Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Setiap kali mendengar (membaca) teks pembaptisan Yesus saya merasa seperti terbawa ke dalam diriku sendiri, ke dalam sebuah permenungan. Permenungan itu muncul karena saya membayangkan bahwa suara langit ke atas Yesus, juga mungkin diucapkan kepada saya sendiri. Ketika Tuhan Yesus dibaptis di Sungai Yordan, dikatakan bahwa sesaat sesudah itu, terdengar suara surga, “Engkaulah Anak-Ku yang terkasih, kepada-Mulah Aku berkenan.” (Mrk 1:11; bdk., Mat 3:17; Luk 3:22). Penginjil sinoptik memberi kesaksian bahwa ada suara yang menyatakan perkenanan-Nya kepada Yesus sesaat Ia dibaptis. Dalam permenungan personalku, saya bertanya, apakah saya juga bisa membayangkan bahwa ucapan perkenanan surga itu terjadi atas diri saya saat baptis? Mungkin saya dianggap sombong jika mengatakan bahwa saya yakin ucapan itu terjadi juga atas diri saya (sebenarnya bukan hanya atas saya saja, melainkan kepada semua orang yang dibaptis dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus). Semula saya agak takut untuk mendaku hal ini, karena takut dianggap sebagai snobishme spiritual, keangkuhan rohani. Akhirnya ketakutan itu hilang setelah saya membaca rangkaian meditasi Paus Yohanes Paulus II. Suatu saat, saya membaca rangkaian meditasi beliau dalam buku berjudul Prayers and Devotions. 365 Daily Meditations, Pope John Paul II (diedit oleh Uskup Peter Canisius Johaness van Lierde, Viking, A Winiger Book, 1984).
Buku ini disusun, sebagaimana sudah biasa dalam tradisi Katolik, sebagai bahan renungan harian, mulai dari hari pertama Adven. Saya membacanya dalam bahasa Inggris. Belakangan saya tahu buku itu sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (1995) oleh Julius Valentinus Barus (Erlangga). Paus Yohanes Paulus II dalam renungan tanggal 10 Januari mengatakan, setelah mengutip suara surgawi tadi, bahwa “…kata-kata Injil itu… terbukti benar juga untuk anak-anak, yang saya layani Pembaptisannya.” Menurut kutipan ini, perkenanan langit yang diucapkan atas Yesus pasca pembaptisan-Nya, terjadi juga pada neobaptis (anak-anak dan dewasa) saat dibaptis. Mengapa Bapa Suci mengatakan demikian? Alasannya sangat Kristologis. Begini katanya: “Yesus adalah yang sulung dari banyak lainnya (bdk., Rom 8:29). Apa yang terjadi pada Dia juga terulang secara ajaib dalam masing-masing dari kita.” (Terjemahanku). Suara langit itu adalah suara Bapa surgawi. Tetapi mengapa Bapa berkenan kepada Dia dan kepada anak-anak-Nya yang lain, termasuk saya dan semua yang dibaptis? Kata Bapa Suci demikian: “…karena Dia akan melihat jejak cap keabadian dari Ke-Bapa-an-Nya terpatri membekas dalam roh-roh mereka, keserupaan batiniah dan sejati dengan Anak-Nya: anak-anak dalam sang Anak.” Wah, susah. Mudahnya dapat dirumuskan begini: Bapa surgawi menemukan dalam diri anak-anaknya yang dibaptis itu, jejak-jejak keabadian-Nya sendiri, karena dalam diri anak-anak itu, Bapa melihat keserupaan batiniah dan sejati dari Anak-Nya sendiri.
Mungkin masih susah. Bayangkan secara analogis. Seorang kakek, melihat cucunya yang baru lahir. Begitu melihatnya, ia mengenal, dirinya sendiri dalam wajah cucu itu, ciri yang sudah ia kenal dalam wajah anak-nya sendiri, yaitu ayah dari si cucu. Ini hanya analogi. Karena sang kakek mengenalnya lagi, maka perkenanan yang dulu ia ucapkan untuk sang anak, berlaku juga sekarang ini untuk cucu. Sekali lagi ini sebuah analogia untuk membantu memudahkan pemahaman. Jadi, kita dipanggil untuk mendengarkan kembali suara surgawi, nan asali dan awali itu. Tetapi karena dalam hidup ini, kita dengar banyak suara, maka hal itu menuntut perhatian kita secara khusus dan intensif. Dari macam-macam suara itu, ada yang mengatakan, “Buktikan bahwa anda adalah orang yang baik.” Suara lain mengatakan, “Engkau lebih baik menjadi malu dengan dirimu sendiri,” dan satu lagi mengatakan, “Yakinlah untuk menjadi berhasil, populer, dan berkuasa.” Tetapi di bawah semua suara-suara bising ini ada suara kecil yang tenang yang mengatakan, “Engkau adalah Kekasihku, kepadamu aku berkenan.” Itulah suara yang paling kita butuhkan untuk didengarkan. Tetapi untuk mendengarkan suara itu, dituntut upaya khusus yaitu kesendirian, keheningan, dan keteguhan hati yang kuat untuk mendengarkan. Itulah sebenarnya doa. Itu adalah hal mendengarkan suara yang menyebut kita “Yang Kukasihi.”