Pengampunan dan “The Significant Others”

Sabtu, 25 Januari 2025

Kolom331 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Dalam bagian sebelumnya, saya berbicara tentang hal “memberi” pengampunan. Dalam bagian ini, saya mau berbicara tentang hal “menerima” pengampunan. Dalam yang terdahulu saya yang memberi pengampunan. Dalam  yang kemudian saya yang menerima pengampunan. Kedua hal ini membutuhkan keadaan psikologis yang berlainan untuk dapat melewatinya dengan baik sebab kedua hal itu membutuhkan perjuangan. Itu niscaya karena pengampunan selalu ada dua sisi: memberi dan menerima pengampunan. Walau pada permukaan, tampaknya memberi pengampunan itu terasa lebih berat. Tetapi ternyata kita tidak mampu memberikan pengampunan kepada sesama justru karena kita tidak sepenuhnya bisa menerima pengampunan itu. Hanya dalam keadaan sebagai orang yang mampu menerima pengampunan sajalah, kita bisa menemukan kebebasan batiniah dan kekuatan untuk memberikan pengampunan. Ada hubungan timbal-balik sangat erat antara kemampuan menerima dan memberi pengampunan. Jika kita pernah mengalami pengampunan, di mana kita diampuni, maka kita pun bisa memberi pengampunan. Sekali lagi, memang tidak mudah menerima pengampunan. Orang hanya bisa memberi pengampunan jika sudah pernah mendapatkan pengampunan. Tetapi mengapa hal itu tidak mudah? Mungkin hal itu terkait dengan fakta yang terselubung dalam ucapan sbb.: Sangatlah sulit untuk berkata, “Tanpa pengampunan darimu saya masih terkungkung, terbelenggu oleh apa yang sudah pernah terjadi di antara kita. Hanya engkau yang bisa membebaskan diriku dari belenggu itu.”

Kemampuan untuk mengakui dan mengucapkan hal itu menuntut dua hal sekaligus. Pertama, ia tidak hanya menuntut sebuah pengakuan bahwa kita telah menyakiti dan mungkin juga melukai, membunuh karakter seseorang. Kedua, ia juga menuntut sikap kerendah-hatian untuk mengakui bahwa kita tergantung pada orang lain di sekitar kita. Tanpa pengalaman pengampunan, kita juga tidak bisa mengampuni. Tuhan sudah mengampuni kita, maka demi hidup komunitas, marilah kita saling mengampuni. Kita tidak bisa hidup sendirian. No man is an island, kata Robinson Crueshow. Kita selalu berada bersama orang lain, dalam komunitas. Kita selalu ada dalam jejaring relasi. Di sekitar kita sudah ada dan masih ada, dan akan selalu ada apa yang oleh George Herbert Mead disebut the significant others, sang liyan yang sangat penting. Bahkan seluruh hidup dan eksistensi kita ditentukan (ditopang) oleh the significant others itu. Ensiklik pertama Paus Fransiskus (2013), Lumen Fidei (No. 38) juga bicara tentang the significant others itu: Bahwa dalam hidup kita berperan banyak liyan yang penting. Begini rumusan LF: “Manusia selalu hidup dalam relasi. Kita berasal dari sesama, kita dimiliki oleh sesama, dan hidup kita diperkaya dalam perjumpaan kita dengan sesama.” Sifat relasional eksistensi kita tidak hanya terkait dengan fakta jasmani kita. Selanjutnya LF mengatakan: “Bahkan pengetahuan kita dan kesadaran diri kita pun bersifat relasional.” Terkait dengan ini LF menyebut empat fakta sebagai bukti relasionalitas eksistensi kita (orang tua, bahasa, hal pengenalan diri, dan iman).

Ketika pertama kali saya membaca istilah the significant others itu dari antropolog Amerika Serikat, saya teringat akan surat kepada orang Ibrani, khususnya yang mengisahkan barisan panjang kesaksian orang beriman unggul sepanjang Perjanjian Lama, yang telah menjadi leluhur kita dalam iman. Dalam Ibrani 11, pengarang surat itu mendaftarkan nama para saksi iman dalam Perjanjian Lama. Di atas pundak raksasa “iman” orang-orang itulah kita saat ini berdiri sehingga bisa melihat kembali panorama kesaksian yang begitu agung dan indah. Jika kini, kita terbiasa berbicara tentang Abraham sebagai Bapa Kaum Beriman, penulis surat Ibrani merentang lebih jauh ke masa silam, sebelum Abraham yaitu sampai ke awal mula, kepada misteri penciptaan, walau dalam konteks itu, hanya nama Habel yang disebut (ay 4). Sesudah itu ada Henokh, lalu Nuh. Baru sesudah Nuh muncul Abraham. Secara puitis berirama si penulis memainkan varian antara “karena” dan “dalam” iman sambil menyebut nama-nama para raksasa itu. Untuk menutup renungan ini saya hanya mau mengatakan bahwa hanya ketika kita bisa dengan rendah hati menerima pengampunan, barulah kita bisa juga memberikannya dengan jiwa besar.

banner 336x280