Oleh A. S. Laksana
Menteri Yandri masuk ke Kabinet Indonesia Endhas melalui Partai Amanat Nasional—ia wakil ketua umum partai itu—dan sejak menjadi menteri ia telah memperlihatkan bahwa insting primitifnya jauh lebih kuat ketimbang keutamaan moral maupun kearifan intelektualnya. Ia mendahulukan urusan keluarga di atas kepentingan publik. Begitu dilantik sebagai menteri desa dan daerah tertinggal, ia langsung menggunakan kop surat kementerian untuk acara haul ibunya. Sekarang, ia menggunakan kekuasaan untuk mendukung pencalonan istrinya.
Dalam kelompok kecil, misalnya dalam arisan keluarga, insting purba yang tetap melekat kuat pada orang ini mungkin tidak menimbulkan banyak masalah. Atau, kalaupun menimbulkan masalah, itu hanya masalah di dalam keluarganya sendiri. Namun, dalam masyarakat modern, insting ini membahayakan tata kelola pemerintahan.
Sebagai warga negara, saya berharap orang dengan insting primitif yang sekuat ini dikeluarkan saja dari kabinet. Tapi, jika Pak Ndhas tidak mau menyingkirkannya, ia harus mendidik menterinya itu agar memahami bahwa peradaban berkembang ketika orang-orangnya bisa melampaui bias-bias biologis dan mampu menggunakan prinsip rasionalitas dan keadilan sebagai landasan untuk tindakan-tindakannya.
Ketika seorang pejabat menggunakan kekuasaan untuk mendukung istri, anak, menantu, sepupu, ipar, dan segala jenis pertalian keluarga demi kemenangan dalam pemilihan umum, ia telah bertindak tidak rasional dalam konteks pemerintahan modern. Tentu Pak Ndhas sendiri harus memahami bahwa sistem demokrasi seharusnya memberi kesempatan kepada kandidat terbaik berdasarkan meritokrasi, di mana posisi dan kesempatan diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasi seseorang, bukan berdasarkan hubungan pribadi atau faktor-faktor lain seperti keluarga dan kekayaan.
Orang-orang dengan insting primitif yang terlalu kuat—dan, sialnya, partai-partai politik di negara ini dipenuhi orang-orang dengan insting primitif seperti itu—akan selalu menjadi penjegal utama kemajuan suatu masyarakat. Mereka akan cenderung menjadi pelanggar hukum, tidak mampu menggunakan akal sehat, dan menyebabkan kemunduran institusional, sebab keputusan-keputusan politik akan didasarkan pada hubungan pribadi dan bukan pada kepentingan kehidupan bersama.
Negeri ini menjadi sengsara hingga sekarang, dan kelihatannya masih akan sengsara sampai bertahun-tahun ke depan, karena pemegang kekuasaan politiknya selalu orang-orang dengan insting primitif yang sangat kuat. Artinya, masalah kolusi, korupsi, dan nepotisme tidak akan bisa dibereskan. Artinya, hukum tidak akan pernah tegak. Artinya, negara ini mustahil sejahtera.
Negara-negara yang lebih demokratis, lebih rasional, dan memiliki sistem hukum yang kuat pada umumnya lebih sejahtera dan mampu berkembang lebih cepat karena mereka tidak memberi tempat bagi insting primitif untuk merajalela—mereka mampu membebaskan diri dari korupsi dan nepotisme. Mereka mampu bersikap rasional dan tahu pentingnya transparansi dan mekanisme check-and-balance.
Jika pejabat bisa dengan mudah cawe-cawe dalam pencalonan anggota keluarganya, itu berarti sistem politik sebuah negara tidak memiliki mekanisme pengawasan yang cukup kuat.
Apakah Indonesia akan menjadi emas di tahun 2045? Oh, tidak! Negara yang maju memiliki institusi yang dapat mencegah dan menghukum penyalahgunaan kekuasaan, misalnya melalui media yang kuat dan independen, hukum yang ditegakkan tanpa tebang pilih, dan transparansi dalam pemilihan umum. Negara ini tidak memiliki itu dorongan untuk maju. Tidak ada keutamaan moral, kearifan intelektual, dan rasa tanggung jawab terhadap kehidupan bersama pada orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan—apa pun jenis kekuasaannya.