Ditulis oleh Ermalindus Albinus Joseph Sonbay
(Ojek Antar-Makanan di Tanah Wurundjeri)
Bagian terakhir dari tiga tulisan.
“…Janganlah Kalian menjadi takut akan kekudusan. Jangan pernah takut menjadi kudus. Keberanian untuk menjadi rendah hati akan menunjukkan kepada dunia, tekad untuk menjadi kudus. Kebebasan sejati yang paripurna, lahir dari kekudusan…” (St. Yohanes Paulus II)
Mendesaknya Refleksi Kritis Gereja Tentang Kritik
Ketika membahas tentang Gereja dalam artikel ini, kami tidak sedang melihat Gereja hanya dari sisi hierarkis-formalis. Kami melihat Gereja sebagai terpadunya Gereja (G Besar) yang hierarkis, pun gereja (g Kecil) dalam diri semua individu Kristen (terbabtis) di NTT. Hal ini penting, untuk tidak lagi menebalkan segregasi arah politik Gereja, di mana yang hierarkis hanya dituntut untuk terus mendalam untuk tema politik etis, sedangkan yang non-hierarkis boleh dangkal di sisi elektoral. Kami memahami bahwa hanya dengan melihat Gereja yang holistis, ada ruang negosiasi dan perjumpaan yang dibangun. Dan ruang ini juga bisa menjadi salah satu jalan membangunkan lagi dimensi kritis dalam tubuh gereja, bukan sekadar sebagai pemain yang mengikuti arus mapan (status quo ante) yang disusun elit, melainkan gereja harus bisa menjadi salah satu arsitek lain, manejer lain dalam membangun apa itu bonum commune, kebaikan bersama. Jadi, tidak elok kalau gereja terus-menerus mendengar versi bonum commune para elit politik di Jakarta, tanpa bisa berkontribusi pada perbaikan dan visi kemuliaan, kekudusan NTT.
Refleksi kritis gereja yang kami maksudkan adalah serangkaian upaya gereja bernegosiasi kembali dengan situasi sosial-politik terkini. Tidak benar bahwa, gereja harus terus berdiam diri dalam metanoya dan doa saja. Gereja perlu juga untuk hadir dan memberi makna pada penggusuran dan peminggiran warga yang ‘tak bisa bersuara’ akibat penetrasi investasi berkedok kesejahteraan. Sudah berapa banyak warga NTT yang ‘disengsarakan’ akibat megaproyek pariwisata, energi terbarukan, pertanian dan peternakan modern, hingga dimensi dasariah lainnya seperti pendidikan dan kesehatan, pun ketenagakerjaan? Gereja harus bisa menjaga keseimbangan antara doa-meditasi dan kontemplasi dengan posisi profetik berupa keterlibatan aktif.
Salah satu contoh sederhana, mengapa correctio fraterna (tegasnya, kritik di antara sesama saudara dalam biara/konggregasi/maupun unio episkopalis) hanya bisa terjadi di antara sesama kaum biarawan saja? Mengapa para Bupati, Gubernur, hingga Kepala Desa tidak dilazimkan dengan salah satu bentuk kritik yang manusiawi tersebut. Mengapa untuk mengingatkan sama saudara, perlu ada diskriminasi? Bukankah gereja itu berpilar pada komunitas? Sudah seindividualistik itukah gereja di NTT? Mengapa para Uskup tidak bisa mengadakan audiensi sosial-politik yang kuat dengan ‘para elit’ di NTT untuk langsung memberi masukan sebagai kakak dan adik.
Kultur koreksi ini sebenarnya adalah satu sisi yang paling compatible dari gereja, tidak membutuhkan terjemahan yang berbelit, karena inti ajaran gereja di bagian yang ini persis memiliki dukungan kultural dengan konsep sosio-demokrasi asli NTT dengan begitu banyak tradisi guyub rukunnya. Mengapa gereja tidak bisa mengadakan “Lonto Leok”, “Deri Babong”, “Tur Hamutu”, “mTok Tabua” dan lain sebagainya dengan perspektif correctio fraterna. Apakah wajah asli gereja yang penuh kasih sayang dan wajah asli kultur NTT yang penuh solidaritas sudah sedemikian tertutup oleh pengaruh dan daya represi modal dan oligarki?
Di beberapa tempat, malah muncul degradasi dengan membicarakan kesalahan-kesalahan elit pada situasi yang lebih rendah, di belakang-belakang, tersembunyi, bahkan terkesan kekanak-kanakan. Hierarki gereja menguliti kelemahan pemimpin politik dan rakyat secara diam-diam, sebaliknya umat kecil hingga para bupati dan gubernur juga membicarakan kelemahan pemimpin gereja sebagai gosip, rumor dan isu semata. Ujung dari dua falasi ini adalah, tidak akan ditemukan dan diaplikasikannya kesimpulan yang bermartabat untuk semua kesalahan dan kelemahan yang pernah terjadi. Risiko paling pendek adalah semakin tersekatnya umat secara politik ke dalam simpul politik kedaerahan yang primordialistik dan dangkal. Hal yang sama tentunya akan juga berimplikasi pada geng-geng yang terbentuk di dalam gereja, baik geng kedaerahan maupun geng akibat kepentingan dan keinginan yang ada. Hal-hal sempit ini yang mengisi bagian besar dinamika progresif di dalam gereja-gereja di NTT.
Pentingnya Pemaknaan Ulang Status Kewarganegaraan
Kami mendeteksi dengan jelas bahwa status “kekuatan sosial politik” gereja hanya dimanfaatkan oleh segelintir aktor politik sebagai modal dasar membangun karier dalam politik kekuasaan. Sesudah itu, gereja dengan segala kelengkapannya akan ditinggalkan. Padahal, sepantasnya gereja memahami ruang pertukaran tersebut dengan memberikan pemahaman paripurna soal status pengkaderan dalam tubuh gereja katolik. Kader klerikal, kader biarawan, kader awam-kaum muda-perempuan, dll. gereja dengan kata lain, akan didegradasi untuk sekadar menjadi toko/kios/warung yang ramai dikunjungi ‘para elit’ sebelum agenda elektoral, dan seolah-olah langsung bangkrut sesudah fase elektoral itu dan menunggu untuk siklus selanjutnya. Hal ini yang harus dihentikan lewat dinamika ‘proses’ yang berisi keterlibatan, perjumpaan, negosiasi terus-menerus. Semakin lengkap jika secara reguler dikuatkan dengan aksi “correctio fraterna” yang selalu dan selalu.
Dengan jalan ini, kami mengasumsikan adanya kedalaman dalam pemaknaan tersebut. Sehingga, konsepsi politik progresif akan bergeser dari sekadar melulu elektoral penuh lubang coblosan, menuju ke konsep-konsep politik yang lebih fundamental. Umat yang sekaligus rakyat dan sekaligus anak-anak adat akan dengan mudah dicerahkan. Untuk mengerti bahwa politik itu adalah tentang bagaimana pupuk dan bibit tersedia, air tersedia, penangkal hama tersedia, hingga panen dan hasil-hasilnya bisa dihargai secara pantas, bisa menjamin kelangsungan hidup manusia. Politik yang picik adalah politik yang sebatas elektoral.
Kesadaran-kesadaran sebagai warga negara inilah yang juga harus bisa dikampanyekan oleh agenda-agenda sosial-politik gerejani. Bukan sekadar menilai dan mematikan karakter-karakter personal para elit (yang memang banyak yang jugs sudah rusak), melainkan ikut membentuk dan memaksa kawanan elit mengapresiasi cara kerja dan cara bermartabat orang-orang NTT dengan kekuatan kulturalnya. Gereja harus bisa secara politis tampil memberikan penyadaran akan hak-hak warga negara, hak berpendidikan, hak mengakses kesehatan yang baik, hak atas lingkungan hidup yang sehat hingga sekian generasi ke depan, hingga kesetaraan dalam mengakses ‘kemewahan’ negara.
Tidak pantas jika gereja hanya dimainkan oleh komplotan elit sebagai bagian dari “drama toleransi” yang cantik di permukaan. Perang sesungguhnya, bukan perang antar-agama atas nama radikalisme. Perang sesungguhnya adalah perang agama-agama melawan kemiskinan, kemelaratan, ketidakadilan dan juga hal-hal minor yang disebabkan para elit, para pemimpin. Termasuk (mungkin) para pimpinan gereja. Dengan kata lain, jangan lagi ajarkan orang NTT untuk toleran dan semakin baik dalam hidup keberagaman, semua itu sudah ada dalam DNA-nya. Sejak lahir toleransi sudah menjadi nilai yang ditanamkan di dalam semua pribadi NTT. Ajarkanlah umat-rakyat-anak-anak adat NTT bagaimana memerangi kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan yang diakibatkan oleh kemunafikan elitnya.
Hadiah dari Paus Fransiskus
Kesederhaan dan kerendahan hati menjadi nilai gereja yang coba ditebalkan Paus Fransiskus dalam kunjungannya. Banyak pihak menilai bahwa Paus sementara mengajari elit politik Indonesia untuk sederhana. Kami menambahkan, bahwa bukan saja elit politik. Pertama-tama Paus sedang menghadirkan kekuatan Sakramen Krisma bagi para elit gereja. Berani “menampar” muka pada elit gereja yang konon katanya semakin ke sini semakin terobsesi dengan dimensi-dimensi triumvalistik. Berpastoral harus dengan mobil SUV super elit, atau motorsport, atau gadget-gadget terbaru hingga kemewahan-kemewahan duniawi lainnya. Paus Fransiskus memberi hadiah yang ‘lumayan mewah’ pertama-tama untuk para elit gereja, sekaligus menegaskan pesan St. Yohanes Paulus II di atas, butuh keberanian lebih untuk menjadi rendah hati dan sederhana. Pertanyaan untuk semua yang merasa menjadi bagian dalam gereja dan ragam dinamika politik progresif di NTT, sampai kapan kita akan takut?
Mengembangkan level keterlibatan gereja dalam melawan sekian banyak tekanan politik adalah wajah kasih itu sesungguhnya. Dengan penajaman ini, gereja bisa tegas memberi jawaban pada pertanyaan teolog pembebasan dari Amerika Latin, Leo Boff. Boff pernah dengan lugas mempertanyakan status gereja, apakah gereja masih relevan dengan kaum miskin? Hanya dengan perubahan fundamental dari cara kita memaknai posisi kebersamaan “G”ereja dan “g”ereja, pertanyaan Boff mendapat salah satu jawaban tepat dari NTT. Jika tidak, kemungkinan logis yang akan terjadi dalam lima, sepuluh atau bahkan ratusan tahun ke depan adalah, perayaan semu bernama ‘politisasi toleransi’ yang diciptakan agar umat/rakyat lupa akan kemiskinan dan penderitaannya hari demi hari. ‘Politisasi Toleransi’ yang dipelihara agar rakyat terkurung dalam pemaknaan dangkal, bahwa politik itu adalah sekadar urusan elektoral di dalam bilik suara semata.
Selamat memilih Gubernur, Walikota dan Bupati, semoga anda semua bisa sertakan “Roh Kudus” di dalamnya.
Katedral St. Patrick, Melbourne
September 2024
EDITOR: Redaksi Krebadia.com
Baca juga: Senjakala Gerakan Progresif Indonesia Bagian Kedua dengan klik tautan berikut.