Komunitas Ditopang oleh Keheningan

Rabu, 22 Januari 2025

Kolom1430 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Keheningan bertemu keheningan. Keheningan menyapa keheningan. Keheningan menyapa keheningan. Terdengar seperti sebaris puisi yang indah. Ya, memang itu bernada puitis. Hanya ditampilkan di sini dalam baris-baris prosa, barangkali tepat juga jika disebut prosa-liris. Dan memang tidak ada yang salah dengan puisi. Jika puisi diyakini mengandung dan menyingkapkan kebenaran, maka “puisi” tentang keheningan yang mengawali tulisan ini memang menyingkap kebenaran itu. Ia mengandung kebenaran. Sebab keheningan hanya dapat dihargai dari dalam keheningan juga. Memang bisa saja orang yang sudah lama diganggu kebisingan (noise), akan sangat menghargai keheningan agar dapat mendengarkan suara (voice). Tetapi keheningan itu sendiri hanya bisa dihargai juga dalam dan dengan keheningan itu. Komunitas seharusnya ditopang oleh keheningan itu. Ia harus mengupayakan keheningan bagi dirinya sendiri dan seluruh hidupnya. Jangan sampai komunitas rusak oleh kebisingan (noise) sehingga tidak bisa lagi mendengarkan suara (voice). Dengan demikian, komunitas bukanlah sekadar tempat atau ruang (place and space) di mana kita tidak lagi sendirian, melainkan tempat dan ruang di mana kita bisa menghormati, melindungi, dan dengan penuh rasa hormat bisa menyalami satu sama lain dalam kesunyian mereka masing-masing. Arti dasar (etimologi) kata komunitas itu sendiri memang menekankan fakta bahwa kesatuan itu datang dan berkumpul bersama, cum/com; dengan demikian ia menjadi sebuah realitas baru yang melampaui masing-masing unitas yang membentuknya.

banner 336x280

Ketika kita membiarkan kesendirian menghantar kita ke dalam saat keheningan (kesunyian), maka keheningan itu akan membuat kita mampu untuk bersukacita dalam keheningan orang-orang lain. Hal itu terjadi karena keheningan kita membuat kita menukik berurat dan berakar dalam hati kita sendiri. Keheningan adalah kesempatan untuk berziarah ke dalam hati kita sendiri. Mungkin hal itu amat menakutkan bagi sementara orang. Tetapi itu adalah sebuah panggilan dan kewajiban demi kematangan dan kedalaman hidup pribadi kita. Alih-alih membuat dan mendorong kita mencari dan mendambakan pertemanan dan pendampingan yang bisa memberi kita rasa aman, nyaman, dan rasa puas yang bersifat langsung dan serta-merta, keheningan itu justru membuat kita bisa mendaku pusat hati dan kedirian kita sendiri dan pada gilirannya membuat kita mampu mendorong dan menyemangati orang-orang lain untuk mendaku pusat-pusat hati dan kedirian mereka masing-masing. Dengan kata lain, apa yang sudah kita lakukan terhadap diri kita sendiri, dan hal itu mendatangkan sesuatu yang baik dan positif bagi diri kita, maka hal itu pasti akan kita tularkan kepada orang-orang lain di sekitar kita. Memang perbuatan baik itu mempunyai daya dorong untuk menggerakkan si subjek untuk terus menebarkan kebaikan itu kepada orang-orang lain di sekitar. Hal itu mungkin terjadi karena pelbagai pengalaman keheningan yang pernah kita alami adalah laksana pilar-pilar kokoh dan tegak lurus yang menopang dan memperkokoh atap rumah kita bersama.

Dengan demikian kita bisa memahami bahwa keheningan itu bisa memperkuat komunitas. Sebuah komunitas bisa hidup dan berkembang subur karena pelbagai pengalaman keheningan. Mungkin terdengar paradoksal, tetapi setiap komunitas itu hidup dari dan ditopang oleh pelbagai pengalaman keheningan. Mungkin untuk banyak orang, keheningan itu menakutkan, mencengkam, tetapi sesungguhnya keheningan itu adalah momen yang bisa menjadi titik-tolak untuk permulaan baru. Itulah saat di mana orang bisa menimba kekuatan baru, kesempatan recharge. Dengan kekuatan baru itu, orang melanjutkan perjalanan ataupun memulai perjalanan baru. Hidup adalah perjalanan. Hidup adalah ziarah. Ziarah dari sang sumber hidup, untuk kembali lagi kepada sang Sumber hidup itu. Dengan kata lain, meminjam istilah teologi Thomas Aquinas, exitus dan reditus, perjalanan dan ziarah hidup itu adalah satu dan sama, Tuhan sendiri. Ketika kita sudah sampai pada titik reditus itu, kita merasa, sebagaimana diberitahu oleh para mistikus, seperti “sudah” pernah berada di sana sebelumnya. Sebelum benar-benar tiba di sana, hati kita selalu dilanda kegelisahan yang hanya dapat ditenangkan dengan tetirah dalam Allah. Kata Agustinus: Cor meum inquietum est, donec requiescat in Te (Hatiku terus gelisah, sampai ia beristirahat dalam Dikau).

banner 336x280