Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Menurut saya mengajar adalah menginspirasi. Guru adalah inspirator. Dalam sebuah kuliah, saya ungkapkan lagi hal itu kepada mahasiswa. Seorang mahasiswa bertanya kritis, bagaimana persisnya kegiatan meng-inpirasi itu? Saat itu saya tidak punya jawaban spontan. Tentu saya bisa menjawab dengan memberi arti kata itu dalam bahasa Indonesia, mengilhami. Tetapi jawaban itu pasti memunculkan pertanyaan kritis lanjutan. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa saya tidak punya rumusan tetap, semacam definisi, tentang inspirasi itu. Bukan karena saya tidak bisa men-definisi, melainkan karena saya alergi definisi yang berkonotasi pembatasan akhir. Tetapi karena saya harus menjawab, maka saya meminta izin untuk berkisah tentang sebuah ilustrasi. Dulu di kampung, saya dan teman-teman sering pergi ke sungai dekat kampung untuk mandi di kolam besar. Airnya jernih, tenang karena dalam. Sebelum mandi, kami biasa melempar batu-batu kecil ke kolam itu. Ada yang dilemparkan ke tengah, ada yang dilemparkan secara mendatar agar batu itu meloncat beberapa loncatan sampai menyeberang kolam itu. Tetapi bukan itu yang menarik perhatian saya. Yang menarik ialah riak-riak gelombang kecil yang ditimbulkan batu-batu itu. Riak itu bergerak perlahan dari tengah kolam ke pinggir. Indah sekali. Ketika tiba di pinggir ia menghilang. Kemudian, setelah saya baca-baca sedikit ilmu fisika tentang gerakan, akhirnya saya tahu gerakan itu tidak berhingga, terus bergerak dan juga menggerakkan apa pun yang dilewatinya. Begitulah hukum alam.
Nah, otak manusia juga ibarat kolam itu. Setiap gagasan atau pemikiran yang dilontarkan guru/dosen ke kolam otak itu, pasti akan menimbulkan riak-riak gelombang kecil yang bergerak terus ke mana pun secara tak terhenti dan abadi. Begitu lontaran pikiran itu dicemplungkan dosen/guru ke kolam otak para muridnya, maka lontaran pikiran itu memunculkan pemikiran baru dan juga imajinasi baru dalam diri para murid. Bahkan lontaran pikiran itu bisa membuka jendela tertentu bahkan jendela baru dalam benak kalbu kesadaran mahasiswa sehingga terbukalah dunia baru. Nah, seluruh untaian itulah yang saya maksudkan dengan inspirasi, ilham. Inspirasi itu dari kata dasar kata kerja, in–spirare, “mengembuskan-ke-dalam.” Yang “diembuskan-ke-dalam” itu ialah lontaran pikiran, gagasan, dan begitu lontaran pikiran dan gagasan itu masuk ke dalam danau otak murid (mahasiswa), maka lontaran itu mulai menciptakan sebuah gelombang pergerakan baru yang sama sekali kreatif dan imajinatif yang susah dibayangkan oleh guru sumber inspirasi tadi. Sang guru juga tidak bisa lagi mengarahkan arah pergerakan daya ilham itu. Juga tidak bisa mengendalikannya. Memang tidak usah dan tidak perlu juga. Biarkan daya ilham itu, daya inspirasi itu mulai mengolah danau otak pembelajar-pemelajar sehingga bisa membentuk kolam/danau mandiri dalam berpikir, berimajinasi.
Sampai di sini masih ada banyak pertanyaan lanjutan. Tetapi ada satu pertanyaan yang perlu dijawab segera. Kalau kata dasar inspirasi itu ialah in-spirare, siapakah yang melakukan spirare itu ke dalam? Ini juga pertanyaan yang tidak mudah. Saya akhirnya mengacu kepada pemikiran teologis kristiani yang mengatakan bahwa daya ilham/inspirasi itu adalah karya Roh Kudus. Masih dalam tradisi yang sama memang ada ajaran tentang tujuh kurnia Roh Kudus. Saya sebut dua yang relevan disinggung di sini. Yaitu roh kebijaksanaan, dan roh pengetahuan. Hanya hati yang berjaga dan terjaga (istilah dari Sang Nabi, Kahlil Gibran) yang sudi dihinggapi embusan roh ilahi itu. Jika tidak ada hati dan budi yang berjaga dan terjaga, Roh itu akan tetap bergerak-gerak melayang-layang seperti pada awal mula, bergerak dinamis, nomaden, tidak tinggal tetap di suatu ruang. Mungkin dari imajinasi seperti inilah Deleuze menciptakan istilah “the nomadic idea” itu. Yaitu bahwa ide-ide besar, entah dari mana, terus bergerak dan sesekali datang menghinggapi dan menghampiri manusia. Bagi saya sebagai kristiani, itu adalah embusan Roh Kudus, yang bisa berembus kapan saja, di mana saja, dan dari mana saja. Bisa juga dari arah dan sudut yang tidak terduga-duga. Inspirasi itu, spirare-in, seperti sekadar mampir ngombe sejenak lalu pergi lagi, entah ke mana.