pada dasarnya cinta dan mencintai itu berarti kedekatan, keintiman, keakraban yang indah dan mengagumkan. Di sana akan muncul cita-rasa yang mendalam akan keamanan dan kenyamanan. Kira-kira sama seperti yang dialami dan dirasakan pemazmur yang menghasilkan Mazmur 23 itu: sekalipun aku berjalan di lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya sebab Tuhan menyertai aku. Tetapi di sana juga ada segi-segi kerapuhan yang bersifat timbal-balik. Dalam salah satu Rentigraf sebelumnya saya pernah berbicara tentang pathos Allah yang memang bisa dialami Allah dalam relasinya dengan umat-Nya. Tetapi hal-hal yang berkonotasi positif ini tidak akan mungkin muncul dan dirasakan manusia, selama hati manusia dilanda dan dikuasai ketakutan. Sebab ketakutan itu akan memunculkan kecurigaan, akan memunculkan situasi berjarak, lalu akan muncul juga tendensi untuk menutup diri untuk membela dan mempertahankan diri. Di sana akan muncul juga rasa tidak aman.

Menurut para guru rohani, setidaknya dalam tradisi (Yudeo-)Kristiani, rintangan terbesar untuk hidup rohani ialah ketakutan itu sendiri. Ketakutan dan kecemasan menjadi perintang munculnya cinta. Dari dalam ketakutan dan kecemasan tidak akan muncul doa, meditasi. Bahkan pendidikan tidak bisa berjalan dalam situasi seperti itu. Dalam Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, disingkapkanlah banyak sifat, gelar, bahkan nama Tuhan. Dari nama-nama itu, menurut pengalaman iman kristiani, cintalah yang paling mengemuka, yang paling utama dan mendasar. Memang Allah adalah cinta mahasempurna, sebab Allah adalah cinta, Deus est caritas. Cinta itu adalah daya kekuatan yang bisa mengusir ketakutan dan kecemasan. Begitulah yang dikatakan Yohanes Penginjil (bdk. 1Yoh 4:18). Warta paling pokok dari Yesus ialah bahwa Allah mencintai kita dengan suatu cinta yang tidak bersyarat. Allah juga mendambakan cinta kita manusia, cinta akan Allah, dan cinta itu harus bebas dari segala karat-karat ketakutan dan kebencian. Cinta akan Allah itu harus tampak dalam cinta akan sesama. Kita tidak dapat mendaku bahwa kita mencintai Allah, jika kita tidak bisa mencintai sesama.

 

banner 336x280