Kedua kaki kami amat sukar bersatu; oleh raungan dungu yang menggerung-gerung; yang terlalu banyak berkata kepada pengalaman; yang terlalu sedikit mengucapkan pengalaman dan fakta kepada perkataan; yang sangat meyakini kacamatanya sajalah yang paling pas dan benar dan yang lain punya abu-abu dan buta; yang mengklaim egologi adalah ilmu paling tinggi, yaitu dari diri dan kepada diri sendiri
Langkah kami terantuk tahun demi tahun; oleh raungan dungu yang menggerung-gerung; yang sesungguhnya dia tidak tahu bahwa dia tidak tahu
Kedua kaki kami jalannya sendat dan saling menyerimpung; sementara raungan dungu menyerbu kami, berduyun-duyun tanpa pupus; impian kami pun terduduk di pojok, sepi dan sendu; kami terjepit; pedih dalam guyuran airmata lirih; suatu hari akan kami lempari juga kenyataan dengan batu dan ikut-ikutan dungu, meraung-raung, menggerung-gerung
Di hari lain kami sama sekali tak sedia bangun dari tidur; kepala kami berat serasa ditimpa bebatuan; sambil bertanya: sekeping kebenaran, apa mustahil di bumi; secercah keberanian, mustahilkah digenggam?
Wahai semesta, ini kami hamba-hambamu berseru: lawanlah segera dan berbuatlah sesuatu! kami menggugat: “kurangilah cingcong mulut dungumu yang meraung-raung, menggerung-gerung; di depan meja hijau ketok palu, suatu waktu kau harus mengaku!’
Ini kami sedang belajar menghirupi napas Musa; untuk meniti kembali setiap hakikat kemahklukan; untuk belajar berkata-kata dan belajar merumuskan cara; untuk membukakan cakrawala dalam multiperspektif; agar setiap gejala dan segala warna zaman dibaca dalam terang akal budi dan nurani
Dengan seribu buku dan seribu perdebatan! oleh kacamata Musa, kami tuntaskan makna mana yang paling utama; dengan tongkatnya yang diangkat dan ditegakkan, kami memusnahkan iklan-iklan takhayul yang keji; yang akhir-akhir ini melintasi tembok-tembok rumah dan menyelinap ke setiap sanubari tanpa terkecuali
Ular beludak dan kemunafikan keji pun pastilah hengkang; sihir gaya kebudayaan milenial digital pastilah tunggang-langgang; ialah makhkuk yang menerima kepalsuan dan karang-karangan sebagai benar hanya karena kebohongan itu terus-terus menerus ditayang, diucapkan dan disebarkan menjadi viral
Karena kami hamba-hamba semesta telah genggam yang bernama kebenaran; karena kami tahu di jalan mana kami menapak; ialah jalan kebenaran dan kehidupan; maka terhadap dungu yang meraung-raung dan menggerung-gerung; kami pasti lawan dalam derap langkah terpadu
(gnb:tmn aries:jkt:selasa:1.8.23: saat relawan Jokowi melaporkan seorang warga negara yang gemar berkata dungu kepada pemimpinnya)
EDITOR: Redaksi Krebadia.com
Gerard N. Bibang, alumnus IFTK Ledalero, dosen, dan penyair, mantan jurnalis-penyiar radio Deutsche Welle Jerman dan Radio Nederland Wereldomroep Belanda.