Terowongan Antara Istiqlal dan Katedral

Episode dua Sri Paus di Indonesia

Avatar of Gerard Bibang
IMG 20240906 WA0000

Di terowongan antara Istiqlal dan Katedral; kita duduk-duduk, bercengkrama; gulita dinding-dinding terowongan menjelma setitik cahaya; karena kita berasal dari titik yang sama; karena kita diciptakan oleh Sang Pencipta yang satu dan sama; kau dan aku adalah saudari dan saudara; aku jadi lupa agama-mu apa

Terowongan ini ada di bawah tanah, ada di kedalaman; di sini, kita satu dan sama; kita-kita adalah manusia; yah, kemanusiaan memang hanya satu; jangan ragu mengakui hal itu; ketika ke atas terowongan; aku ke masjid, kau ke katedral; kau dan aku, berbeda tapi tidak berbagi arah; kita sejatinya tetap satu dan sama; kita sama-sama bersembahyang dan memuliakan Sang Pencipta, dengan cara berbeda di tempat berbeda

Maka siapakah kita? kau dan aku adalah manusia terowongan; satu dan sama lahir dari sebuah kedalaman; saudara dan saudari berasal dari satu titik; maka saling berbela rasa dan berbagilah selalu selama kita di bumi, sekarang dan di sini

Jika saja manusia-manusia terowongan bersua dan saling menatap, entah di terowongan atau di atas terowongan, di jalan raya atau di jalan tikus, di jalan ramai atau jalan sunyi; langit-langit nusantara yang jadi api memanasi bumi kathulistiwa akan kehilangan rupa; indonesia yang gerah karena terik mentari akan menjelma anak-sungai-anak sungai yang mengalirkan kasih; mereka-mereka bercanda dan bergandengan tangan selayaknya saudara dan saudari; cakrawala nusantara membidik waktu tanpa perhitungan dan tembang serta puisi lahir di trotoar-trotoar yang selama ini ditiduri oleh kalkulasi menghitung untung rugi; damai membumi bagi setiap insan yang saling berbela rasa dalam saling mengasihi

Jika saja manusia-manusia terowongan masuk keluar kampung, kota, desa, hutan dan bukit, matahari kehilangan panasnya, dan ribuan penari dan penyair akan berbaris sambil mengepalkan tangan, mengembalikan ruang-ruang yang selama dirampas oleh angan-angan duniawi, oleh anggapan yang memperlakukan dunia sebagai surga dan memperlakukan surga sebagai bayang-bayang dari para pemalas; langkah-langkah pemuda dan pemudi mengayun lurus seperti rel kereta api yang tak akan bertemu sepanjang abad di landasan besi, kota demi kota disinggahi tepat waktu dan jam berangkat lewat peluit kepala setasiun; mereka-mereka tidak mengeluh meski keringat berpeluh; sendagurau dan senyum selalu mengulum; mereka-mereka berjalan berjejer namun bersama-sama menuju titik akhir yang sama; oleh dunia, akhir itu diberi nama titik tiada, oleh iman, akhir itu adalah kehidupan kekal, di sanalah Sang Cahaya Maha Cahaya bertakhta, menyapa dari wajah ke wajah dalam kebahagiaan kekal

Jika saja manusia-manusia terowongan hadir, nusantara tak akan kembali pada ringkik kuda sehabis berkelahi; tidak akan kembali kepada gonggongan anjing yang menyusahkan orang-orang yang sudah susah; tidak akan kembali kepada serigala yang memangsai sesama manusia yang meminggirkan manusia-manusia yang sudah terpinggirkan; yang tidak jera-jeranya bernafsu menjadi uebermensch, ialah manusia lebih yang harus melebihi orang lain

Jika saja manusia-manusia terowongan itu adalah Indonesia; Indonesia menjadi taman surgawi; kasih dan berbagi menjadi energi magis hingga pelosok-pelosok terpencil; sekeping damai di bumi bukan mustahil; Indonesia harmonis anugerah Sang Ilahi

(gnb:tmn aries:kamis:5.9.24: hari ketiga di Indonesia, Paus Fransiskus mengunjungi dan bertemu para pemimpin agama dan tokoh nasional di terowongan antara masjid Istiqlal dan Kathedral Jakarta)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *