Ditulis oleh Sr. Herdiana Randut, SSpS
Apa kabar perempuan-perempuan masyarakat adat Indonesia? Sengaja saya melontarkan pertanyaan ini di awal tulisan ini, paling tidak untuk mengingatkan saya sendiri akan bagaimana dan seperti apa para perempuan yang menjalani hari-hari mereka di tengah-tengah masyarakat adat Indonesia.
Kalau saja menyimak berita-berita nasional dan menonton televisi di tanah air, banyak sekali suara-suara mereka yang tidak didengar. Apakah perempuan masyarakat adat bukan warga masyarakat adat? Mereka sering diperlakukan tidak atau dengan bahasa yang lebih halus, diabaikan.
Pertanyaan-pertanyaan ini bermunculan bukan hanya dari saya sendiri. Ternyata juga datang dari sejumlah aktivis lingkungan dan mereka yang peduli terhadap sumber hidup manusia khususnya masyarakat adat.
Tentu ini sangat ironis dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Saya hanya bisa mengatakan bahwa wajah Indonesia akhir-akhir ini sangat sedih. Masalah-masalah terus ada. Pejabat negara berfokus pada perebutan kekuasaan, mencari popularitas, mengurus kepentingan pribadi, dan sibuk mengumpulkan harta benda. Jeritan masyarakat adat sedari dulu seolah-olah tak digubris. Lantas, apa yang bisa diharapkan?
Bagian Tak Terpisahkan
Siapakah perempuan adat itu? Ialah mereka yang hidup di kampung, menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan adat istiadat leluhur. Nilai-nilai kehidupan sangat diperhatikan. Mereka adalah bagian dari komunitas adat yang tidak terpisah dari ikatan sejarah, sosial, dan bangsanya. Perempuan adat bagian dari identitas budaya yang harus dijaga, dirawat, dihargai dan dihormati secara adat dan konstitusi oleh Negara (www.komnasham.go.id).
Dengan lain perkataan, perempuan adat sudah menjadi bagian integral masyarakat adat. Bahkan tak terpisahkan. Mereka adalah pendukung di garda terdepan nilai-nilai adat dan kehidupan. Jadi, mereka sama sekali tidak destruktif. Mengapa mereka tidak diberdayakan ?
Yang jelas, perempuan masyarakat adat memiliki andil sebagai agen perubahan sekaligus penjaga kelestarian alam yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Mereka menjaga dan merawat tanah dan lahan leluhur. Karena itu perempuan masyarakat adat tidak pernah sekali pun mencoba merusak atau menghancurkan lingkungan hidup, mereka percaya alam adalah Tuhan yang nyata di dunia. Perempuan masyarakat adat membuka lahan kemudian menanam sayur, buah-buahan, rempah-rempah, padi, sorgum dan kebutuhan hidup lainnya lalu menjual untuk dimakan oleh masyarakat perkotaan. Hutan dan lahan tempat tinggal dipelihara tidak ditebang atau pun menggundulkankan pohonnya agar sumber air terus melimpah. Ekosistem lingkungan yang sehat turut memberikan oksigen yang bagus untuk tubuh manusia dan juga kecerahan bagi otak manusia.
Namun kini semua itu tidak seperti yang diharapkan oleh perempuan masyarakat adat. Tanah ulayat dirampas oleh perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan oknum pemerintah untuk membuka proyek timah, tembaga, nikel, gheotermal dan lain-lain. Hadirnya industri-industri ini membawa banyak dampak negative untuk masyarakat adat. Secara khusus keberlangsungan hidup mereka. Sehingga mereka melakukan perlawanan.
Hemat saya, mereka pantas bersuara melakukan perlawanan, karena itu adalah hak mereka. Perlawanan perempuan dalam masyarakat adat untuk saya secara pribadi adalah cerminan kegigihan, ketabahan, dan keberanian yang menurut saya telah mengakar dalam budaya serta tradisi selama berabad-abad. Ini adalah potret yang menginspirasi tentang bagaimana perempuan, di tengah berbagai aturan dan norma yang terasa membatasi, telah menemukan cara untuk menghadapi dan mengubah struktur masyarakat yang ada.
Dengan ini mau dikatakan bahwa perempuan-perempuan di masyarakat adat pasti melakukan perlawanan. Hanya itu tadi, memang mereka siapa? Suara dan peran mereka diabaikan. Jadi, saya yakin betul bahwa Perempuan-perempuan itu melakukan perlawanan dalam sunyi.
Perlawanan Sunyi
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam banyak hukum adat, perempuan seringkali dihadapkan pada sistem yang terfokus pada tradisi patriarkal. Mereka dibatasi dalam hal kepemilikan tanah, pengambilan keputusan, hak-hak social dan ekonomi lainnya. Namun, potret perempuan dalam masyarakat adat tidak hanya tentang ketidaksetaraan, tapi juga tentang perjuangan untuk memperoleh haknya dan mengubah pandangan masyarakat. Mereka mulai aktif menggugat implementasi patriarki, berperan dalam gerakan sosial dan politik untuk mengubah peraturan yang tidak adil dan mendukung kesetaraan gender.
Akan tetapi seperti yang saya ungkapkan pada awal kalimat tulisan ini bahwa perlawanan perempuan dalam masyarakat adat juga seringkali menghadapi tantangan besar, seperti dihadapkan pada stigma, intimidasi, dan bahkan kekerasan dalam upaya meraih hak-hak mereka. Ditambah dalam masyarakat adat, masih kuat dengan nilai-nilai patriarki. Anak laki-laki sering mendapat prioritas, terutama dalam pembagian harta dan mengambil keputusan dalam urusan adat. Suara-suara perempuan tidak bisa didengar dan bahkan tidak punya hak untuk menentukan kebijakan bersama.
Menurut hemat saya, upaya yang perlu dilakukan untuk membantu perempuan masyarakat adat mendapatkan akses kepada hak-hak dasar seperti pendidikan dan kesejahteraan. Tidak hanya itu pendampingan juga perlu dilakukan dalam hal menghadapi konflik terkait hak wilayah, kebun, tanah ulayat, dan akses jalan menuju ke perkebunan dan perkampungan.
Pada sisi lain, komunitas adat juga memerlukan pendampingan terhadap perubahan yang kian masif, misalnya pembukaan jalan dan masuknya teknologi seperti ponsel dan internet, telah membawa dampak positif maupun negatif. Hal ini juga bisa membawa pengaruh-pengaruh buruk yang datang dari luar komunitas mereka untuk memprovokasi atau motivasi-motivasi buruk lainnya. Oleh karena itu, pendampingan dalam mengahadapi perubahan sangat diperlukan.
Pendampingan digunakan sebagai upaya meredefinisikan peran perempuan dan mewujudkan perubahan yang lebih baik dalam masyarakat, langkah-langkah konkrit seperti pendampingan, dialog, dan pemberdayaan perempuan menjadi kunci (https://theconversation.com).
Ketika perempuan kehilangan peran dan partisipasi daam masyarakat adat, hemat saya kerugian tidak hanya dialami oleh mereka sendiri saja, tetapi juga bagi seluruh komunitas atau kampung dimana mereka tinggal. Terkadang, perempuan dianggap sebagai simbol negatif, padahal adat memiliki sistem dan aturan yang didesain untuk menjaga keseimbangan alam dan sosial. Penting juga pemerintah turun ke masyarakat adat, mendengar dan memahami keinginan perempuan masyarakat adat. Karena ketika perempuan adat ‘mati’ melalui siapa nilai-nilai budaya dan sejarah adat diteruskan?
EDITOR: Redaksi Krebadia.com