Menari Bersama-sama

Minggu, 19 Januari 2025

Kolom1585 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Rasa kesepian akan selalu mendatangi kita, karena kerapuhan kita. Juga karena kepekaan hati kita. Manakala kita kesepian, serta-merta hati kita terarah keluar, mencari sesama, mengharapkan kehadiran orang lain yang bisa mengatasi, mengobati kesepian itu. Dalam keadaan seperti itu, hati kita seperti berseru nyaring, “Tolonglah aku, sentuhlah diriku, bicaralah dengan aku, perhatikanlah diriku.” Atau: “Aku memerlukan kehadiranmu, aku membutuhkan pertolonganmu.” Sementara itu, mungkin tangan kita terulur, ke depan, ke atas, mendambakan dan membayangkan pertolongan. Tetapi tidak jarang kita segera sadar bahwa orang yang kita harapkan dapat mengatasi kesepian kita ternyata tidak menolong. Permohonan kita pun tidak dijawab. Dalam keadaan seperti itu, orang merasa semakin tertekan, tenggelam dalam kesedihan. Mungkin orang-orang lain di luar sana, sedang mengalami hal yang persis sama dengan kita. Kita tidak tahu. Siapa tahu dia juga tertekan, dilanda kecewa, dan karena itu juga melarikan diri, mencari jalannya sendiri. Kita pun seakan ditinggalkan sendirian dalam putus asa kita, dalam jurang kesepian, kesendirian kita yang dalam. Dalam keadaan seperti itu, mungkin kita mulai berburuk-sangka terhadap orang lain, terhadap sesama yang kita dambakan kedatangan dan kehadirannya. Buruk sangka itu akan menimbulkan kekeruhan hati. Jika hal itu terus menerus dipelihara, maka yang rugi ialah kita sendiri. Bukan orang lain.

banner 336x280

Sebaiknya kita memikirkan upaya lain yaitu berusaha menjadi pribadi tangguh, menjadi orang kuat, tidak mudah menyerah, juga dalam kesendirian, kesunyian. Mengapa? Karena selama kita mendekati orang lain dari relung-relung kedalaman rasa sunyi dan sepi kita, maka dari sana tidak akan berkembang relasi manusia, relasi antar pribadi, atau relasi intersubjektifitas yang matang dan dewasa. Penulis rohani berpendapat bahwa jika kita sering mengharapkan orang lain dalam rasa sepi dan sunyi kita, itu merepotkan. Kita bukannya mendapat pembebasan dan pencerahan, melainkan semakin terhimpit, apalagi jika orang yang kita harapkan tidak bisa memenuhi keinginan kita tepat waktu. Jika itu terjadi, maka itu bisa menjadi sesuatu yang destruktif bagi diri orang itu. Yang dibutuhkan ialah relasi cinta, dalam arti luas, cinta altruistik, yang berpusat pada orang lain, tidak terpusat pada diri sendiri. Cinta seperti itu hanya mungkin jika kita memiliki keberanian untuk menciptakan ruang, space di antara kita, antara pribadi-pribadi yang terlibat dalam relasi, persahabatan, dan cinta. Masih ada langkah lanjutan. Bukan hanya mampu menciptakan ruang. melainkan juga menumbuhkan rasa percaya dalam diri kita sendiri bahwa ruang yang sudah dibangun bersama itu dalam dinamika relasi cinta memungkinkan pribadi-pribadi itu menari bersama-sama, mengarungi kehidupan ini dalam segala seluk-beluknya, segala ups and downs-nya.

Dalam kreatifitas menari bersama itu, mereka bisa mengobati pelbagai luka yang mungkin pernah muncul di masa silam, mungkin juga bisa mencegah terjadinya luka-luka baru akibat salah paham di masa-masa yang akan datang. Sekali lagi, yang dibutuhkan di sana adalah kematangan dan kedewasaan. Di sini saya teringat akan kematangan Fransiskus dan Clara dalam dinamika relasi cinta mereka, namun mereka hidup membiara. Hal yang saya tuangkan di sini sebenarnya didasarkan pada imajinasi Pater Murray Bodo, OFM, yang menulis dua buku menarik, yang satu tentang Fransiskus (Saint Francis the Journey and the Dream), yang lain tentang Clara (Santa Clara, Cahaya Dalam Taman, Ende Nusa Indah: 1996)). Dalam kedua buku itu, Pater Bodo melukiskan kematangan rohani kedua sahabat ini, sehingga mereka bisa mengatasi pelbagai kesulitan yang mereka hadapi dan alami dalam hidup mereka. Fransiskus selalu kembali ke Gunung, karena ia merasa sebagai manusia gunung. Gunung yang ia maksudkan ialah Bukit La Verna dan guanya, tempat di mana ia mendapatkan pengalaman mistik yang luar biasa itu, dan mendapat kelima luka Kristus. Sedangkan Clara selalu kembali ke taman biaranya dan bertekun dalam doa dan pelayanan kasih, sehingga di sana ia menjadi cahaya yang bersinar, tidak hanya menerangi taman-taman biaranya, melainkan juga menerangi taman dunia ini. Mereka saling mencinta, tanpa mendamba, tanpa menggapai tanda.

banner 336x280