Opus Solidaritatis Pax

Rabu, 5 Maret 2025

Kolom178 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Kartunis sebuah media cetak membuat karya kartun yang indah dan memantulkan situasi sosial kita saat ini dengan sangat tepat. Dalam kartun itu tampak dua golongan. Pertama, manusia kaya, berkedudukan dan kuasa. Hal-hal itu dilambangkan dengan kursinya; kursi itu besar, empuk dan nyaman. Wajah-nya riang, orangnya gemuk dan gendut, tangan kirinya memegang kantong yang penuh (bertuliskan gaji). Di bagian perut bajunya ada logo BI (Bank Indonesia). Kedua, sedikit di belakang orang tadi, ada dua orang kurus, suami-isteri, duduk di tanah, dengan mangkok kosong. Mereka lapar. Mereka pegang perut. Mereka menderita busung lapar. Di atas mereka tertulis caption: “Andai disisihkan 1% saja buat kami, itu sudah lebih dari cukup…!!” Itu ditujukan kepada orang yang duduk di kursi tadi. Tetapi orang itu tidak peduli. Saya tidak tahu kapan kartun ini dibuat. Tetapi kartun itu dengan tepat menggambarkan situasi sosial kita saat ini. Ada kesenjangan sosial yang sangat tinggi antara kaya dan miskin, antara yang memiliki banyak dan yang tidak memiliki apa-apa, antara yang kenyang dan yang lapar dan terancam mati. Hari-hari ini kita disuguhi di pelbagai media dengan berita korupsi yang menimpa negara kita. Angkanya triliunan. Saya tidak bisa bayangkan jumlah sebanyak itu. Jangankan triliunan. Miliaranpun tidak terbayangkan sama sekali olehku. Benar-benar sejauh langit dari bumi. Korupsi di Indonesia sudah menggurita. Kakinya merengkuh dan melilit ke mana-mana. Lembaga-lembaga negara yang diharapkan menjadi penjaga nilai-nilai moral-etika, tidak bisa diharapkan, karena dikungkung kaki gurita korupsi tadi.

Dari kartun yang saya deskripsikan tadi, tampak bahwa salah satu akar korupsi ngeri ini ialah karena memudarnya kesetia-kawanan atau solidaritas sosial, dan memudarnya kepekaan sosial kita. Koruptor sudah tidak lagi memiliki kepekaan dan cita-rasa solidaritas terhadap masyarakat miskin yang menderita. Yang mereka pedulikan hanya perut mereka sendiri. Sementara itu nasib banyak orang, khususnya lapisan bawah sama sekali tidak mereka pedulikan. Padahal sejarah membuktikan bahwa kedamaian dalam hidup manusia hanya bisa muncul jika ada keadilan. Hal itu dirumuskan dalam ajaran sosial gereja dengan “opus iustitiae pax”, damai adalah hasil dari keadilan. Jika orang berbuat adil, memperhatikan keadilan, maka akan muncul kedamaian. Jika orang mengabaikan keadilan, jangan bermimpi bisa menggapai kedamaian. Paus Pius XII menjadikan “opus iustitiae pax” itu sebagai motto pontifikalnya. Kepekaan akan keadilan itu hanya bisa muncul jika manusia juga memiliki cita-rasa kepekaan sosial, rasa kesetia-kawanan sosial (solidaritas sosial). Dari sini muncul rumusan lain yang pernah disinggung Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Solicitudo Rei Sosialis: “opus solidaritatis pax.” Damai adalah hasil dari solidaritas. Jika tidak ada solidaritas sosial, maka jangan bermimpi bisa menggapai kedamaian. Damai hanya bisa diwujudkan melalui aksi solidaritas sosial.

Jika kita memandang kehidupan masyarakat tradisional, maka kita akan menemukan di sana banyak sekali kearifan local yang bisa dipelajari. Salah satunya ialah praksis solidaritas sosial itu yang tampak sangat kentara dalam apa yang saya sebut dengan etika-ladang. Itu adalah sikap yang menaruh perhatian penuh kasih kepada orang lain dan sesama saat kita memanen hasil bumi dari ladang kita. Orang-orang kita dulu, saat memanen selalu ada yang disisakan di belakang, artinya tidak semua dipanen. Hal itu disisakan dengan sengaja untuk orang miskin, yatim-piatu dan janda, bahkan juga burung dan margasatwa lainnya. Dengan demikian sukacita panen itu bukan hanya sukacita yang empunya panen melainkan sukacita semua orang. Sebenarnya konsep “etika-ladang” itu masih hidup juga dalam bentuk lain dewasa ini, yaitu dalam bentuk CSR, corporate social responsibility. Ini adalah dana yang disisihkan sedikit dari keuntungan perusahaan untuk dicadangkan sebagai dana sosial. Sebenarnya Indonesia, negeri kita tercinta ini, tidak perlu harus menderita miskin rakyatnya, kalau saja semua hasil tambang dan hasil hutan, hasil laut, pajak dikelola dengan baik. Hanya sayangnya, semuanya itu dikelola oleh kampret, bajing loncat dan tikus-tikus got yang rakus. Entah sampai kapan hal itu akan terus berlangsung.

 

banner 336x280