Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Tema kefanaan manusia sudah beberapa kali saya bahas dalam Rentigraf ini. Namun masih ada aspek yang bisa diungkapkan. Karena kita makhluk fana, maka secara alami kita mendambakan kehidupan sempurna, yang tidak ditandai sakit ataupun kepedihan, tidak ditandai kesusahan, sengsara, konflik ataupun peperangan. Betapa hidup sangat menyedihkan jika hal-hal itu menimpa kita. Dari dalam lembah derita, lembah tangisan (lacrimarum valle) ini, kita mendamba melihat gambaran sekilas hidup sempurna dan indah. Di sini ada tantangan dan kerinduan rohani untuk merasakan kebahagiaan itu di tengah perjuangan kita. Kira-kira seperti pengalaman tiga rasul Yesus (Petrus, Yohanes, Yakobus) yang “sudah mengalami” kemuliaan kebangkitan, sebagai persiapan menyongsong sengsara dan wafat Kristus yang mengerikan itu. Gambaran sekilas hidup kekal yang sempurna itu diharapkan bisa menjadi daya yang memampukan kita merangkul dan mereguk realitas hidup kita yang fana ini, tetapi dengan itu kita berharap untuk bersentuhan dengan hidup abadi yang sempurna dan indah yang disingkapkan sedikit sekarang. Dengan harapan seperti itu, kita mendapatkan kekuatan baru untuk berharap di tengah situasi yang terasa seperti situasi tanpa harapan, against all hope.
Impian dan harapan itu bukan hal baru dalam perjalanan hidup rohani dan iman manusia, khususnya umat kristiani. St. Paulus sudah mengatakan hal itu dalam salah satu suratnya: “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami. Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini.” (2 Kor 4:8-11). Kutipan ini melukiskan bahwa dalam hidup di dunia ini kita mengalami pelbagai kesulitan dan tantangan. Namun, kita tidak pernah tertekan. Walau tampaknya seperti kita menemui jalan buntu, ternyata kita tidak pernah terhempas oleh putus-asa. Kita dikejar-kejar, tetapi tidak pernah terhempas. Walaupun segala hal itu, kita masih tetap hidup dan tidak terseret dalam kematian sia-sia. Hal itu terjadi karena kita memikul wafat Kristus, sehingga hidup Yesus itu juga ikut menentukan cara kita memandang dunia. Hanya dengan menghadapi fakta kefanaan kita dengan berani, kita dapat bersentuhan dengan kehidupan yang melampaui kematian. Di sini ada sebuah paradoks lain dalam kehidupan ini. Yaitu bahwa pelbagai ketidak-sempurnaan kita justru membuka sebuah bentangan cakrawala yang sangat luas dan tak terpamanai tentang hidup sempurna yang dijanjikan Allah kepada kita dalam dan melalui Tuhan Yesus Kristus.
Di sini saya teringat akan sebuah tulisan dari profesor filsafat di STF Driyarkara Jakarta di pertengahan tahun delapanpuluhan. Namanya Pater Louis Leahy SJ. Seorang pemikir dan penulis serius dan produktif. Di sini saya mengutip salah satu tulisan artikel filosofisnya yang dimuat dalam Jurnal Melintas (Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung). Artikel itu berjudul “Kematian yang Ditantang”. Leahy menulis berdasarkan sebuah argumen filosofis-teologis seorang pemikir Kanada yang dituangkannya dalam bentuk novel. Saya lupa nama pengarang yang dirujuk Pater Leahy tersebut. Dalam pemahaman saya, jalan argumentasi pemikir itu sepertinya menggemakan kembali argumen Gabriel Marcel tentang adanya hidup abadi dengan mendasarkan diri pada keabadian cinta. Intinya, kedua pemikir itu yakin bahwa sedemikian agung dan mulianya cinta yang dirasakan dan dialami manusia sehingga tidak mungkin berakhir dengan maut, ataupun berakhir dalam nihilisme. Mestinya ada ruang di dalam keabadian di seberang sana, tempat cinta yang perciknya kita rasakan di dunia ini, akan terpancar secara abadi dalam relasi kekal. Mungkin karena itu Paulus berkata tentang cinta ini dengan rumusan sbb.: Demikianlah tinggal ketiga hal ini, iman, pengharapan, dan cinta. Dan yang paling besar dari ketiganya ialah cinta. Tetapi mengapa cinta? Karena dua yang lain terhenti dalam hidup di dunia ini. Sedangkan cinta akan tetap berlaku dalam kehidupan kekal.