Ditulis oleh Ermalindus Albinus Joseph Sonbay
(Ojek Antar-Makanan di Tanah Wurundjeri)
Bagian kedua dari tiga tulisan.
Politik Keluarga dan Keluarga-Keluarga Politik
Sanggupkah NTT melampaui Primordialisme Sempit?
Sepantasnya judul kecil ini bisa melecut perkembangan dinamika politik lokal di NTT menuju nuansa-nuansa baru yang berisikan transformasi politik dan konstelasi sosial NTT menuju ke arah yang lebih baik.
Tidak ada salahnya menyumbangkan gagasan dan aplikasi politik berbasis rumpun dan keguyuban keluarga-keluarga besar yang ada dan menjadi ciri khas politik NTT.
Menjadi keliru ketika demos/masyarakat NTT hanya dipaksa menjadi semacam ‘pemuja semu’ para Bapak, para Patron yang tidak pernah mau dengan legowo mengakhiri praktik-praktik minor dan bahkan buruknya dalam rangkaian politik di NTT.
Publik NTT tentunya bisa menduga dengan jelas siapa-siapa saja yang menjadi ‘bapak-bapak’ terselubung dalam diri para kandidat yang akan bertarung di kontestasi pilgub NTT.
Rakyat NTT akan dihadirkan ke dalam pemilihan gubernur 2024 dengan hanya tiga pasangan yang akan bertarung. Banyak pihak menilai bahwa ini akan menjadi etape demokratis yang berguna untuk wilayah pecahan Provinsi Sunda Kecil ini.
Akan tetapi, tidak sedikit juga yang jauh menilai ini adalah situasi fait-accomply seperti biasa. Di mana, para kandidat sesungguhnya bukan merupakan hasil canggih dari proses aspirasi demos sesungguhnya, melainkan hanyalah semacam ‘perjudian kecil’ yang ditentukan oleh para elit bahkan oligarki nasional dan lokal yang ada di belakang para kandidat.
Rakyat hanya bisa mengikuti apa sajian yang dihidangkan elit.
Ada dua jejak dalam sejarah panjang politik berbasis identitas kesukuan atau ragam poin primordial di NTT.
Pertama, Peninggalan kolonial yang sangat dirasakan hadir dalam anasir Katolik dan Protestan yang harus ‘disatukan’, atau Flores dan Timor yang harus ‘didamaikan’.
Akan tetapi, sejak era pemilihan langsung (atau paling kurang pasca-reformasi 1998), ada pergeseran sosiologi politik dengan kebangkitan dan kontribusi entitas-entitas lainnya yang bahkan tidak masuk dalam hitung-hitungan warisan devide et impera-nya Belanda dan Portugis misalnya.
Paling kurang sejak pertengahan tahun 2000-an ada warna baik dari representasi sama saudara Muslim di seantero NTT, pun kebangkitan citra politik Sumba dan kepulauan (Sabu, Rote, Alor, Lembata).
Dalam beberapa penjelasan, kami sepakat bahwa sudah saatnya dikotomi politik NTT yang sejak dulu hanya terkonsentrasi dan menarget isu dikotomi Katolik-Protestan versi kultural, atau Timor-Flores versi geografis, dikembangkan secara lebih berkualitas ke dalam empat kluster geografis yang baru, Flores-Sumba-Timor dan Kluster Kepulauan.
Sumbangsih kelompok muda progresif dalam jejaring yang luar biasa ekstra-politik ternyata bisa secara perlahan namun pasti memadamkan amarah-amarah ego-etnis atau egokewilayahan berbasis pendalaman primordialisme yang keliru.
Dan tentunya, sejarah panjang generasi-generasi politik di NTT turut diwarnai oleh perjumpaan dan negosiasi memberangus keterpecahan kohesi sosial NTT warisan kolonial ini.
Sempoyongan, akan tetapi dalam beberapa cerita terakhir fenomena ini bisa perlahan dilindapkan.
Replikasi Soal Klasik
Jejak yang kedua, adalah dengan bebasnya para patron diberi ruang ekstra mengontrol hampir absolut dinamika politik NTT.
Citra politik dengan dasar primordialisme sempit yang coba ditransformasikan oleh begitu banyak ruang eksperimen kaum muda progresif NTT ternyata mental di hadapan para patron.
Terhitung, dasar-dasar politik berbasis pembelahan ini menjadi mainan ‘para bapak’ pengontrol yang seolah tidak pernah mau politik primordialisme ditransformasikan secara lebih baik.
Terbukti, ada begitu banyak manuver dan gerakan senyap komplotan oligarki lokal NTT untuk menjamin agar rakyat tetap terbelah dan hancur lebur tanpa kesadaran dan perbaikan kolektif.
Alasannya sederhana, rakyat yang terbelah dan masuk dalam kantong-kantong primordial yang sempit akan lebih mudah diceraiberaikan dan dikuasai, ketimbang rakyat yang terbuka dan bisa berorientasi pada kesadaran membangun NTT yang lebih baik.
Strategi progresif kelompok muda, tidak jarang dikebiri oleh mereka yang haus kuasa dan resource. Baik sebagai ‘elit’ lokal, representasi oligarki nasional, atau yang bahkan hanya hadir sebagai antek dan komprador.
Kelompok-kelompok ini dipastikan akan kehilangan peluang dan kesempatan ‘mengeruk’ NTT jika rakyat bisa memaknai pembaruan dikotomi NTT, bisa mentransformasikan politik pembelahan kolonial menjadi wajah NTT baru yang tersusun berbasis sumbangsih semua titik di NTT.
Politik Keluarga Besar
Selain menjadi penyelamat dalam ragam kesulitan ekonomi, sosial, kebudayaan. Politik keluarga besar (extended family) bukanlah sesuatu yang keliru di NTT.
Karena, beberapa kajian antropologi teranyar memberikan jawaban bahwa NTT bukan merupakan rumah tempat aristokrasi atau monarki absolut hidup.
NTT adalah episentrum yang dibentuk berbasis tribes, kesukuan, konfederasi kampung-kampung dan klan-klan yang membatalkan begitu banyak hasrat tirani selama ratusan tahun.
Sejarah panjang NTT adalah sejarah unifikasi keluarga-keluarga NTT. NTT adalah kolektivitas yang tidak bisa dipisahkan dari semangat perjumpaan, semangat kelana dan guyub keluarga-keluarga besar.
Akan tetapi, semenjak demokrasi liberal di-boosting dengan transaksi dan pragmatisme politik keluarga besar NTT dikerdilkan hanya menjadi keluarga-keluarga politik tertentu.
Fenomena minor ini tentunya juga menjadi sesuatu yang lazim hampir di seantero Indonesia. Dan tentunya, NTT menjadi kian hari kian parah dengan situasi ini.
Demos hanya akan menjadi pelengkap yang dibutuhkan dalam rekayasa politik dan manipulasi demokrasi yang ada.
Yang acap terjadi adalah, habis suami akan muncul istri. Sesudah ayahanda akan langsung muncul ananda. Atau bahkan sesudah kawan yang ini, kawan lain akan disiapkan untuk sesegera mungkin mengisi kekosongan yang ditinggalkan.
Transformasi politik keluarga besar yang disempitkan hanya menjadi keluarga-keluarga politik ini juga terbukti dalam tidak berdayanya NTT menyelesaikan persoalan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang sudah kami sebutkan pada bagian pertama.
Keluarga-keluarga tidak lagi bisa guyub dalam rantai kekerabatan yang egaliter. Melainkan, tunduk pada predasi keluarga-keluarga politik. Keluarga yang mewariskan kepemimpinan dan status elit politiknya langsung kepada istri, anak, kenalan dan sejawat terdekat.
Dan bagi keluarga-keluarga politik ini, tidak ada kewajiban melawan stunting di NTT, melawan kemiskinan di NTT, yang ada hanya membuat kekal kekuasaan keluarga.
Dua transformasi ini cukup menghancurleburkan dinamika perpolitikan di NTT, termasuk membungkam kesempatan emas generasi muda progresif NTT untuk memaksimalkan peluang yang setara dan adil.
Alih-alih setara dan adil, kaum muda NTT kebanyakan yang bukan berasal dari keluarga politik atau pertemanan politik tertentu, hanya akan menjadi penggembira.
Atau, sebuah analogi lomba bisa dibuat, anak-anak muda progresif NTT diajak untuk ikut dalam kompetisi membaktikan diri ke NTT dengan kaki yang ‘dilumpuhkan’ dan paru-paru yang ‘tinggal sebelah’, sedangkan anak-anak keluarga politik berlomba dengan jiwa-raga sehat dan duduk di dalam mobil sport.
Dan itulah yang diharapkan oleh elit NTT agar rakyat senantiasa membaca drama ini sebagai keadilan.
(Bersambung!)
EDITOR: Redaksi Krebadia.com
Baca juga: Senjakala Gerakan Progresif Indonesia Bagian Pertama dengan klik tautan berikut.