Menuju Doa Tiada Henti

Selasa, 14 Januari 2025

Kolom758 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Mungkin kita bertanya dalam hati, mungkinkah “berdoa tanpa henti”? Sebenarnya, kita tidak bisa mendiskusikan hal ini lebih lanjut, karena memang sudah ada perintah dalam Kitab Suci tentang hal itu. Jadi, itu bukan sebuah imbauan atau anjuran lagi, melainkan sebuah perintah. Sebagai orang beriman Kristen, kita diminta untuk berdoa terus-menerus, berdoa senantiasa. Istilah kerennya dalam tradisi hidup rohani ialah oratio continua. Ya itu tadi, doa yang tiada henti. Karena ini sebuah perintah injil, maka tidak ada tawar-menawar lagi, selain kita menaatinya dan melaksanakannya dalam hidup kita. Mungkin hal itu tidak mudah, tetapi harus dilakukan. Tentu ada kendala di sana. Apa itu? Ya, terkadang manusia, terutama manusia modern, seperti terobsesi oleh keinginan untuk terus-menerus berpikir, untuk memaksimalkan pemakaian pemikirannya, daya akal-budinya. Tentu hal itu baik adanya, sebab kemampuan akal-budi juga adalah karunia Allah. Tetapi di sini ada hal lain yang mau ditonjolkan. Yaitu kita harus melakukan pergeseran dari “tendensi untuk berpikir tiada henti” ke “berdoa tanpa henti” sebagaimana dinasihatkan santo Paulus dalam salah satu suratnya (Ef 6:18). Mungkin idealisme “oratio continua” ini tidak mudah dilaksanakan, tetapi harus diupayakan. Sebab doa adalah sebuah kewajiban fundamental manusia sebagai makhluk ciptaan Allah semesta alam.

banner 336x280

Terkait dengan hal ini, memang harus disadari bahwa akal budi kita selalu aktif, selalu giat bekerja. Misalnya, kita terus-menerus menganalisis, berefleksi, bahkan bermimpi di siang bolong pun alias melamun juga butuh pikiran. Bahkan mimpi sekalipun melibatkan pemikiran kita. Pokoknya tidak ada satu momen manapun dalam hidup kita, baik siang maupun malam, di mana kita berhenti berpikir, atau hidup seolah-olah kita tidak berpikir. Karena itu kita bisa mengatakan bahwa dalam hal berpikir, kita itu tidak ada henti-hentinya. Berpikir tiada henti. Berpikir terus-menerus. Tetapi ada momen di mana kita berharap kita bisa menghentikan untuk barang sejenak aktivitas berpikir itu. Sebab banyak pikiran bisa mendatangkan banyak masalah dalam hidup kita. Jika kita bisa berhenti sejenak dari aktivitas pikir itu, maka kita akan selamat atau luput dari banyak kecemasan, dari rasa bersalah, dan dari pelbagai macam ketakutan-ketakutan kita yang tidak perlu dan tidak berdasar. Kita tidak diganggu lagi oleh masa silam kita. Jangan sampai omongan ini disalahpahami, seakan-akan kita mau membuang pikiran itu. Tidak. Bagaimanapun pikiran itu, kemampuan kita berpikir, adalah salah satu karunia kita yang terbesar yang kita dapatkan dari Tuhan. Tetapi serentak pikiran itu bisa juga menjadi sumber kepedihan hidup kita yang paling besar. Bisa saja kita menjadi korban dari pikiran-pikiran kita yang tidak pernah berhenti itu.

Lalu mau apa? Apa yang bisa dilakukan? Kita bisa mengubah tendensi kita untuk “berpikir tiada henti” menjadi “berdoa tanpa henti.” Bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan monolog batin kita menjadi sebuah dialog berkelanjutan dengan Allah, yang adalah sumber segala cinta dan belas kasih. Di sini saya teringat akan praksis hidup kaum monastik awal Patristik. Waktu itu, orang memahami dan menafsirkan Kitab Suci secara harafiah. Karena itu, jika ada teks Kitab Suci yang menganjurkan kita agar harus berdoa tanpa henti (oratio continua) khususnya di hadapan kehadiran Tubuh Kristus dalam sakramen mahakudus, maka mereka berusaha sedapat mungkin untuk mewujudkan hal itu. Dalam rangka menjalankan kewajiban dasar itu, biarawan monastik, biasa melakukan praksis doa sambil melakukan pekerjaan tangan. Misalnya, sambil bekerja di kebun, mereka suka menyanyikan lagu-lagu Mazmur yang berbunyi demikian: yang menabur dengan duka, menuai dengan suka. Marilah kita coba terobos ruang isolasi dalam pikiran kita sendiri dan menyadari bahwa di sana ada Seseorang yang bertahta di pusat terdalam eksistensi kita, dalam hati kita, dalam suara hati kita. Dia, yang selalu hadir di sana, hadir untuk mendengarkan kita. Ia mau mendengarkan dengan penuh cinta dan perhatian segala sesuatu yang menyibukkan, menguasai, dan mengganggu pikiran kita. Serahkan saja semuanya kepada Dia. Dan semuanya pun menjadi beres dalam dan bersama Dia.

banner 336x280