Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Judul tulisan ini ialah Menyediakan Ruang dan Waktu bagi Allah. Tampaknya seperti sesuatu yang sederhana dan sepele. Tetapi ternyata tidak. Dibutuhkan sebuah ketekunan dan disiplin diri yang serius, tidak main-main. Perhatikan bahwa di sini saya memakai kata “disiplin”. Kata itu berasal dari bahasa Latin, disciplina, yang diinggriskan menjadi discipline. Kita juga harus perhatikan sebuah fakta bahwa kata disciplina dan terutama kata discipline dalam bahasa Inggris sangat erat terkait dengan kata discipleship, atau hal kemuridan dengan kewajiban eksistensial untuk belajar terus-menerus. Discipleship itu menunjuk kepada status kemuridan dengan kewajiban mendasar untuk belajar itu. Di sini saya dapat mengatakan bahwa status kemuridan tadi, discipleship tanpa discipline sebenarnya tidak ada gunanya. Itu sama dengan orang yang bersiap-siaga di medan pertandingan lari maraton tetapi ia tidak pernah melakukan latihan apa pun sebelumnya. Pasti akan gagal dan sia-sia dan tidak berguna. Sebaliknya juga discipline tanpa status resmi sebagai murid (pembelajar, pemelajar) juga tidak ada gunanya; itu sia-sia dan tidak bermakna sama sekali. Sebabnya ialah karena status itu dapat dibandingkan dengan seorang atlet yang sangat tekun melakukan latihan dan persiapan untuk ikut marathon, tetapi ia tidak pernah ikut perlombaan itu. Itu hanya omdo, omong-doang, hanya omon-omon, dalam bahasa politisi kekinian. Tetapi hendaknya kita sadari bahwa disiplin dalam kehidupan rohani tidak persis sama dengan disiplin yang dituntut dalam dunia olahraga, termasuk maraton tadi.
Apa bedanya? Perbedaannya terletak pada bagian mana dari keberadaan kita yang digenjot maksimal. Dalam disiplin olahraga, sisi yang digenjot adalah tubuh, yaitu bagaimana orang menguasai dan mengatur pergerakan tubuhnya agar bisa taat dan bergerak efektif sehingga bisa menang. Tubuh manusia dilatih dan diarahkan agar bisa lebih patuh terhadap perintah akal-budi. Sedangkan disiplin hidup rohani itu lain sekali. Disiplin ini mencoba memusatkan seluruh ikhtiar dan daya upaya orang untuk menciptakan ruang dan waktu bagi Allah, agar Allah menjadi tuan atas diri kita dan pada gilirannya kita bisa memberi tanggapan dengan bebas terhadap tuntunan dan kehendak-Nya. Dalam Perjanjian Lama, orang memakai metafora dunia pelatihan hewan untuk menjadi bagal atau dijadikan kuda tunggangan. Salah satu yang dilatih dari badannya ialah kelenturan lehernya. Hal itu dimaksudkan agar kuda bisa ditunggangi manusia dan ia bisa mengatur, mengendalikan, dan mengarahkan kuda itu agar bisa berjalan di jalan yang benar dan tidak berjalan sesuka hati. Jika pelatihan itu gagal maka hewan itu disebut “tegar-tengkuk”. Sifat “tegar-tengkuk” ini juga dipakai untuk melukiskan pembangkangan hati manusia di hadapan Allah. Tidak hanya hewan yang “tegar-tengkuk”. Manusia pun bisa memperlihatkan sifat “tegar-tengkuk”. Hal itu tampak dalam pembangkangan dan pemberontakan, di mana hatinya susah tunduk dan taat. Itulah kondisi “tegar-tengkuk” tadi. Seperti leher kuda yang sulit dipasangi kekang agar bisa dikendalikan.
Kembali lagi ke kata disiplin yang sudah disinggung di awal tadi. Jika kita melihatnya secara demikian, maka jelaslah bahwa ikhtiar untuk mengadakan discipline itu tidak lain ialah upaya menciptakan atau menetapkan batas-batas di mana manusia berusaha secara tertib dan teratur menyediakan ruang dan waktu yang senantiasa terbuka bagi Tuhan dan juga sesama. Hidup dalam kesendirian dan keheningan menuntut disiplin yang kuat. Ketekunan dalam praksis hidup peribadatan pun menuntut disiplin. Ikhtiar untuk memberi perhatian dan pelayanan kepada orang lain juga menuntut disiplin, ketekunan dan kesetiaan. Tanpa adanya disiplin itu, mustahil manusia dapat melaksanakan ketiga hal itu. Kesemuanya meminta dari kita untuk menyediakan waktu dan ruang secara khusus bagi Allah yang hadir sekarang dan di sini. Di dalam ruang-ruang keheningan dan kesendirian itulah kita dapat mengakui dan tanggap terhadap kehadiran Allah dalam hidup kita. Di sini saya teringat akan istilah yang dalam sejarah spiritualitas diperkenalkan St. Ignatius Loyola yaitu Latihan Rohani, Spiritual Exercise. Yang dimaksudkan di sini ialah disiplin manusia dalam mengatur dan mengarahkan dimensi rohani dalam hidupnya agar bisa melakukan discernment of Spirits dengan sebaik-baiknya.