Sukacita Bersama yang Lain

Jumat, 31 Januari 2025

Kolom217 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
Fakultas Filsafat, (Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Pengalaman sukacita bisa dinikmati sendirian, bisa dinikmati bersama orang lain. Pengalaman sukacita dalam perayaan keagamaan pasti bisa dinikmati bersama orang lain. Mengalami sukacita bersama adalah bagian utuh dari hidup kita bersama orang lain. Kita selalu hidup bersama orang lain. Tetapi ada juga hal lain terkait pengalaman sukacita itu yang perlu kita perhatikan. Yaitu pengalaman sukacita karena menjadi seperti orang lain. Mungkin ada yang tidak sependapat dengan ini. Baiklah saya coba menjelaskan apa yang saya maksudkan. Jika dipandang sepintas, tampaknya perasaan dan pengalaman sukacita itu terkait dengan kenyataan bahwa kita itu berbeda dari yang lain. Pengalaman itu muncul karena keberbedaan kita. Fakta perbedaan itulah yang membuat kita mengalami sukacita. Untuk mempertegasnya, saya memberi beberapa contoh. Misalnya, saya bersukacita tatkala saya mendapatkan pujian pimpinan. Atau saat saya memenangi satu hadiah atau penghargaan, apalagi jika hal itu sangat bergengsi. Dalam konteks pengalaman seperti ini, saya mengalami dan merasakan pengalaman sukacita karena saya tidak sama dengan orang lain. Saya mendapat penghargaan, orang lain tidak. Saya mendapat pujian, orang lain tidak. Jadi, dalam pengalaman sukacita seperti ini, saya berbeda, atau bahkan dibedakan dari yang lain. Ya, saya lain, karena saya lebih cepat misalnya, atau saya lebih cerdas, atau lebih cantik (dalam lomba kecantikan). Perbedaan itulah yang mendatangkan perasaan dan pengalaman sukacita dalam diri saya.

Tetapi tunggu dulu. Ada sisi lain yang harus dipertimbangkan. Rupanya rasa dan pengalaman sukacita seperti itu sangat singkat sifatnya, bersifat sementara. Kita tidak boleh terlalu berbangga dengan model pengalaman sukacita seperti itu. Kita harus mencari pengalaman dan perasaan sukacita yang sejati. Tetapi di manakah kita dapat mencari dan menemukan sukacita sejati itu? Sukacita sejati itu, menurut beberapa penulis rohani, tersembunyi dalam kenyataan bahwa kita ini memiliki “kesamaan” dengan orang lain. Kesamaan eksistensial kita sebagai makhluk ciptaan hanya dua: Bahwa kita ini rapuh (fragile, vulnerable), dan fana (mortal). Jadi, sukacita yang dimaksudkan di sini adalah sukacita yang kita alami dan temukan dalam kenyataan bahwa kita ini termasuk dalam kategori bangsa manusia. Itu saja. Sukacita yang ada di sini dan kita rasakan ialah sukacita karena kita bisa berada dan hidup bersama orang lain sebagai sahabat, teman perjalanan, sebagai teman. Mungkin kita bertanya, dari manakah sumber dasar dari sukacita seperti itu? Mungkin kita terkejut saat mendengar jawaban atas pertanyaan eksistensial dan teologis itu. Sebab jawabannya sangat bercorak teologis dan bahkan kristologis. Sebab sukacita seperti itu ialah sukacita yang dialami dan dirasakan Tuhan Yesus sendiri, yang adalah sang Immanuel. Arti dasar Immanuel itu ialah Allah-beserta-kita. Jadi, Allah, dalam diri Yesus Kristus, menyertai kita. Ia tidak meninggalkan kita sebagai makhluk ciptaan-Nya.

Jika di Eropah pada abad kesembilan-belas pernah muncul sebuah aliran pemikiran filosofis-teologis yang disebut deisme, menurut saya, hal itu muncul karena orang lupa akan Yesus. Saat orang lupa akan Yesus, maka di sana muncul juga banyak hal-hal aneh. Salah satunya ialah deisme. Apa itu? Untuk memahami hal itu, baiklah saya mulai dengan penjelasan tentang teisme, yang adalah kepercayaan bahwa Allah ada, dan bahwa Allah menciptakan alam semesta dan segala isinya. Dan bahwa sesudah menciptakan semuanya, Allah masih tetap memperhatikan, memelihara, dan menyelenggarakan hidup manusia dan semua makhluk ciptaan-Nya. Berbeda dengan itu, deisme mengatakan bahwa Allah memang ada, dan Allah juga menciptakan segala sesuatu, tetapi sesudah menciptakan segala sesuatu, Allah pergi dan mundur ke suatu tempat dan tidak lagi peduli ataupun menyelenggarakan hidup makhluk ciptaan-Nya. Allah menjadi tidak peduli. Ia berdiam sangat jauh. Jelas ini berbeda dengan paham teisme tadi. Bagi kaum teis, khususnya teis yang kristiani, wujud nyata penyertaan Allah itu bagi manusia ialah Immanuel, Allah-Menyertai-Kita. Allah tidak pernah meninggalkan kita. Itulah dasar dan sumber sukacita kita. Sukacita apalagi dan manalagi yang lebih besar dari itu? Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan, dan bersama Tuhan. Amin.

 

banner 336x280