Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Memang komunitas adalah bagian dari kodrat hidup manusia. Artinya dari sono-nya manusia terarah untuk hidup bersama manusia lain bahkan dengan semua makhluk ciptaan. Tetapi otomatisme kodrati itu tidaklah berarti bahwa komunitas itu tidak harus diperjuangkan. Tidak. Komunitas itu harus “diperjuangkan.” Mengapa? Karena ada banyak faktor dalam diri dan hidup manusia yang bisa menyebabkan komunitas runtuh, retak, dan mati. Saya ingat akan doa CONFITEOR di awal perayaan Ekaristi. Di sana kita mengaku bahwa kita telah berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan, dan kelalaian. Dengan kata lain, ada potensi internal dalam diri manusia yang bisa “merusak” dan merobohkan “surau” komunitas, memakai metafora yang pernah dipakai sastrawan A. A. Navis. Apa yang berasal dari dalam pikiran, perkataan, perbuatan, dan kelalaian kita berpotensi untuk melukai, merusak hidup dan kebersamaan kita. Dalam konteks pemahaman seperti inilah kita bisa memahami sebuah aspek lain dari eksistensi komunitas itu. Yaitu bahwa komunitas itu tidak mungkin bisa dibayangkan tanpa kerela-sediaan untuk saling mengampuni. Pengampunan itu tidak ada batasnya, karena kita harus mengampuni, kata Yesus, sebanyak “tujuh-puluh-tujuh kali tujuh” (Mat 18:22). Angka itu menunjukkan dan melambangkan ketidak-terbatasan. Artinya daya pengampunan itu harus elastis sedemikian rupa, sehingga kita bisa mengampuni tanpa batas. Daya pengampunan itu adalah batas horizon terjauh dari keluasan hati kita untuk menerima dan memaafkan dosa sesama.
Mengapa begitu? Karena pada saat yang sama, sesama pun sedang memasang dan membangun dimensi horizon keluasan yang sama bagi semua potensi pelanggaran yang datang dari dalam diriku yang lemah dan hina-dina ini. Karena itu, pengampunan, kemampuan untuk bisa mengampuni “kesalahan sesama” (doa Bapa Kami) adalah daya pengikat yang mengikat-satukan hidup komunitas. Hidup bersama, komunitas, berpotensi mudah retak, karena kerapuhan manusiawi anggotanya. Potensi keretakan itu direkatkan dan dikuatkan kembali oleh semen dan lem pengampunan. Ibaratnya cat-lem yang bisa menutup lubang retak pada atap yang bocor. Itulah dan begitulah fungsi pengampunan. Ia mencegah terjadinya keretakan lebih jauh dan fatal. Pengampunanlah yang mengikat-satukan kita bersama-sama melewati masa-masa suka dan duka. Pengampunan, yang pasti berlandaskan kasih, itulah yang memungkinkan kita bisa bertumbuh-kembang dalam kasih timbal-balik. Kasih dan pengampunan saling mendukung dan saling mengandaikan. Pengampunan mengandaikan kasih. Kasih juga mengandaikan pengampunan. Tetapi apa yang harus diampuni, dimintakan ampunan itu? Sebetulnya ada banyak, yaitu sebanyak potensi natural-internal kita untuk berdosa, melakukan pelanggaran sebagaimana disebutkan dalam Confiteor. Tetapi di sini saya mau menyinggung satu hal unik. Sebagai manusia yang memiliki hati yang mendambakan cinta sempurna, kita harus mengampuni satu sama lain karena mungkin kita tidak mampu memberi ataupun menerima cinta sempurna itu dalam hidup sehari-hari.
Atau mengabaikan ada dan kehadiran cinta sempurna itu yang menyebabkan adanya luka dan duka. Kebutuhan kita yang sangat banyak itu secara terus menerus merecoki keinginan dan hasrat kita untuk hadir dan berada di sana untuk yang lain dan sesama tanpa syarat. Pokoknya ada dan hadir begitu saja. Ya, hal itu tidak bisa kita hindarkan juga. Sebab cinta kita sebagai manusia, selalu bersifat terbatas oleh macam-macam kondisi, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, baik yang terucap maupun yang terpendam (tidak terucapkan). Lalu apa saja yang harus dan perlu diampuni? Memang cinta yang sempurna itu adalah milik Allah semata-mata. Tetapi kita, di dalam hidup bersama, dipanggil untuk melaksanakan cinta yang sempurna itu seperti Allah sendiri, dives in misericordia (judul satu karya teologis Paus Yohanes Paulus II). Ternyata kita tidak selalu mampu untuk secara maksimal mengupayakan hal itu. Karena itu, saya berani berkata, bahwa kita perlu dan harus saling mengampuni karena kita tidak mampu mewujudkan perintah cinta Allah. Kita saling mengampuni karena kita tidak menjadi seperti Allah, dalam kemampuan cinta dan pengampunan, bagi sesama kita. Karena kerapuhan kita, maka komunitas pun selalu terancam luka dan duka yang hanya bisa diobati oleh cinta dan pengampunan tiada henti, tiada batas.