Sekitar tiga minggu yang lalu, saya dan dia sudah berjanji akan ketemu. Ia di Yogya untuk asatu acara , sementara saya sedang ada kerjaan di Jakarta. Kebetulan, pas hari terakhir ia ada di Yogya, saya juga akan disana. Rencana saya, pas mendarat di YIA, saya akan menemui dia.
Namun, apa daya. Keadaan membatalkan pertemuan kami. Ia harus ke Semarang karena ada masalah dengan kesehatannya. Kami tidak jadi bertemu.
Saya lupa kapan pertama kali bertemu dengannya. Namun kami sering saling menyapa. Saya akan selalu berusaha berjumpa kalau saya di Jayapura. Ia pindah dari Sorong ke Jayapura untuk menjadi Ketua Sekolat Tinggi Filsafat dan Teologia Fajar Timur.
Saya pernah berkunjung dan makan malam di biara Agustinian di Jayapura. Sesorean saya menghabiskan waktu disana, mendengar para Frater dan imam-imam Agustunian ibadah sore — walaupun kami berdua mendapat privilege untuk tetap berbincang di luaran. Yang saya ingat, lagu-lagu latin yang didaraskan saat ibadah sore itu mengingatkan saya pada masa kecil saya.
Pater Bernard Baru, OSA (Ordo Santo Agustinus) baru saja diumumkan sebagai uskup di wilayah Keuskupan Timika. Ia menggantikan Uskup John Philip Saklil, yang meninggal 2019 lalu.
Pater Bernard melewati masa pendidikan dasarnya di Maybrat dan Sorong. Ia kemudian melanjutkan pelajaran ke Malang dan menamatkan S1 di STFT Fajar Timur yang kemudian dipimpinnya.
Ia menamatkan studi S3 di Pontificia Università Urbaniana di Roma. Saya pernah menggodanya soal pendidikan S3-nya ini. “Sekolah ini adalah jalan untuk menuju jabatan uskup,” goda saya. Saya ingat saat itu dia kelihatan enggan. Namun saya tahu, untuk itulah orang bersekolah di universitas kepausan (Pontificia Università. Ia belajar sosiologi.
Dia sangat mencintai tanah kelahiran dan bangsanya. Saya tahu cinta itu dia tanamkan dalam komitmen–menangani banyak persoalan di kalangan orang Papua. Terakhir dia menangani pengungsi yang terpkasa harus pergi dari kampung-kampung mereka yang diduduki oelh militer yang sedang berperang dengan kelompok separatis.
Saya tahu, tugas keuskupan jauh lebih berat daripada menjadi akademisi di kampus. Keuskupan Timika mencakup wilayah-wilayah Papua yang penuh dengan pergolakan. Timika bahkan lebih berat dari tempat asalnya, Maybrat, karena di Timika konflik berlapis-lapis.
Sehingga, saya tidak tahu apakah saya harus senang atau sedih dengan pengangkatan Pater Bernard. Di satu sisi, saya senang karena Pater Bernardlah yang memegang jabatan ini. Saya tahu dia orang yang sangat kompeten dan punya komitmen untuk Papua, tanah airnya.
Di sisi lain, tentu beban yang sangat berat–dan mungkin juga berbahaya karena berhadapan langsung tidak saja dengan rakyat yang miskin, berkekurangan, tuna keadilan, dan hidup dalam kesengsaraan struktural yang tiada habisnya.
Kalau ada yang ingin saya sampaikan, mungin itu adalah hasil diskusi-diskusi kita yang panjang. “Tidak ada perdamaian sejati tanpa keadilan. Tidak ada keadilan tanpa penghormatan terhadap martabat dan hak-hak asaci manusia.”
Saya ingat, bertahun lalu saya ditanya oleh seorang imam muda, “Apa yang diperlukan untuk menjadi imam Katolik dewasa ini?” Saya tidak punya kompetensi untuk menjawab itu. Tapi ia bertanya kepada saya sebagai umat. Ketika itu, saya jawab asal saja, “Menjadi suci. Banyak imam yang pintar secara akademik, pintar berkotbah, pintar mencari uang, pintar mengelola sekolah … tapi diatas semuanya, sedikit sekali yang suci, baik suci secara spiritual dan sosial.”
Sekarang, setelah saya refleksikan, kesucian secara sosial adalah memperjuangkan keadilan untuk perdamaian yang sejati.
Saya berdoa untuk Anda, Pater Bernard, semoga Anda senantiasa hidup dalam kesucian.
Walaupun saya tidak yakin apakah doa dari pendosa seperti saya ini akan dikabulkan. Tapi, bukankah doa adalah harapan?
Selamat mengemban tugas berat ini, Pater!