Mencari Keheningan

Sabtu, 18 Januari 2025

Kolom951 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias

(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

banner 336x280

 

Pada dasarnya semua manusia itu sendirian. Memang tampaknya kita hidup di dalam sebuah kebersamaan, tinggal dan berinteraksi dalam sebuah komunitas. Tetapi di dalam struktur dasar dari keberadaan kita, cara kita berada, kita sendirian. Misalnya, tidak ada orang lain di luar diri kita yang bisa merasa persis sama dengan apa yang kini sedang kurasakan. Saya merasakan sesuatu saat ini, sendirian. Juga tidak ada orang lain yang saat ini berpikir persis sama dengan apa yang sedang saya pikirkan. Begitu juga tidak ada orang lain yang berbuat persis sama dengan apa yang sedang saya perbuat saat ini. Dengan kata lain, dalam hal rasa, pikir, buat, seorang manusia itu, kita-kita ini, adalah sendirian. Ya sendirian (aloneness) bukan dalam arti kesepian (loneliness); sendirian berupaya, berikhtiar mewujudkan cara beradaku sendiri, caraku bereksistensi yang unik dan khas. Kiranya hal itu sudah jelas dengan sendirinya berdasarkan etimologi kata eksistensi itu, ex-sistere, berada keluar, menonjol, menyatakan, menegaskan keberadaan dengan cara keluar (ex). Hanya saya sendiri, dengan daya yang datang dari dalam, yang bisa melakukan hal itu. Bukan orang lain. Atas dasar itulah orang lalu berkata bahwa masing-masing dari kita adalah unik, tetapi hendaknya kita sadar bahwa kesendirian kita (aloneness) adalah sisi lain dari keunikan kita. Maksudnya, karena kita unik, maka kita pun sendirian (alone).

Pertanyaannya ialah, apakah kita lalai yaitu membiarkan kesendirian kita (aloneness) berubah menjadi kesepian (loneliness)? Kesendirian tidak otomatis berarti kesepian. Atau apakah kita lalai sedemikian rupa sehingga kita seperti membiarkan diri terseret ke dalam kesunyian (solitude). Kita harus cermat membuat pembedaan antara kedua hal itu, antara kesendirian dan kesunyian. Kesendirian menyakitkan; kesendirian itu mendatangkan keheningan yang damai. Kesendirian membuat kita merasa tergantung pada orang lain dalam keputus-asaan. Sebaliknya keheningan memungkinkan kita untuk menghormati orang lain dalam keunikan mereka, dan atas dasar rasa hormat itu, bersama-sama mereka kita bisa membangun persekutuan, membangun komunitas. Memang tidak mudah memperjuangkan hal itu. Yakni kita membiarkan kesendirian kita (aloneness) berkembang menjadi keheningan. Sebaliknya jangan sampai kita membiarkan kesendirian berkembang menjadi kesepian. Itu adalah sebuah perjuangan selama seluruh hidup. Tidak sekali terjadi, melainkan harus terus-menerus diperjuangkan, diupayakan. Mengapa? Karena perjuangan itu menuntut kita terus-menerus bisa dan mau memilih dengan penuh kesadaran, kita harus atau mau berada bersama siapa, apa yang akan saya pelajari, saya studi apa, studi di mana, bahkan kita juga harus memilih dan memutuskan bagaimana cara berdoa, berdoa di mana, berdoa bersama siapa? Kita juga harus memikirkan dan memutuskan kapan kita harus meminta nasihat, pandangan, dan pertimbangan dari orang lain?

Jadi, pilihan adalah sebentuk perjuangan. Pilihan bijak, yang bisa dilakukan setelah mendengarkan pihak lain dalam konsultasi dan bimbingan, bisa membantu kita menemukan keheningan. Dalam keheningan itu hati kita semakin bertumbuh dalam cinta. Saya teringat akan cara hidup yang pernah populer dan diminati dalam sejarah gereja, yaitu bertapa. Pada awal Sejarah gereja, ada banyak orang yang mencari kesunyian gurun untuk Bertapa. Mereka meninggalkan dunia dan kesibukannya. Istilahnya mereka melakukan fuga mundi. Menjauhkan diri dari dunia, masuk ke dalam keheningan dan kesunyian. Mereka masuk ke dalam hidup doa, hidup rohani, hidup batin. Anehnya, mereka tidak kesepian karena mereka mengisi hidup mereka dengan kegiatan berdoa dan bekerja, ora et labora. Yang lebih mencengangkan lagi, ialah orang yang hidup dalam keheningan dan kesunyian itu, banyak didatangi orang untuk minta pandangan, nasihat, dan doanya. Walau mereka hidup dalam kesunyian, mereka tetap berhubungan dengan dunia luar melalui peziarah yang mendatangi mereka. Sudah lama saya mengajak mahasiswa untuk menonton cara hidup pertapa Koptik di Etiopia yang hidup dalam gua-gua di atas bukit karang yang susah digapai, tetapi tetap ada umat yang mendatangi mereka meminta doa dan berkat. Cara hidup yang luar biasa. Hati mereka, meminjam Thomas Merton, A place of nowhere. Karena itu bisa betah di mana-mana.

 

banner 336x280