SOSOK  

Mengenal Pater Paul Budi Kleden SVD yang Telah Menjadi Mgr. Paul Budi Kleden

Avatar of Redaksi Krebadia
Mgr. Paul Budi Kleden

Ditulis oleh Lorens Ritan

Saat masuk kuliah di STFK Ledalero, yang sekarang sudah jadi IFTFK Ledalero tahun 2001 saya hanya dengar nama, belum kenal orangnya. Dalam perjalanan kuliah sekitar semester 3, kertas kuliah pilihan dibagikan kepada kami. Di bagian teologi ada mata kuliah pilihan: Teologi Teodice, yang dosen pengajarnya P. Paul Budi Kleden SVD.

Saat itu bukan senang dengan mata kuliahnya atau mau ikut untuk tambah pengetahuan, tapi hanya mau dengar P. Paul Budi Kleden mengajar.

Rekaman yang paling saya ingat dari mata kuliah adalah saat Pater Budi mengatakan, “Anak muda di Eropa sekarang mempertanyakan kemahakuasaan Tuhan. Kenapa Tuhan itu mahakuasa tapi Dia mendatangkan bencana bagi manusia. Kenapa Tuhan tidak menghalanginya ….”

Pernyataan ini membuat saya bingung dan terputar-putar dalam proses berpikir saya saat itu, karena saya datang dengan iman yang kuat bahwa Tuhan itu mahakuasa dan Dia menghukum manusia yang berdosa … “Kenapa Tuhan menghukum padahal Dialah yang menanamkan cinta kasih ….”

Mata kuliah yang  aneh (pikiran saya waktu itu yang masih bodoh-bodoh).

Tapi saya ikut sampai selesai, dapat nilai mungkin B.

Saya waktu itu jadi mahasiswa yang agak malas-malasan,  tidak rajin seperti teman-teman lain yang tinggal di biara atau teman awam yang setia ikut kuliah.

Suatu saat di ruang kelas ada lesnya Pater Wilem Julei, les Dokmatik Gereja kalau saya tidak salah. Saya sudah datang awal tapi saya malas, maka saya ke ruang baca Wisma Rafael untuk baca koran.

Saat sementara asyik baca sambil lipat kaki dan menghisap rokok, datanglah Pater Budi … dia juga ambil koran, saya cuek saja sambil baca …. Sambil baca dia tanya, “Engko nama siapa?”

“Lorens Ritan,” jawab saya santai. “Semester berapa?”

“Empat.”

“Itu di kelas ada les, kenapa tidak ikut?”

“Saya malas ikut,” sambil saya terus baca koran.

Tidak lama Pater Budi pamit duluan, “Saya duluan e, karena saya mau beri les.”

“Oke Pater,” jawabku.

Ternyata relasi kami tidak sampai di situ. Pater Budi cek absensi dan absensi nama saya diparaf teman-teman yang hadir. (Ini perilaku biasa di ruang kelas). Besoknya saya bertemu lagi Pater Budi di jalan ke perpustakaan. Dia langsung panggil nama: “Lorens, kemarin kamu tidak ikut les Pater Wilem, tapi absensimu ada paraf. Ko bertemu Pater Wilem ya.”

Saya langsung jawab, “Bukan saya yang paraf, Pater.” Dalam hati saya berpikir ini susah sudah datang …. (Orang yang salah tetap salah dan harus bertanggung jawab atas kesalahan, bukan menghindar atau bersembunyi pada kesalahan. Itu pelajaran yang diajar Pater Budi dari nasihat peristiwa ini).

Saat ujian semester 4. Saya baru pulang dari Manggarai, ikut advokasi petani yang ditembak mati oleh polisi saat Bupati Bagul berkuasa.

Saya baru tiba hari Jumat malam, besoknya hari Sabtu saya ke kampus untuk cek roster ujian. Di papan pengumuman ada pengumuman bahwa mahasiswa yang belum melunasi uang sekolah tidak boleh mengikuti ujian. Nama-nama mahasiswa tertera dan ada nama saya.

Dalam hati saya berpikir impian untuk ikut ujian batal sudah. Sebenarnya tidak ikut ujian tidak masalah, tapi saya harus bertanggung jawab pada orang tua karena uang sekolah saya sudah mereka beri dan sudah selesai saya pakai untuk cetak koran Tani Berlawan di Manggarai.

Saya mulai cari jalan bagaimana saya bisa ikut ujian. Telefon ke rumah, orang tua tidak ada uang lagi untuk bayar, kecuali 1 bulan lagi. Instruksi: “Pokoknya ko ikut ujian. Kalau sampe tidak ujian, ko pulang saja tidak usah kuliah lagi” (kalimat dari bapa).

Malamnya saya bertemu ketua sekolah, P. Hendri Dori Wuwur (almaruhum), Pater Frans Ceunvin bendahara sekolah, tapi gagal semua, tidak bisa.

Jam 10 malam muncullah ide, saya harus menulis sebuah selebaran. Selebaran itu saya kasih Judul “SEKOLAH KAPITALISME YANG GANAS”.

Malam itu saya langsung ke ruangan komputer paguyuban mahasiswa awam untuk ketik.

Intinya saya mau bilang kalau sekolah-sekolah menerapkan aturan yang ketat seperti ini akan menyulitkan anak-anak petani (seperti saya), anak buruh, nelayan, anak-anak orang miskin akan sulit menjadi pintar dan mereka akan terus berada dalam kebodohan dan terus dimanfaatkan.

Pada alinea terakhir saya tulis, jangan mengharapkan cinta kasih datang dari hierarki Gereja apabila watak kapitalisme sudah merasuk ke dalamnya.

Paginya saya minta teman untuk  fotokopi di Nita 15 lembar, lalu saya tempelkan di papan pengumuman 1 lembar dan yang sisanya saya selipkan lewat bawah pintu di kamar para pater di Ledalero. Termasuk Pater Budi.

Setelah itu saya turun ke kota Maumere.

Selebaran itu jadi heboh di kampus Ledalero.

Lewat Pater Wilem Julei (Puket 1) dikeluarkan pengumuman bahwa yang tulis selebaran itu segera menghadap ke kantor bertemu Pater Wilem Julei.

Saya hari Sabtu baru kembali ke kampus, dan langsung bertemu Pater Wilem dan memberi tahu bahwa saya yang menulis selebaran itu.

Saya diminta Pater Wilem untuk bertemu hari Senin.

Hari Senin pagi sekali saya sudah di kantor. Tidak lama Pater Wilem datang dengan senyum, memukul pundak saya seperti agak memeluk dan bilang ke saya, “Tunggu sebentar, saya masih kontak pengurus sekolah yang lain.”

Tidak lama datang Pater Budi, sambil senyum agak tertawa menyapa saya, “Lorens kau yang tulis.” Dia memeluk pundak saya sambil kami jalan berdua. Tiba dekat ruangan dia minta saya di luar dulu. Pater Budi masuk ruangan.

Tidak lama saya di panggil. Di dalam ruangan duduk semua pimpinan STFK para doktor teologi, filsafat, pisikologi, sosologi, Kitab Suci, dogmatik Gereja, termasuk Romo Sipri Hormati (Uskup Ruteng sekarang).

Pater Wilem membuka dengan pertanyaan: “Siapa yang suruh kamu tulis selebaran ini, dan dari mana data yang kamu punya sehingga menyatakan Ledalero kapitalis?” Lalu dilanjutkan Pater Yos Suban Hayono (almaruhum): “Alasan apa kamu menulis selebaran ini?” Pater Budi: “Dasar pengetahuan apa yang membuat kamu sampai menulis selebaran ini?” Pater Wilem: “Okay kamu jawab dulu Lorens baru kita lanjut.”

Saya langsung jawab: “Terima kasih Pater. Saya merasa sangat terhormat duduk di sini. Pater dan Romo, tulisan ini saya buat sendiri dan muncul dari pikiran saya sendiri. Kedua, saya tidak punya data sama sekali. Saya menulis selebaran ini hanya berdasar pada pengumuman dari Sekretariat STFK dengan menulis nama-nama mahasiswa yang belum lunas uang sekolah, termasuk saya. Dan saya punya pengalaman untuk meminta diberi kesempatan untuk ikut ujian, karena uang sekolah yang sudah diberikan oleh orang tua telah saya pakai untuk cetak buletin Tani Berlawan di Manggarai. Tapi saya tidak diberi kesempatan untuk ikut ujian. Ketiga, dasar pengetahuan saya, saya peroleh dari kampus ini. Saya mendapat les teologi, Kitab Suci, dogma Gereja, semuanya berisi cinta kasih, dan itu yang diajarkan oleh Pater mereka. Pengetahuan tentang kapitalisme dan ganasnya kapitalisme juga saya dapat dari sini, diajarkan oleh Pater mereka, dan saya baca buku-buku yang ada di Perpustakaan Ledalero. Saya tidak dapat itu di luar dari Ledalero. Terima kasih Pater dan Romo, itu saja jawaban saya.”

Pater Budi langsung senyum lebih dulu, tidak lanjut lagi dengan pertanyaan. Yang lain juga ikut senyum, dan Peter Wilem meminta saya keluar dulu dari ruangan.

Tidak lama saya dipanggil masuk. Pater Wilem: “Lorens, setelah ini engko bertemu Pater Budi dan Pater Yos Suban Hayon (almaruhum). Itu saja. Dan kau ya doa penutup sebelum kita bubar.”

Keluar dari ruangan saya langsung mendekat ke Pater Budi dan Pater Yos Suban Hayon …. Pater Budi langsung memeluk saya, lalu kami berdua berjalan ke kamarnya. Di jalan kami ngobrol tentang peristiwa di Manggarai.

Di ruangan Pater Budi bilang ke saya, “Luar biasa. Tapi kau harus buat tulisan permohonan maaf kepada civitas akademika Ledalero atas tidak kau cantumkan nama pada tulisanmu, yang membuat kami harus cari tau. Kedua, atas argumentasimu yang masih sedikit keliru. Kau pasti tau itu. Untuk uang sekolahmu, saya yang bayar, dan kau boleh ikut ujian susulan nanti. Itu saja.”

Lalu kami bercerita banyak hal tentang perjuangan kami.

Pater Budi juga selama di Ledalero, ruangannya saya pakai untuk print seluruh materi pendidikan gerakan. Pater Budi menjadi tempat kami mengeluh, dan teman-teman aktivis gerakan berdiskusi, termasuk Adian Napitupulu, Dominggus Oktavianus, AJ Susmana, dll. tokoh gerakan yang sempat ke Maumere.

Pater, selamat atas pengangkatan jadi Uskup Agung Ende.

Pasti Mgr. akan menemukan ada umat yang agak nakal seperti saya. Berikan kami untuk selalu merasa nyaman.

Selamat untuk Mgr. Paul Budi Kleden SVD.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *