Sabda yang Mencipta

Selasa, 11 Februari 2025

Kolom929 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias

(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung) 

banner 336x280

Saya memulai tulisan kali ini dengan tiga kata sinonim: Kata, Firman, Sabda. Itulah tiga kata penuh daya. Tampak sederhana, tetapi mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa karena ia mempunyai daya cipta. Kuat sekali terdengar sebuah warta di suatu kitab: Pada awal mula adalah Sabda. Pada awal mula adalah Kata, adalah Firman. En arche en ho logos. Begitu kata Yohanes penginjil, tatkala mengawali injilnya. Itulah prioritas Sabda di atas perbuatan atau tindakan. Verbum secara ontologis mendapat posisi prioritas di atas actio. Manusia berkomunikasi dengan kata-kata. Manusia mengungkapkan diri dengan kata-kata. Bahkan manusia menggambarkan diri dan membayangkan dirinya sendiri dalam rumusan kata-kata. Bisa dikatakan bahwa manusia “mengadakan” dan “menghadirkan” diri di hadapan sesamanya dalam dan dengan kata-kata. Jadi, betapa dahsyatnya kehadiran kata-kata itu dalam hidup manusia. Maka tidaklah mengherankan jika ada orang yang berkata bahwa masyarakat kita dewasa ini adalah sebuah masyarakat yang penuh dengan kata-kata. Seakan-akan kita bisa melihat kata-kata itu ada di mana-mana. Misalnya ada pada papan iklan (kecil maupun besar), ia juga hadir di layar televisi, juga hadir di dalam koran, buku-buku, dan tidak lupa pada media sosial. Kita seakan-akan dibanjiri dengan kata-kata, menjadi banjir kata-kata. Kata-kata itu mendatangi kita entah dibisikkan, diucapkan dengan suara sedang, atau bahkan diteriakkan, dan ada juga yang dinyanyikan.

Kata-kata itu hidup dan dinamis. Ia bisa menggerakkan, mendorong orang untuk menari, dan bisa berubah warna dan ukuran, terutama dalam televisi ataupun telepon cerdas kita. Ada kata-kata yang mengajak kita untuk melakukan sesuatu. Misalnya kata-kata yang mengatakan, “Rasakan aku, ciumlah aku, makankan aku, minumlah aku, tidurlah bersamaku.” Semuanya kalimat pendek provokatif. Masih ada yang lebih provokatif lagi: “Belilah aku.” Itulah yang kita dengar dalam masyarakat konsumeristik masa kini, di mana “aktivitas membeli” menentukan dan mendefinisikan keberadaan kita: Anda adalah apa yang anda beli. Dengan adanya begitu banyak kata di sekitar kita, mungkin kita akan berkata, “Toh itu semua hanya kata-kata.” Ungkapan ini menyiratkan sikap dan pandangan bahwa kata itu kehilangan banyak daya kekuatan mereka. Tidak lagi terasa wibawa dan daya magis di sana. Walaupun situasi kita dewasa ini ditandai erosi kata-kata sehingga kata itu mengalami kemerosotan makna dan martabat, namun kata itu tetap mempunyai daya kekuatan ajaib. Dalam tradisi Kitab Suci Yudeo-Kristiani, kata itu mempunyai kekuatan untuk mencipta. Mari kita baca Kejadian 1. Tatkala Allah bersabda, saat itulah Allah mencipta. Allah mencipta via sabda. Misalnya, tatkala Allah berkata, “Jadilah terang” (Kej 1:3), maka terang itu pun jadi. Allah memerintahkan cahaya itu untuk mulai berada. Memang bagi Allah, bersabda, berbicara, mengucapkan kata dan mencipta itu adalah sama. Tatkala Allah bersabda maka jadilah apa yang disabdakan-Nya. Itulah daya kekuatan kreatif kata, sabda.

Daya kekuatan kreatif itulah yang perlu kita pikirkan dan kita raih kembali saat ini di tengah erosi makna kata tadi. Hal yang kita katakan, kita ucapkan sangatlah penting. Betapa pentingnya daya kreatif kata-kata itu. Di sini saya teringat akan “speech act theory” dari para filsuf Inggris yang kurang lebih mengatakan bahwa apa yang kita katakan akan melaksanakan dan mewujudkan isi dari apa yang dikatakan itu. Misalnya, tatkala saya berkata kepada seseorang, “Aku mencintainmu,” dan saya mengatakannya dengan ketulusan hati terdalam, maka pernyataan itu akan memberi kepada orang lain itu sebuah hidup baru, harapan baru, keberanian baru, dan sebuah makna baru, sebuah cara baru dalam melihat diri dan melihat sesama. Demikian juga sebaliknya, jika saya mengatakan “Aku membencimu” maka ungkapan itu bisa menghancurkan seluruh hidup orang lain. Perkataan yang kita ucapkan, positif maupun negatif, sangat berpengaruh pada orang lain. Kata itu diucapkan oleh salah satu alat tutur kita yaitu lidah. Itulah sebabnya orang berkata bahwa lidah itu bagai pedang. Karena itu, kita harus berhati-hati dan awas dengan kata-kata kita, dengan ucapan kita. Jangan sampai melukai sesama.

 

banner 336x280