Ditulis oleh Stefanus Wolo Itu
Hari Kamis, 25 Juni pukul 15.00 waktu Roma-Italia. Eduardus Raja Para, imam projo Keuskupan Agung Ende mempertahankan disertasinya di Universitas Urbaniana Roma. Ia mendapat pujian dari para profesor penguji. Edu sukses meraih prestasi gemilang. Ia resmi menyandang gelar doktor dan menulis gelar itu pada bagian depan namanya.
Saya mengenal Edu bulan Juli 1995 di Ritapiret Maumere Flores. Saya baru saja pulang tahun orientasi pastoral di Paroki Thomas Morus Maumere. Edu dan teman-teman baru menyelesaikan tahun rohani di Lela. Ia teman dekat Frater Trends Du’e, berdarah Wolorowa, sejak di Seminari Kisol. Kami berasal Ngada dan merupakan calon imam projo Keuskupan Agung Ende (KAE). Kami semakin saling mengenal.
Pengenalan dan kedekatan kami berlanjut hingga jadi imam. Kami pernah sama-sama bekerja di Kevikepan Ende. Saya di Ratesuba, penjaga perbatasan Ende-Nagekeo. Edu di Kotabaru, penjaga perbatasan Ende-Sikka. Saya di Wolotopo, Edu di Mautapaga. Kami juga pernah bersama di Komisi Keadilan, Perdamaian, Keutuhan Ciptaan dan Pastoral Migran Perantau.
Edu memiliki banyak talenta. Dia bisa bermain musik dan berolah raga. Penampilannya sederhana, bersahaja, dan luwes bergaul. Dia pintar, banyak membaca dan sering menulis. Dia bisa mengingat banyak hal secara detail, juga mengenal dan mengingat nama orang.
“Edu menghafal nomor punggung para pesepak bola dunia, negara dan klub asal, nilai transfer dan bahkan nomor sepatu. Dia mengetahui jenis-jenis senjata militer,” kata teman-teman.
Tahun 2009–2011, Uskup Sensi mengutus Edu melanjutkan studi di Roma. Dia mengambil program Licenciat Teologi/Pastoral Migran di Institut Scalabrinian. Setelah dari Roma, Edu sempat menjadi kapelan Paroki Nangaroro, pastor Paroki MBC Bajawa dan aktif di komisi JPIC dan Migran Perantau KAE. Setelah sembilan tahun di medan pastoral, tahun 2020 Edu melanjutkan studi doktorat di Universitas Urbaniana Roma.
Edu menjalani studi doktorat di masa Pandemi Covid 19. Situasi ini menguji daya tahan dan daya juang. Banyak temannya tidak bertahan. Mereka mengundurkan diri dan pulang kampung. Tapi Edu maju terus penuh semangat. Dia pantang mundur berhadapan dengan situasi Covid. Dia tahan banting, tertib mengatur waktu di tengah kesibukan pastoral di Paroki Stella Matutina.
Bulan Agustus 2023, Edu berlibur di Eiken. Kami sempat jalan-jalan ke Süd-Tirol. Selama dua minggu kami berbagi kisah dan saling meneguhkan. Edu juga menumpahkan isi otaknya. Wawasannya luas. Dia tahu banyak dan mendalam. Dia berkomitmen menyelesaikan studi pada waktunya.
Saya berguyon santai: “Edu, engkau ini tipe seperti pemburu sejati dari Keja-Wangka, Ngada Utara.” Kampung halaman mereka dulu banyak rusa. Orang Boawae, Soa sering berburu di sana. Saya ingat filosofi pemburu rusa dari esais Amerika, Henry David Thoreau: “Kamu tidak hanya harus membidik dengan benar, tetapi juga menarik busur sekuat tenaga.” Supaya berhasil dam tepat waktu dalam studi kita perlu fokus yang jelas dan perjuangan keras.
Saya suka judul disertasinya: LA MIGRAZIONE COME SFIDA E OPPORTUNITA PASTORALE: IL CASO DEGLI INDONESIANI IN MALESIA. Atau MIGRASI SEBAGAI TANTANGAN DAN PELUANG PASTORAL: STUDI KASUS MIGRAN INDONESIA DI MALAYSIA.
Dalam disertasi ini Edu meneliti tantangan dan peluang pastoral migrasi dari Indonesia ke Malaysia. Dia menganalisis situasi migrasi dari Keuskupan Agung Ende ke Sabah Malaysia dalam 50 tahun terakhir. Ia mengevaluasi reksa pastoral migran kedua keuskupan lintas negara selama 10 tahun terakhir dari sudut pandang teologis, pastoral, dan ajaran sosial gereja.
Secara teologis, migrasi adalah tanda zaman. Migrasi berbicara tentang karya penyelenggaraan Allah dalam sejarah dan komunitas umat manusia. Migrasi merupakan antisipasi persekutuan umat manusia di tanah air surgawi. Migrasi adalah locus theologicus, tempat istimewa dan sakral di mana Allah mewahyukan diri. Migrasi perlu direfleksikan secara teologis.
Selama di Ende, Edu pulang pergi Malaysia. Dia memerhatikan pengalaman migrasi orang-orang Indonesia. Banyak aspek positif dan negatif di sana. Gereja lokal perlu mengevaluasi pengalaman-pengalaman itu. Ada banyak masalah kompleks yang menimpa para migran, baik di tanah air maupun di tempat perantauan.
Ini semua adalah tantangan pastoral bagi gereja. Baik di tempat asal para migran maupun tempat tujuan perantauan. Tapi ada hal yang membesarkan hati. Di balik tantangan ada peluang pastoral. Peluang ini perlu ditangkap untuk meningkatkan dan memajukan pastoral migran ke depan.
Disertasi ini dipuji oleh para profesor di Universitas Urbaniana. Tulisannya orisinal karena penulis mengangkat pengalaman pastoral konkret. Pastoral lintas budaya, bahasa dan lintas gereja lokal dari kedua negara. “Ini disertasi pertama di Universitas Urbaniana yang mengupas kerja sama lintas gereja lokal untuk menata pastoral migran,” kata seorang penguji.
Di hadapan realitas migrasi yang semakin kompleks, disertasi ini coba menjawab tiga pertanyaan mendasar ini.
Pertama, tantangan pastoral apa saja yang dihadapi oleh gereja KAE dan gereja di Sabah?
Kedua, apa jawaban pastoral yang telah diberikan oleh kedua gereja ini guna menanggapi tantangan pastoral di atas?
Ketiga, dalam terang ajaran gereja, bagaimana kedua gereja dapat menjawab tantangan migrasi ke depan dengan aksi-aksi pastoral yang lebih efektif dan efisien?
Terima kasih Dr. Eduardus Raja Para atas pencapaian gelar akademismu. Gelarmu dipersembahkan kepada para migran, agar mereka layak dan mulia di hadapan Tuhan dan sesama. Selamat berkarya. Kehadiranmu menjadi hadiah untuk uskup baru kita. Keberadaanmu menjadi tanda berkat bagi umat keuskupan dan para migran kita. Semoga mereka menjadi tanda berkat di negeri jiran Sabah Malaysia dan kampung halaman sendiri.
Kirchgasse 4, 5074 Eiken AG Swiss, Selasa malam, 25 Juni 2024