Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Saya yakin teks Kitab Suci mengandung daya ilham yang kuat. Tetapi ada juga teks yang tidak mudah dimengerti, bukan karena gagasannya abstrak, melainkan karena kita belum menemukan contoh konkretnya dalam hidup. Salah satunya ialah Roma 5:3-5: “… karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketabahan, dan ketabahan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” Teks ini tidak mudah dipahami. Hal yang tidak mudah ialah hubungan kesengsaraan, ketabahan, tahan uji, dan pengharapan. Umumnya, jika sengsara, orang marah dan putus asa, bahkan ada yang menjadi ateis. Untunglah kitab suci memberi kita model unggul. Model unggul pertama ialah Israel sebagai bangsa yang melewati tahap sulit sepanjang sejarah. Kedua, Ayub yang melewati tahap-tahap sulit itu dengan heroik. Ketiga, Hamba Yahweh yang menderita (Yes 53:1-13) yang juga melewati tahap-tahap itu dengan luar biasa. Model unggul keempat ialah Yesus Kristus yang memberi kekuatan kepada kita untuk meneladani-Nya. Kiranya Paulus menelorkan rumusan tadi, setelah melihat model-model unggul historis iman itu. Tetapi ada kemungkinan lain. Paulus sampai pada rumusan itu berdasarkan pengalamannya melewati banyak kesulitan dan rintangan bahkan risiko nyawa.
Selanjutnya saya jelaskan pemahaman teks itu berdasarkan bantuan Paus Benediktus XVI lewat Spe Salvi (2007). Dalam nmr.3, saya menemukan kisah inspiratif. Di sana Paus menampilkan kisah seorang wanita Sudan, Josephine Bakhita. Ia lahir di Darfur, Sudan (1869). Paus mengisahkan kisah ini sebagai model orang yang penuh pengharapan, hidup dari pengharapan, dan bahwa pengharapan itu bisa memberi warna lain kepada hidup. Bapa Suci menampilkan kisah ini sebagai contoh perjumpaan dengan Allah yang menimbulkan pengharapan dan pengharapan itu mendatangkan shalom, membawa pembebasan. Bakhita, saat berusia sembilan tahun, ditangkap pedagang budak. Ia sering dipukul sampai badannya berdarah. Pernah laku terjual lima kali di pasar budak Sudan. Akhirnya ia bekerja sebagai budak dari ibu dan istri seorang jenderal. Nasibnya tidak jadi lebih baik di sini sebab ia tetap dicambuk sampai mendapat 144 luka yang membekas selama hidup. Akhirnya datang cahaya pengharapan tahun 1882. Saudagar Italia membelinya untuk Konsul Italia, Callisto Legnani. Ketika gerakan kaum Mahdists semakin gencar di Sudan itu, ia pun pulang ke Italia dan membawa Bakhita. Di bawah pemilik baru inilah, untuk pertama kalinya Bakhita mempunyai pengalaman yang lain akan majikan. Jika para majikan sebelumnya sangat kejam, majikan ini sangat lembut dan baik. Di sinilah, Bakhita mulai berkenalan dengan iman akan Yesus. Itulah Tuan dan Tuhan sejati, Tuhan yang penuh cinta. Dialah Tuhan di atas segala tuan, raja di atas segala raja.
Akhirnya Bakhita tahu bahwa Tuhan yang baru ini mengenal dan mencintainya dan menantikannya. Ia juga tahu Tuhan yang baru ini pernah mengalami nasib seperti dirinya. Tuhan itu menantikan dirinya di surga, di sisi kanan Bapa. Saat itu, terbitlah cahaya pengharapan dalam hatinya. Bukan hanya harapan kecil, melainkan harapan agung. Hal itu diungkapkannya dengan rumusan ini: “Aku pasti dicintai dan apa pun yang terjadi dengan aku, diriku ini dinantikan oleh sang Cinta ini. Dan karena itu, hidupku kini baik adanya.” Pada 9 Januari 1890 ia dibaptis, menerima penguatan dan Komuni Pertama di Venetia dari Batrik Venetia. Pada 8 Desember 1896, ia ucapkan kaul dalam kongregasi Suster-Suster Canossian. Sebagai Canossian ia tekun melakukan pekerjaannya yang sederhana di biara. Selain itu ia juga rajin berkeliling Italia untuk mewartakan tugas perutusannya: ia telah mengalami pembebasan rohani dan jasmani karena berkenalan dengan Tuhan Yesus. Ia ingin agar pengalaman pembebasan itu terdengar oleh sebanyak mungkin orang di dunia ini. Ia ingin mewartakan harapan yang membebaskan itu kepada semua orang. Ia tidak mau menyimpan harta karun pengharapan itu dalam dirinya sendiri. Ia ingin agar semua orang bisa hidup dari pengharapan yang satu dan sama. Pengharapan yang membebaskan.