Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Salah satu ajaran paling revolusioner dalam kekristenan adalah inkarnasi. Intinya ialah bahwa sang Sabda menjadi manusia, verbum caro factum est. Yesus adalah Sabda Allah yang menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Itulah misteri Emmanuel, Allah beserta kita. Yesus adalah Allah-yang-berada-bersama-kita. Itu adalah misteri besar. Itu terjadi karena Allah ingin menjalin relasi akrab dengan manusia. Dalam relasi itu muncul cinta. Allah mendambakan cinta juga dari manusia. Allah menghendaki agar manusia menanggapi pancaran kasih Allah dengan kasih juga. Jika itu tidak terjadi, maka muncul drama tragis, yang membuat Fransiskus Asisi sedih. Ia ungkapkan kesedihannya itu dalam rumusan yang diulang-ulangnya: Amor non amatur (Kasih yang tidak dikasihi). Peristiwa sabda menjadi daging/manusia berarti Allah menjadi bayi mungil dan sangat-rentan. Dalam kondisi rentan-rapuh seperti itu Allah sepenuhnya tergantung pada pemeliharaan dan perhatian manusia. Dengan ini, Allah ingin mengatasi semua jarak yang ada antara manusia dan yang ilahi. Hal itu mudah kita pahami, sebab siapakah yang takut akan bayi kecil, lemah dan tidak berdaya, yang masih butuh banyak pertolongan orang lain di sekitarnya (makan, rawat, diajari banyak pengetahuan tentang kehidupan, dituntun dalam pelbagai lorong hidup)? Umumnya manusia berbicara tentang Allah yang serba-maha: mahakuasa (omnipotence), mahatahu (omniscience), mahahadir (omnipresence), mahabaik (benevolence).
Berbeda dengan tendensi itu, Allah justru menghendaki yang sebaliknya, yaitu menjadi yang serba-tidak-berdaya, Allah yang serba-sangat-rapuh yang tergantung pada kita. Sebuah paradoks yang bagi orang banyak terasa aneh. Tetapi begitulah misteri inkarnasi, misteri Allah memasuki sejarah manusia, tanpa jarak; Ia menjadi satu dan sama dengan manusia dalam segala-galanya kecuali dosa. Bagaimana mungkin kita takut akan Allah semacam itu? Yakni Allah yang menghendaki “berada-bersama-kita”? Allah yang menghendaki agar kita menjadi “Kita-bersama-Allah”? Itulah Allah iman Kristen. Pemahaman teologis seperti ini muncul sangat belakangan dalam sejarah perwahyuan Allah dalam perspektif kristiani. Dalam tahap paling awal perkembangan teologis itu orang mewacanakan KEBER-ADA-AN Allah dengan pertanyaan pokok, apakah Allah ada atau tidak? Perdebatan teologis itu diatasi dengan jawaban bahwa Allah ada (teisme; bukan ateisme). Sesudah memastikan hal itu, maka wacana teologis berikutnya ialah tentang KE-BERAPA-AN Allah? Pertanyaan pokoknya, apakah Allah itu satu ataukah banyak? Debat itu diatasi dengan penegasan bahwa Allah itu satu (monoteisme, bukan politeisme). Umumnya manusia hanya sampai di sini. Tetapi orang Kristen melangkah lebih lanjut dengan mewacanakan KE-BAGAIMANA-AN Allah. Pertanyaan pokoknya ialah apakah Allah yang satu itu berelasi atau tanpa relasi? Orang kristiani sampai pada pemahaman teologis bahwa Allah itu berada secara relasional juga dalam diri-Nya sendiri. Bahkan teolog Mary Grey sampai pada ungkapan bahwa pada awal mula adalah relasi.
Relasi awal-mula dalam misteri keilahian itulah yang disebut misteri relasi Trinitaris. Daya ikat dalam misteri relasi awali itu ialah cinta yang memancar keluar dari dalam pribadi-pribadi Ilahi itu, Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Karena pancaran daya cinta dalam misteri Trinitaris itulah muncul “keinginan” berelasi keluar. Tetapi relasi keluar dari lingkaran Trinitas itu hanya mungkin jika Allah menciptakan satu makhluk relasional yang juga berakal-budi, yang dengannya Allah bisa membangun relasi personal. Itulah misteri penciptaan manusia pada awal mula. Semula manusia berada dalam relasi yang benar dengan Allah sampai pada suatu saat terjadi pelanggaran awali yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa. Karena peristiwa kejatuhan itu, maka Allah pun mau menyelamatkan manusia. Setelah manusia dibiarkan dengan daya upayanya sendiri, meraih keselamatan itu dan ternyata gagal, maka Allah merencanakan sebuah misteri baru yaitu misteri penjelmaan, Allah menjadi manusia. Hanya dengan cara itulah keselamatan menjadi mungkin yaitu dalam misteri cinta Allah dalam diri Kristus. Pada peristiwa penjelmaan itulah manusia sampai pada fakta “kelemahan Allah” dalam kemanusiaan, sebagaimana yang dibahas di bagian awal tulisan ini. Semuanya hanya bisa dimengerti dalam konteks relasi cinta. Amo ut credam. Hanya dalam konteks inilah kita bisa membalikkan pernyataan itu: saya percaya agar bisa mencintai (credo ut amam).